Penerapan normal baru dalam penerbangan komersial, betapapun ketatnya, menyediakan peluang bagi maskapai untuk memanfaatkan kapasitas maksimum penumpang dan mengoptimalkan layanan kargo.
Oleh
Wihana Kirana Jaya
·4 menit baca
Di masa pandemi Covid-19, setidaknya ada dua situasi berbeda dihadapi industri penerbangan kita. Pertama, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) beserta pembatasan perjalanan lain, domestik ataupun internasional. Kedua, penerapan new normal (normal baru).
Situasi pertama hanya bisa dihadapi dengan strategi bertahan internal oleh setiap pemain pasar, termasuk merumahkan dan atau mem-PHK karyawan, menutup rute tertentu, dan meng-grounded armada. Namun, memasuki normal baru, tiap pemain kembali memainkan strategi pasarnya. Seperti diketahui, struktur pasar industri penerbangan kita cenderung ke duopoli.
Strategi duopoli sangat dekat dengan Game Theory yang dianggap berasal dari riset Augustin Cournot (1838) dan dikembangkan lagi menjadi dasar Game Theory zaman modern oleh John von Neumann dan Oskar Morgenstern (1944). John Forbes Nash, matematikawan AS, kemudian menemukan teori baru, di antaranya Nash Equilibrium yang terkenal dan akhirnya meraih Nobel Ekonomi 1994.
Dua pemain utama nasional, Garuda dan Lion, pernah dituduh kolusi saat isu harga tiket mahal mengemuka 2019. Menurut Game Theory, kerja sama antarpemain pasar dengan tujuan kompetitif di situasi pandemik lebih dimungkinkan, misal koordinasi rute-rute yang diterbangi di masa normal baru dalam kaitan dengan zona hijau Covid-19. Penumpang dianggap bertindak rasional dalam memilih maskapai yang aman dari kemungkinan tertular virus.
Penumpang dianggap bertindak rasional dalam memilih maskapai yang aman dari kemungkinan tertular virus.
Pada triwulan I-2020 (data BPS), jumlah penumpang internasional 3,4 juta orang atau ”hanya” turun 24,15 persen dibandingkan periode sama 2019. Namun, untuk Maret 2020 turun drastis 63,84 persen dibandingkan April, menjadi 558.700 orang. Lebih parah lagi, April 2020 turun lagi menjadi hanya 26.000 orang karena adanya larangan memasuki wilayah Indonesia bagi pendatang asing, kecuali yang berizin khusus. Larangan penerbangan umrah dan pembatalan penerbangan haji menjadi pukulan telak berikutnya dalam triwulan II.
Untuk segmen domestik, Januari-Maret 2020, jumlah penumpang domestik masih lumayan, 16,7 juta orang, hanya turun 10,12 persen dibandingkan periode sama 2019. Namun, April dan Mei dapat diprediksi merosot tajam akibat PSBB dan larangan mudik Lebaran. BPS mencatat, April, jumlah penumpang hanya 838.100 orang, turun 81,70 persen dibanding Februari.
Puncak paceklik
Triwulan II-2020 dapat diprediksi jadi musim puncak paceklik bagi industri penerbangan nasional, baik karena pembatasan perjalanan internasional maupun domestik. Padahal, biasanya triwulan II menjadi musim panen penumpang karena libur Lebaran dan libur sekolah. Namun, penerapan normal baru dalam penerbangan komersial tampaknya menjadi harapan untuk beranjak dari titik nadir (bottoming out).
Memasuki fase normal baru, triwulan II hingga setidaknya akhir 2021, yakni ketika vaksin secara masif telah tersedia berdasarkan estimasi WHO, ada beberapa implikasi finansial bagi industri penerbangan nasional.
Pertama, pendapatan operasional penerbangan berjadwal untuk 2020 dan kemungkinan 2021 akan menurun dibandingkan situasi prapandemi (2019). Ini terutama karena faktor penggunaan kapasitas maksimal 70 persen dan regulasi protokol Covid-19 terhadap calon penumpang dan pemangkasan anggaran perjalanan dinas di setiap kementerian. Praktis, pada fase normal baru, permintaan jasa transportasi udara turun drastis dibandingkan prapandemi, tetapi lebih baik dibanding dua bulan pertama triwulan II.
Di sisi lain, jumlah kursi untuk penumpang terbatas karena ketentuan physical distancing plus cadangan dua baris kursi untuk penumpang sakit. Padahal, sekitar 80 persen pendapatan dari tiket.
Praktis, pada fase normal baru, permintaan jasa transportasi udara turun drastis dibandingkan prapandemi, tetapi lebih baik dibanding dua bulan pertama triwulan II.
Garuda pada 2018 membukukan pendapatan operasional 4,33 miliar dollar AS (tetapi rugi 231,16 juta dollar AS/setara Rp 3,6 triliun), meningkat jadi 4,57 miliar dollar AS/setara Rp 73,16 triliun dan laba bersih Rp 112 miliar/setara 6,99 juta dollar AS (kurs Rp 16.000/dollar AS) di 2019.
Sejalan tren jumlah penumpang yang turun curam Maret 2020, triwulan I pendapatan operasional anjlok 33 persen dari periode sama 2019 (TrenAsia, 22/4/2020). Triwulan II diprediksi anjlok 50 persen dari periode sama 2019, menyentuh titik terendah. Pendapatan operasional terjun 89 persen pada April 2020.
Kedua, dari sisi biaya, muncul jenis biaya operasional baru terkait penerapan protokol kesehatan, termasuk perlengkapan alat pelindung diri awak pesawat, penggunaan face shield, pengujian kesehatan awak/penumpang, disinfeksi pesawat, penyediaan dispenser sanitasi tangan, dan lainnya. Ini meningkatkan biaya operasional per trip atau per pesawat. Namun, turunnya harga minyak dunia diharapkan diikuti turunnya harga avtur sehingga mengurangi beban operasional maskapai.
Penerapan normal baru dalam penerbangan komersial, betapapun ketatnya, menyediakan peluang bagi maskapai untuk memanfaatkan kapasitas maksimum penumpang dan mengoptimalkan layanan kargo. Garuda sebagai maskapai BUMN cukup beruntung memperoleh plotting dana talangan dalam bentuk penyertaan modal pemerintah 1 miliar dollar AS yang menjadi bagian dari program pemulihan ekonomi nasional.
Dalam rapat dengan DPR, April, terungkap, Garuda memiliki utang sukuk (bond) sekitar 500 juta dollar AS yang jatuh tempo Juni 2020 dan butuh dana 600 juta dollar AS untuk bertahan hingga akhir 2020. Kembali ke Game Theory, dalam situasi duopolistik, sebenarnya ada pemain ketiga: pemerintah yang mengeluarkan aturan main normal baru. Bantuan finansial pemerintah memperkuat posisi dominan Garuda dalam menentukan strategi bermain di pasar.