Setelah perjanjian bantuan hukum timbal balik Pemerintah Indonesia dan Swiss diratifikasi, pemerintah berencana membentuk tim khusus untuk memburu aset hasil kejahatan, termasuk korupsi, yang disimpan di Swiss.
Oleh
RINI KUSTIASIH / NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kini memiliki payung hukum untuk merampas aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang disimpan di Swiss. Ini setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pengesahan rancangan undang-undang untuk meratifikasi perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss.
RUU terhadap Pengesahan (ratifikasi) Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara RI dan Swiss itu disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (14/7/2020) di Jakarta. Di dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, semua fraksi di DPR menyepakati perjanjian kerja sama itu diratifikasi dan disahkan dalam bentuk UU.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dalam pendapat akhirnya di dalam rapat mengatakan, kerja sama itu ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Swiss pada 4 Februari 2019 di Bern, Swiss. Perjanjian itu dijalin untuk meningkatkan kerja sama antara kedua negara dalam menangani tindak pidana fiskal, termasuk tindak pidana transnasional lainnya, seperti korupsi, tindak pidana korporasi, dan tindak pidana pencucian uang.
”Perjanjian kerja sama itu memberikan dasar hukum bagi kedua negara untuk bantuan hukum, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan yang meliputi penelusuran, pemblokiran, pembekuan, penyitaan dan perampasan sarana-sarana tindak pidana,” ujar Yasonna.
Perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara RI dan konfederasi Swiss juga memuat asas retroaktif sehingga memungkinkan dilakukannya permintaan bantuan hukum timbal balik atas tindakan pidana yang dilakukan sebelum berlakunya perjanjian kerja sama kedua negara.
”Bagusnya ini, kan, retroaktif sifatnya. Jadi, seluruh kejahatan fiskal, money laundering (pencucian uang), atau apa saja, yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa kami tracking (lacak),” ucap Yasonna.
Tim khusus
Setelah perjanjian diratifikasi, Kemenkumham akan segera membentuk tim khusus berisi perwakilan dari Bareskrim, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kementerian Luar Negeri. Tim tersebut akan melacak aset-aset hasil tindak pidana kejahatan yang disimpan di Swiss.
Ia mengaku tidak tahu pasti total nilai aset-aset hasil tindak pidana kejahatan yang tersimpan di sana.
”Siapa yang punya informasi, bagaimana memperoleh informasi, kita akan ke Swiss juga meminta data-data yang ada. Jadi dengan dasar hukum ini, kami sudah memulai tindakan itu. Nanti kami atur strateginya seperti apa,” ucap Yasonna.
Setelah tuntas perjanjian dengan Swiss diratifikasi, Yasonna mengatakan, perjanjian serupa akan dilakukan dengan negara lain. Perjanjian itu penting dalam upaya memburu dan menyita aset hasil tindak pidana kejahatan.
”Dengan beberapa negara, (negara) kita sudah (meneken perjanjian). Dan, kita akan teruskan ini (dengan negara lain). Jadi, setiap negara itu perlu ada perjanjian walaupun sebenarnya kalau ada hubungan baik bisa saja dilakukan. Tetapi akan lebih baik saat ada dasar hukumnya,” tutur Yasonna.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni mengatakan, pembahasan ratifikasi perjanjian antara Indonesia dan Swiss itu dilakukan oleh gabungan antara Komisi I DPR dan Komisi III DPR. Perjanjian kerja sama itu terdiri atas 39 pasal, yang antara lain mengatur bantuan hukum yang meliputi pelacakan, pembekuan aset, upaya menghadirkan saksi, dokumen dan bukti, penanganan aset, penyediaan informasi terhadap suatu tindak pidana, hingga pencarian lokasi dan data dan asetnya.
”Selain itu, juga memeriksa situs internet terkait orang-orang itu dan menyediakan bantuan lain yang tidak bertentangan dengan hukum negara yang dimintai bantuan,” ujar Sahroni.