UE Eropa siap mengeluarkan kebijakan balasan atas penerapan UU Keamanan Nasional di Hong Kong oleh Pemerintah China. Kekhawatiran banyak pihak soal tekanan Beijing atas demokrasi di Hong Kong jadi kenyataan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BRUSSELS, SELASA — Uni Eropa tengah mempersiapkan kebijakan balasan atas keputusan Pemerintah China menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional atas Hong Kong. UE masih mempertimbangkan China sebagai salah satu mitra dagang terbesar mereka sehingga kemungkinan besar langkah itu tidak berupa sanksi ekonomi.
Keputusan mengambil tindakan balasan disampaikan seusai pertemuan para menteri luar negeri Uni Eropa, Senin (13/7/2020). Meski didukung sebagian terbesar anggotanya, sejumlah negara mitra dagang terdekat China di UE, seperti Hongaria dan Yunani, menentang keputusan itu.
”Hari ini kami sepakat bersama-sama mengembangkan respons terkoordinasi Uni Eropa sebagai bentuk dukungan terhadap otonomi Hong Kong dan masyarakat sipilnya,” kata Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell.
Berbeda dengan pernyataan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen bulan lalu yang mengatakan, kepastian penerapan UU Keamanan Nasional di Hong Kong akan membuat China memperoleh konsekuensi yang sangat negatif dari UE, keputusan yang diambil UE pada pertemuan kali ini dinilai sangat ringan.
Borrel mengatakan, pertemuan itu tidak menyebutkan sanksi spesifik bagi China. Pertemuan para menlu UE tersebut hanya merumuskan langkah bersama di tingkat UE dan pelaksanaannya akan diserahkan pada kompetensi nasional setiap negara anggota secara terkoordinasi. Sejauh ini para menteri UE membahas kemungkinan perpanjangan larangan ekspor teknologi sensitif ke Hong Kong yang bisa digunakan China untuk menindas warga sipil.
Dirinya merujuk pada peralatan atau piranti lunak apa pun yang bisa digunakan pemerintah dan aparat keamanan untuk menekan protes warga. UE tetap menginginkan otonomi dan demokrasi Hong Kong terjaga seperti syarat ketika Inggris menyerahkan wilayah itu ke China pada tahun 1997.
Pernyataan Borrell itu disampaikan tidak lama setelah David Kaye, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kebebasan Beropini dan Berekspresi, mengatakan bahwa dirinya sangat prihatin dengan masa depan Hong Kong pascapenerapan UU Keamanan Nasional. Dia mengatakan, masyarakat internasional perlu mengamati lebih jauh dampak penerapan UU Keamanan Nasional itu terkait apakah petugas keamanan akan menggunakan diskresi mereka untuk melarang kebebasan berekspresi dan hak untuk berkumpul secara damai.
Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung tanggapan bersama UE itu, tetapi memperingatkan agar tidak memutuskan dialog dengan China.
”Penting bahwa negara-negara anggota UE berusaha menemukan kebijakan bersama terhadap China dan jawaban bersama. Tapi ini bukan alasan untuk tidak berdialog dengan China,” kata Merkel saat konferensi pers dengan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte.
Seperti keputusan yang sudah diambil Pemerintah Australia untuk menunda pelaksanaan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, Borrell mengatakan bahwa hal itu juga bisa dilakukan UE dan negara-negara anggotanya. Finlandia telah mendukung gagasan ini dengan kekhawatiran yang sama dengan Australia.
Negara-negara UE juga tengah memikirkan penambahan beasiswa bagi siswa Hong Kong dan menawarkan lebih banyak visa kepada warganya.
Borrel mengatakan, setiap negara bisa mengumumkan langkah terhadap China secara terpisah. Namun, 27 anggota UE memandang bahwa kebijakan dan langkah itu sebagai sebuah paket keputusan bersama dan diharapkan bisa diterapkan dalam beberapa hari ke depan.
Tekanan Beijing
Kekhawatiran Kaye terhadap upaya pembungkaman kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai terbukti. Sebanyak 13 aktivis pro-demokrasi Hong Kong menjalani sidang pembacaan dakwaan karena dinilai telah mengadakan pertemuan tidak sah ketika memperingati tragedi Lapangan Tiananmen, pertengahan Juni lalu. Mereka dinilai telah menghasut warga untuk hadir dan terlibat dalam kegiatan itu.
Di antara 13 aktivis yang diadili di antaranya Jimmy Lai, pemilik media pro-demokrasi Apple, aktivis veteran Lee Cheuk-yan dan Albert Ho, serta aktivis muda Figo Chan.
Tekanan tidak berhenti pada persidangan. Kantor penghubung Pemerintah China di Hong Kong juga kini tengah mengincar para aktivis yang mengadakan pemilihan pemula jelang pemilihan legislatif yang akan berlangsung pada September nanti.
Dalam pernyataannya, kantor penghubung Pemerintah China menuding para aktivis prodemokrasi Hong Kong mencoba menggerakkan sebuah revolusi dan tindakan tersebut dinilai sebagai sebuah provokasi atas sistem pemilihan yang selama ini dikenal di Hong Kong.
Beijing menargetkan penggunaan Pasal 22 UU Keamanan Nasional yang menilai kegiatan pemilihan pendahuluan, yang diikuti sekitar 600.000 warga Hong Kong sebagai upaya mengambil kendali pemerintahan dan menumbangkan kekuatan negara. Perwakilan Beijing itu menyebut aktivis Benny Tai sebagai dalang.
”Tujuan kelompok Benny Tai dan kubu oposisi adalah merebut kekuasaan untuk memerintah Hong Kong. Sebuah upaya yang sisa-sia untuk meluncurkan revolusi warna versi Hong Kong,” demikian pernyataan kantor penghubung Pemerintah China.
Benny Tai, profesor bidang hukum, jelang pemilihan pemula yang berlangsung akhir pekan lalu di dalam kolomnya di surat kabar Apple menyatakan, ancaman dari penguasa tidak akan menghentikan ratusan ribu warga keluar dan memberikan suara.
”Mereka tidak menyerah pada tekad mereka mengejar demokrasi dan hak pilih universal,” tulis Tai. (AFP/Reuters)