Pemberian kewenangan kepada LPS untuk menyelamatkan dan menempatkan dana pada bank bermasalah disoroti banyak kalangan. Ada kekhawatiran terjadi ”moral hazard”.
Oleh
Editor
·3 menit baca
Pemberian kewenangan kepada LPS untuk menyelamatkan dan menempatkan dana pada bank bermasalah disoroti banyak kalangan. Ada kekhawatiran terjadi moral hazard.
Perluasan kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini dinilai menabrak prinsip tata kelola dari segi pengawasan, transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian, dan penegakan hukum (Kompas, 13/7/2020).
Kekhawatiran umumnya muncul karena saat ini belum ada kriteria jelas bank yang layak menerima penempatan dana LPS. Ada ketakutan, bank penerima kesulitan likuiditas bukan akibat pandemi sehingga penyelamatannya berpotensi merugikan negara. Sementara LPS sendiri tak bisa digugat hukum atas langkah itu karena tindakan tersebut diperlukan untuk mempercepat penanganan dampak Covid-19 (UU No 2/2020).
Kekhawatiran pengamat sangat beralasan. Kita semua tak menghendaki terulangnya kembali kasus megaskandal penyelamatan bank seperti BLBI dan Bank Century.
Pandemi Covid-19 memaksa semua negara menempuh langkah-langkah nonkonvensional untuk penyelamatan ekonominya, termasuk sektor perbankan.
Namun, kita perlu melihat masalah ini dalam konteks situasi terkini. Dalam istilah pemerintah, situasi saat ini situasi luar biasa sehingga diperlukan pula langkah-langkah luar biasa untuk mengatasinya. Pandemi Covid-19 memaksa semua negara menempuh langkah-langkah nonkonvensional untuk penyelamatan ekonominya, termasuk sektor perbankan.
Keputusan memperluas wewenang LPS tak berdiri sendiri. Ini ditempuh dalam rangka menjaga likuiditas dan kestabilan sistem keuangan serta sebagai tindak lanjut upaya penanganan dampak korona, sebagaimana diatur dalam Perppu No 1/2020.
Perbankan ibarat jantung yang mengalirkan darah ke perekonomian dan sifatnya sistemik. Sementara saat ini intervensi BI tak dimungkinkan karena UU BI membatasi kewenangan BI hanya membantu likuiditas bank sehat lewat Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP). Tak semua bank juga bisa mengakses pinjaman antarbank karena besarnya jaminan yang harus diberikan. Dalam situasi seperti ini, harapan menjadi ada di pundak pemerintah.
Untuk mengatasi problem solvabilitas perbankan/lembaga keuangan dan sektor riil, sejumlah kebijakan ditempuh, termasuk penempatan dana Kemenkeu di bank BUMN. Namun, ini dinilai tak cukup longgarkan likuiditas yang ada.
Statistik prapandemi menunjukkan perbankan dalam kondisi solid, baik dari sisi rasio kecukupan modal, kredit bermasalah, likuiditas, maupun profitabilitas. Namun, pandemi menempatkan bank pada tekanan luar biasa. Tekanan berat likuiditas terutama dialami bank papan bawah bermodal kecil. Ketatnya likuiditas sempat memunculkan rumor dan persaingan tak sehat, yang membahayakan perbankan. Kredit bermasalah juga meningkat tajam di semua kategori bank.
PP No 33/2020 sudah mengatur dengan tegas perluasan kewenangan LPS yang sifatnya terbatas dan sementara. Besar eksposurnya pun dibatasi untuk setiap bank dan terhadap total aset LPS. Penempatan dana juga tak menyasar bank tertentu, tetapi dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan dilakukan setelah bank ditetapkan OJK sebagai bank dalam pengawasan intensif.
Dengan penguasaan informasi yang baik, penerapan kriteria bank penerima dan ketentuan aset jaminan yang ketat, kehati-hatian ekstra serta pengawasan berlapis, seharusnya moral hazard bisa dicegah.