Situasi pandemi Covid-19 bakal memburuk bagi negara yang gagal menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Indonesia mesti berhati-hati dan tak terjebak rasa aman palsu.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus positif Covid-19 secara global terus meningkat dan situasi bakal memburuk bagi negara yang gagal menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Indonesia bisa menjadi salah satu negara yang terdampak lebih buruk lagi karena mobilitas warga meningkat seiring longgarnya pembatasan. Penetapan zonasi tanpa diikuti pembatasan secara ketat hanya akan memicu rasa aman palsu.
”WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) memperingatkan, situasi bisa lebih buruk lagi dan butuh waktu lebih lama untuk mengatasinya. Paling cepat pertengahan tahun depan baru bisa teratasi secara global,” kata Dicky Budiman, epidemiolog Indonesia dari Griffith University, Australia, Selasa (14/7/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Secara global, kasus Covid-19 mencapai 13,2 juta orang dan korban jiwa 576.432 orang. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pesan melalui video, Senin, dari Geneva, Swiss, mengatakan, banyak negara bergerak ke arah yang salah sehingga wabah sulit diatasi. ”Jika dasar-dasar (kesehatan) tak diikuti, pandemi ini akan makin buruk,” ujarnya.
Dari 230.000 kasus baru pada Minggu, 80 persen berasal dari 10 negara serta 50 persen dari dua negara, yaitu Amerika Serikat dan Brasil. AS kini memiliki 3,4 juta kasus dan 138.273 korban jiwa, sementara Brasil 1,8 juta kasus dan 72.950 korban jiwa.
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, jumlah kasus di Indonesia 78.572 kasus dengan penambahan kasus harian 1.591 orang. Sebanyak 3.710 pasien meninggal, dengan penambahan 54 orang. Jumlah kasus di Indonesia berada di urutan ke-26 terbanyak secara global.
WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) memperingatkan, situasi bisa lebih buruk lagi dan butuh lebih lama untuk mengatasinya. Paling cepat pertengahan tahun depan baru bisa teratasi secara global.
Tim peneliti statistika Universitas Padjadjaran (Unpad) memprediksi kasus positif Covid-19 di Indonesia akan mencapai 94.942-117.476 orang pada 19-25 Juli 2020. Prediksi ini bisa menjadi acuan pengambil kebijakan dalam menghadapi lonjakan kasus di masa mendatang.
Kasus aktif pada periode itu diprediksi berjumlah 32.159-62.761 kasus. Ketua tim peneliti statistika Unpad Yuyun Hidayat menuturkan, prediksi menggunakan model auto-regresif modifikasi. Model ini menganalisis sejumlah data, di antaranya kasus positif baru dan angka kesembuhan di periode sebelumnya.
”Kemampuan tes kita meningkat. Konsekuensinya jumlah kasus yang ditemukan juga bertambah. Namun, positivity rate di Indonesia konsisten di atas 10 persen, bahkan rata-rata 11 persen, menunjukkan banyak kasus di masyarakat belum terdeteksi,” kata Dicky.
Sesuai standar WHO, positivity rate yang dianggap aman di suatu wilayah maksimal 5 persen asalkan jumlah tes 1 per 1.000 penduduk per minggu. Studi menunjukkan, positivity rate di atas 10 persen artinya jumlah kasus sesungguhnya 10 kali dari yang ditemukan. Tingginya positivity rate menunjukkan cakupan tes jauh dari ideal.
Aman palsu
Namun, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Wiku Adisasmito beranggapan, situasi kian terkendali ditandai berkurangnya zona berisiko tinggi penyebaran Covid-19. Menurut pemetaan zonasi risiko penularan Covid-19, per 12 Juli 2020, ada 31 kabupaten/kota dengan zona risiko tinggi. Delapan provinsi menjadi perhatian karena tingginya kasus, antara lain Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah.
Dicky menilai penetapan zonasi tanpa pembatasan antarwilayah secara ketat memicu rasa aman palsu. Apalagi mayoritas daerah belum memenuhi jumlah tes PCR atau reaksi rantai polimerase minimal. Menurut worldometers.info, jumlah tes di Indonesia berada di urutan kedua terendah dari 26 negara dengan kasus terbanyak. Tes di Indonesia 4.011 per satu juta penduduk, hanya lebih baik dari Mesir.
Sementara itu, pemerintah memperbarui pedoman pencegahan dan pengendalian Covid-19. Sejumlah indikator diganti, antara lain tak lagi memakai istilah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG). Kasus kematian yang dilaporkan tak hanya terkonfirmasi Covid-19, tetapi juga diduga terinfeksi.
Pedoman itu diperbarui lewat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 413 Tahun 2020. Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, istilah ODP dan PDP kini disebut suspek. Ada juga istilah probable, yakni kasus suspek dengan gejala klinis Covid-19 dan belum ada hasil tes PCR.
Sesuai panduan baru, pemeriksaan pasien terduga Covid-19 berbasis molekuler dengan tes cepat molekuler (TCM) dan PCR. Tes cepat tak dipakai untuk diagnostik, tetapi hanya untuk penapisan serta riset epidemiologi.