Buru Aset Hasil Korupsi di Swiss, Tunggu Proses Ratifikasi Tuntas
›
Buru Aset Hasil Korupsi di...
Iklan
Buru Aset Hasil Korupsi di Swiss, Tunggu Proses Ratifikasi Tuntas
DPR menyetujui ratifikasi perjanjian bantuan hukum timbal balik Pemerintah Indonesia dan Swiss. Namun, keinginan Indonesia memburu aset koruptor di Swiss masih harus menunggu.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun Indonesia telah meratifikasi perjanjian bantuan hukum timbal balik Indonesia dan Swiss, Selasa (14/7/2020), pemberlakuan perjanjian masih harus menunggu proses ratifikasi di Swiss. Proses ini diperkirakan baru tuntas tahun depan.
Adapun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tampaknya tak menunggu hingga proses di Swiss tuntas. Tim khusus akan segera dibentuk untuk melacak aset-aset hasil kejahatan, termasuk korupsi dan pencucian uang, di Swiss.
Duta Besar RI untuk Swiss Muliaman Hadad, saat dihubungi Kompas, Selasa, mengatakan, perjanjian yang ditandatangani di Bern, Swiss, 4 Februari 2019, itu baru akan berlaku setelah diratifikasi oleh masing-masing negara.
”Untuk di Swiss, prosesnya berjalan di parlemen karena harus melalui persetujuan Council of States (Dewan Negara-negara Bagian) dan National Council (Dewan Nasional). Diharapkan pada sesi parlemen musim gugur (sekitar September) akan ada pembahasan lanjutan di Council of States. Diharapkan semua proses selesai paling lambat 2021,” katanya.
Adapun di Indonesia, ratifikasi telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan, perjanjian dengan Swiss dijalin untuk meningkatkan kerja sama kedua negara dalam menangani tindak pidana fiskal, termasuk tindak pidana transnasional lainnya, seperti korupsi dan pencucian uang.
”Perjanjian memberikan dasar hukum bagi kedua negara untuk bantuan hukum, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan, hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang meliputi penelusuran, pemblokiran, pembekuan, penyitaan, dan perampasan sarana tindak pidana,” katanya.
Retroaktif
Keunggulan lain dari perjanjian ini ialah di dalamnya memuat asas retroaktif. Dengan demikian, memungkinkan dilakukannya permintaan bantuan hukum timbal balik atas tindakan pidana yang dilakukan sebelum perjanjian.
”Jadi, seluruh kejahatan fiskal, money laundering (pencucian uang), atau apa saja, yang terjadi sebelum perjanjian bisa kita tracking (lacak),” ujarnya.
Menindaklanjuti telah disetujuinya ratifikasi perjanjian oleh DPR, tim khusus untuk melacak aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss akan segera dibentuk. Tim beranggotakan perwakilan dari Kemenkumham, Bareskrim Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kementerian Luar Negeri.
”Siapa yang punya informasi, bagaimana memperoleh informasi, kita akan ke Swiss juga meminta data-data yang ada. Nanti kami atur strateginya seperti apa,” kata Yasonna.
Saat ditanyakan lebih lanjut soal perkiraan aset-aset hasil tindak pidana di Swiss, ia mengaku belum tahu pasti.
Catatan Kompas, upaya membuat perjanjian bantuan hukum timbal balik di antara kedua negara sudah lama dilakukan. Tahun 2007, misalnya, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pernah membicarakan ihwal perjanjian itu saat bertemu Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy-Rey (Kompas, 9/2/2007).
Dari pemberitaan Kompas antara tahun 2005 dan 2019, aparat penegak hukum dan pemerintah beberapa kali mengupayakan ”pemulangan” aset yang diduga hasil kejahatan yang disimpan di Swiss.
Aset itu, antara lain, milik Irawan Salim, mantan Direktur Utama Bank Global, tahun 2005, sebesar Rp 500 miliar. Kemudian aset milik ECW Neloe, mantan Direktur Utama Bank Mandiri, sebesar 5 juta dollar AS.
Selain itu, ada pula aset Bank Century yang diduga dilarikan oleh mereka yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam kasus korupsi dana talangan untuk Bank Century tahun 2008.
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho pernah mengatakan, Swiss dikenal sebagai pusat keuangan yang memiliki keamanan dan aturan kerahasiaan perbankan yang ketat. Swiss bersama Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan Kepulauan Cayman sering jadi surga bagi pelaku kejahatan untuk menyimpan hartanya agar terhindar dari jeratan hukum (Kompas, 25/2/2019).
Tim pemburu buronan
Sementara itu, terkait rencana menghidupkan kembali tim pemburu koruptor yang pernah ada tahun 2004, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pihaknya masih mengkajinya.
Saat ini, menurut dia, izin prakarsa untuk membuat instruksi presiden (inpres) sebagai payung hukum dari tim pemburu koruptor sudah diperoleh melalui Surat Menteri Sekretaris Negara Nomor B-30/M. Sesneg/D-1/HK.05.00/ 01/2020.
”Tetapi, inpres harus dibahas lintas lembaga dulu untuk dihitung manfaat dan efektivitasnya,” ucapnya.
Menurut Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Herman Herry, apa pun tim yang dibentuk, jika aparat penegak hukum tidak memiliki integritas, tidak akan ada hasilnya. Menurut dia, UU yang ada saat ini sudah cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan fungsi dan tugasnya, terutama dalam hal menangkap dan memulangkan buronan. (FAJ/BOW/REK/DEA/PDS/NAD)