Masih Diteliti Rekayasa Penanaman Mangrove dalam Sistem Tanggul Tsunami di Teluk Palu
›
Masih Diteliti Rekayasa...
Iklan
Masih Diteliti Rekayasa Penanaman Mangrove dalam Sistem Tanggul Tsunami di Teluk Palu
Penanaman mangrove sebagai bagian dari sistem tanggul laut untuk mitigasi tsunami di Teluk Palu, Kota Palu, Sulteng, belum dimulai. Padahal, sebagian unsur tanggul sedang dikerjakan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Pembangunan tanggul tsunami di Teluk Palu, Kota Palu, sepanjang 7 kilometer mulai berjalan. Rekayasa untuk penanaman vegetasi alami berupa mangrove sebagai bagian dari sistem pelindung pantai tersebut masih diteliti.
Pembangunan tanggul yang dilakukan saat ini berupa penumpukan batu setinggi sekitar 3 meter hampir sepanjang 7 kilometer. Batu-batu pecah dalam bongkahan besar disusun rapi di bibir pantai mulai dari Kelurahan Silae, Kecamatan Palu Barat, hingga Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore. Tersisa di beberapa titik batu belum tersusun.
Batu ditumpuk atau disusun dengan elevasi sekitar 45 derajat di sisi arah laut dan darat. Di bagian atas, batu disusun rata dengan lebar sekitar 4 meter. Jika berdiri di dekat susunan batu itu, laut tak tampak dari daratan.
Tumpukan batu tersebut merupakan lapis pertama dari sistem tanggul tsunami di Teluk Palu. Setelah lapis pertama itu, akan dibangun jalan raya yang ditinggikan (elevated road). Di beberapa titik nantinya akan ada ruang terbuka antara tumpukan batu dan jalan. Selain itu, dibangun juga sejumlah rumah aman (shelter) untuk evakuasi tsunami.
Sistem tanggul tersebut bagian dari mitigasi tsunami pascagempa dan tsunami di Teluk Palu pada 28 September 2018. Kawasan Teluk Palu seperti juga kawasan pantai di titik lain Kota Palu dan Kabupaten Donggala porak-poranda karena hantaman tsunami.
Tak hanya struktur buatan, sistem tanggul itu juga mengakomodasi vegetasi mangrove berupa bakau sebagai unsur alami. Bakau ditanam di bagian depan tumpukan batu sepanjang separuh dari panjang tanggul. Kombinasi bakau itu bentuk jalan tengah yang diambil pemerintah di tengah polemik pembangunan tanggul tsunami. Sejumlah aktivis lingkungan dan pegiat kebencanaan menolak pembangunan tanggul dengan mengusulkan penanaman bakau untuk mengurangi dampak tsunami.
Berdasarkan pantauan, rekayasa untuk penanaman bakau itu belum mulai dilakukan. Tak ada aktivitas yang dimaksud di lokasi-lokasi yang ditetapkan untuk bakau, antara lain di Kelurahan Silae dan Kelurahan Lere.
Terkait hal itu, Ketua Satuan Tugas Penanganan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto menyatakan, penanaman mangrove baru dimulai awal tahun 2021. ”Saat ini, tim sedang mengkaji di laboratorium rekayasa untuk penanaman mangrove dengan menangkap lumpur dari muara Sungai Palu ke lokasi penanaman bakau,” ujarnya di Palu, Sulteng, Rabu (15/7/2020).
Rekayasa tersebut dilakukan karena bakau ditanam di laut, bukan di titik pasang surut. Dengan adanya aliran lumpur dari Sungai Palu, rekayasa itu bisa dilakukan. Bakau hidup dengan baik di titik pasang surut yang mengandung lumpur.
Saat peresmian pembangunan tanggul pada awal November 2019 dengan tak menyebut negara, Arie menyebutkan rekayasa menangkap lumpur untuk penanaman bakau itu berhasil dilakukan di sejumlah tempat di luar negeri.
Pegiat literasi kebencanaan di Palu, Neni Isnaeni, meragukan rencana penanaman bakau itu. Bakau hanya bisa tumbuh baik di sempadan pantai atau pasang-surut, bukan di laut.
”Sempadannya sudah diambil oleh tumpukan batu. Saya tetap berpandangan mangrove atau bakau itu tak akan ditanam. Diakomodasinya mangrove hanya untuk meredakan penolakan pembangunan tanggul,” ujarnya.
Sempadannya sudah diambil oleh tumpukan batu. (Neni Isnaeni)
Penolakan pembangunan tanggul dan perjuangan penanaman mangrove untuk meminimalkan kerusakan tsunami merujuk pada kondisi di Kelurahan Kabonga Kecil dan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Saat tsunami terjadi, daya rusak di kawasan pantai yang dilindungi bakau cukup kecil. Hal itu berbeda jauh dengan permukiman lain yang bersih tersapu tsunami karena tanpa perlindungan bakau.