Benih Lobster Diekspor, Nasib Budidaya Tak Menentu
›
Benih Lobster Diekspor, Nasib ...
Iklan
Benih Lobster Diekspor, Nasib Budidaya Tak Menentu
Kebijakan ekspor benih lobster dinilai menghambat pengembangan budidaya lobster di Tanah Air. Kesulitan benih hingga akses pasar mendera pembudidaya lobster.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Arah pengembangan budidaya lobster di Tanah Air semakin tak menentu. Setelah teperdaya janji kemitraan eksportir benih lobster, kini pembudidaya rakyat kesulitan memperoleh benih lobster.
Ombudsman RI sedang menginvestigasi kebijakan ekspor benih lobster yang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 itu.
Sebagaimana dikemukakan anggota Ombudmsan RI, Alamsyah Saragih, saat ini investigasi dalam tahap pengumpulan informasi. Investigasi bertahap dan terencana sebagai bagian dari pengawasan itu untuk perbaikan sistem.
Sementara Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang Suradi Wijaya Saputra menyoroti kebijakan ekspor benih lobster di tengah situasi stok lobster bermasalah. Hasil kajian Komisi Nasional Kajian Sumber Daya Ikan tahun 2017, sumber daya lobster di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dalam zona merah yang menunjukkan penangkapan berlebih dan zona kuning, yakni dalam status rawan.
Kondisi zona merah dan kuning mengisyaratkan penangkapan lobster dewasa sudah tidak boleh ditambah, serta pengambilan benih harus sangat hati-hati. Rencana pemerintah membuka keran ekspor benih lobster selama tiga tahun, sambil membesarkan budidaya lobster di dalam negeri, dikhawatirkan tidak berjalan mulus jika ekspor benih tidak terkendali.
”Ada kekhawatiran, jika benih lobster diambil terus-menerus selama tiga tahun, maka pembudidaya pada tahun keempat tidak kebagian benih, pada saat kita juga tidak mampu melakukan pembenihan,” katanya, dalam webinar ”Quo Vadis Sumber Daya Lobster Kita?”, Selasa (14/7/2020).
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto dalam webinar menyampaikan, pemerintah telah menyusun peta jalan budidaya lobster 2020-2024. Pada 2020, nilai produksi lobster budidaya ditargetkan Rp 330 miliar dan meningkat menjadi Rp 1,73 triliun pada 2024.
Budidaya lobster akan dikembangkan dengan beberapa strategi, antara lain pengembangan sistem rantai pasok hulu-hilir. Meskipun demikian, Slamet mengakui saat ini ekspor lobster konsumsi merosot.
Menurut dia, eksportir harus bekerja sama dengan pembudidaya. Eksportir membeli di masyarakat sebagai bentuk kemitraan sambil menanti pasar ekspor membaik.
”Kalau ada (perusahaan) yang belum komitmen budidaya, di akhir bulan nanti kami akan turun ke lapangan untuk melihat budidaya. Kami akan luruskan dan bina agar menjadi pembudidaya yang memproduksi lobster dan bekerja sama dengan masyarakat," katanya.
Pembudidaya kesulitan
Secara terpisah, Sapardi, pembudidaya lobster di Desa Paremas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menuturkan, pembukaan keran ekspor benih menyebabkan pembudidaya kesulitan menjangkau benih bening lobster untuk dibesarkan. Sementara benih lobster warna kehitaman dari sisa ekspor benih yang harganya jauh lebih murah juga sulit didapat.
Saat ini, harga benih bening lobster pasir di tingkat nelayan berkisar Rp 12.000-Rp 13.000 per ekor atau naik 140 persen dibandingkan dengan harga normal yang rata-rata Rp 5.000 per ekor. Sementara harga benih bening lobster mutiara Rp 33.000-Rp 35.000 per ekor, melonjak dari harga biasanya, Rp 15.000-Rp 20.000 per ekor.
”Makanya, kami enggak bisa (berbuat) apa-apa lagi untuk budidaya. Kami tidak bisa lagi dapat benih. Benih lobster habis untuk diekspor dan hampir tidak ada lagi sisa benih kehitaman untuk dibudidayakan,” kata Sapardi.
Di Lombok, pasokan benih lobster terus merosot. Sebagian benih didatangkan dari Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan Flores (Nusa Tenggara Timur). Sementara itu, perusahaan eksportir benih ditengarai menggunakan kemitraan dengan pembudidaya sebagai jalan pintas untuk memenuhi persyaratan izin ekspor benih. Setelah izin ekspor didapat, perusahaan ingkar dari kemitraan.
Sapardi menambahkan, nasib pembudidaya kian terjepit karena hasil panen lobster ditolak beberapa perusahaan eksportir di Jakarta dengan alasan kesulitan pasar. Saat muncul peluang ekspor lobster, Vietnam juga sedang panen. Vietnam bergantung pada pasokan benih dari Indonesia. Namun, Indonesia kalah bersaing dari sisi pasar dan harga.
”Budidaya ini jangan sebagai topeng para pengekspor benih. Perusahaan harus betul-betul membina pembudidaya, bukan sebatas omongan. Intinya, (pembudidaya) harus difasilitasi,” katanya.
Ketua Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia Effendy Wong mengingatkan, eksportir perikanan budidaya cenderung menolak lobster hasil budidaya karena mutunya rendah. Strategi utama untuk mengembangkan budidaya lobster adalah meningkatkan kualitas produk dan mencari jaminan pasar.
Namun, pemerintah hampir tidak pernah menyosialisasikan teknik budidaya lobster yang benar untuk mengatasi ketertinggalan dari Vietnam.
”Sulit mengharapkan budidaya lobster bisa berkembang, sesuai mandat Presiden RI untuk meningkatkan perikanan budidaya di Indonesia,” katanya.
Sebagian pembudidaya yang kesulitan benih akhirnya menggunakan benur lobster untuk dibesarkan. Namun, pasokan benur lobster sangat terbatas. Apabila ekspor benih jorjoran, sulit berharap budidaya lobster bisa berkembang. Selama ini, Vietnam yang mengandalkan benih dari Indonesia lebih unggul dalam teknologi, pakan, transportasi, dan akses pasar.