Kenaikan suhu bumi tak bisa lagi diabaikan. Langkah-langkah adaptasi agar terus dipersiapkan untuk menghadapi perubahan-perubahan kondisi lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada aspek lingkungan seperti kenaikan suhu, tetapi juga melebar ke permasalahan ekonomi, sosial, dan lainnya. Diperlukan sejumlah perubahan dan adaptasi guna mengurangi dampak dari perubahan iklim yang dapat membuat kerugian pada aspek lingkungan, kesehatan, ataupun ekonomi.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Tatanan Baru Pengendalian Perubahan Iklim Pascapandemi Covid-19” yang diselenggarakan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI), Rabu (15/7/2020). Webinar menghadirkan pembicara yang merupakan ahli di sejumlah sektor dari institusi pendidikan di sejumlah daerah di Indonesia.
Pengajar ilmu lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak, Evi Gusmayanti, menyampaikan, perubahan iklim telah membuat suhu di Kalimantan naik. Dari penelitiannya di tiga daerah di Kalimantan Barat, yakni Ketapang, Pontianak, dan Paloh, terjadi tren peningkatan suhu sejak 1980-2019.
Jadi, peningkatannya lebih dari 1 derajat. (Evi Gusmayanti)
”Kalau diuji statistik secara sederhana antarperiode saja, terlihat ada peningkatan yang signifikan. Misalnya di Pontianak suhu minimalnya pada 1980 sampai 1989 itu sekitar 22,42 derajat celsius, sedangkan terakhir pada 2010 sampai 2019 suhunya menjadi 23,65. Jadi, peningkatannya lebih dari 1 derajat,” ujarnya.
Selain suhu minimal, suhu rata-rata dan suhu maksimal di ketiga daerah tersebut juga mengalami peningkatan, tetapi tidak mencapai 1 derajat celsius. Namun, Evi menegaskan, hal ini menunjukkan bahwa kenaikan suhu akibat perubahan iklim merupakan suatu hal nyata.
Perubahan iklim juga akan membuat musim kemarau lebih panjang dan menurunkan volume curah hujan. Pada akhirnya, hal ini juga akan sangat memengaruhi penurunan muka air tanah pada ekosistem lahan gambut yang banyak terdapat di Kalimantan. Padahal, lahan gambut harus selalu dalam keadaan basah agar karbon yang tersimpan tidak lepas ke atmosfer.
”Degradasi gambut akan dipercepat oleh perubahan iklim. Begitu juga sebaliknya bahwa perubahan iklim akan dipercepat karena gambut yang terdegradasi akan mengeluarkan emisi. Pengelolaan air harus dilakukan dengan baik sehingga muka air tanah bisa dipertahankan,” tuturnya.
Degradasi lahan
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas Hermansyah mengatakan, perubahan iklim merupakan permasalahan multidisiplin. Sebab, perubahan iklim dapat membuat lahan terdegradasi yang akhirnya bisa menurunkan produktivitas di sektor pertanian. Guna mengurangi dampak ini, diperlukan dorongan untuk menerapkan pertanian berkelanjutan.
”Kegiatan mitigasi pada sektor lahan untuk menekan laju kecepatan degradasi cukup potensial dan strategis. Sementara untuk ketahanan dan kemandirian pangan, inovasi teknologi adaptasi perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Menurut Hermansyah, sejumlah strategi riset yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan manajemen pengelolaan sumber daya alam, termasuk sistem jaringan irigasi. Selain itu, perlu juga riset berbasis kondisi dan potensi daerah untuk mengembangkan jenis ataupun varietas yang toleran terhadap pengaruh perubahan iklim.
Pengajar teknik sipil Universitas Jember, Januar Fery Irawan, menyampaikan, dampak dari perubahan iklim mengakibatkan musim hujan semakin pendek dan tidak menentu sehingga kebutuhan air permukaan tidak memadai untuk irigasi.
”Agar lahan menjadi optimal memerlukan suatu pengelolaan yang khusus, di mana air irigasi bisa didapatkan secara memadai dari air permukaan. Jadi harus kita ambil dari bawah permukaan melalui pembangunan sumur pompa,” tuturnya.
Januar menjelaskan, guna mengatasi permasalahan perubahan iklim, diperlukan adaptasi yang lebih efisien melalui pengelolaan dengan sistem irigasi mikro. Sistem ini lebih efisien karena mengaplikasikan air hanya di sekitar zona perakaran tanaman.
Dari hasil penelitiannya terkait sistem irigasi mikro, didapat kesimpulan bahwa sistem ini dapat diterapkan dengan baik pada komoditas tanaman kacang hijau dan pertumbuhan tanaman relatif seragam. Dari sisi ekonomi, sistem ini juga dapat menghemat biaya hingga 55 persen dengan kemampuan jaringan yang sama.