Pernikahan anak di Aceh marak. Anak perempuan dipaksa menikah karena orangtua tidak mampu menafkahi dan memenuhi hak. Dengan dinikahkan, diharapkan nafkah hidup dan perlindungan dipenuhi oleh suaminya.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kasus perkawinan anak di bawah umur masih marak terjadi di Provinsi Aceh. Pemicunya adalah perekonomian keluarga yang buruk, keluarga disharmonis, dan hamil dari hubungan seks luar nikah. Perkawinan anak di bawah umur berdampak buruk terhadap pendidikan, kesehatan reproduksi, dan ketidakmatangan psikologis mengelola rumah tangga.
Flower Aceh, lembaga swadaya masyarakat perempuan dan anak, melaporkan selama Maret-Juni 2020 telah mendampingi 36 perempuan yang menikah di bawah umur. Pendampingan itu dilakukan di tiga kabupaten/kota, yakni Banda Aceh, Pidie, dan Aceh Utara. Di Aceh terdapat 23 kabupaten/kota.
Direktur Flower Aceh Riswati, Rabu (15/7/2020), mengatakan, 36 anak perempuan yang juga menjadi koresponden penelitian itu menikah di usia 15-17 tahun. Saat ini sebagian dari mereka telah memiliki anak, ada yang telah bercerai, dan ada yang ditelantarkan oleh suami.
”Ini baru tiga daerah yang kami survei. Mungkin banyak kasus yang tidak terungkap ke permukaan,” kata Riswati.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan batas minimal usia menikah untuk perempuan 19 tahun dan lelaki 19 tahun.
Anak perempuan yang menikah di bawah umur, lanjut Riswati, adalah korban kegagalan keluarga, masyarakat, dan pemerintah dalam melindungi mereka. Anak perempuan dipaksa menikah karena orangtua tidak mampu menafkahi dan memenuhi hak mereka. Dengan dinikahkan, diharapkan nafkah hidup dan perlindungannya dipenuhi oleh suaminya.
Anak perempuan dipaksa menikah karena orangtua tidak mampu menafkahi dan memenuhi hak mereka.
Namun, menurut Riswati, faktanya tidak sedikit yang terjebak dalam kondisi yang semakin sulit. Secara mental, mereka belum siap mengelola rumah tangga dan mengurus anak. Setelah menikah, anak perempuan itu tidak bisa melanjutkan pendidikan. Tingkat pendidikan responden Flower Aceh sebagian besar sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Selain faktor ekonomi keluarga yang buruk, ada juga anak korban penceraian orangtua. Anak tersebut dianggap beban oleh keluarga besar sehingga dinikahkan agar lepas tanggung jawab. ”Ada yang memalsukan usia anak supaya proses administrasi bisa diurus,” ujar Riswati.
Riswati menambahkan, sosialisasi tentang undang-undang perkawinan harus lebih sering dilakukan. Pemerintah juga perlu memperbanyak program pemberdayaan ekonomi keluarga.
Ketua Badan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (BP2TP2A) Banda Aceh Siti Maisarah mengatakan, pihaknya bersama dinas terkait memberikan intervensi khusus bagi anak korban perkawinan di bawah umur. Selain pendampingan psikologis, mereka diberikan pelatihan keterampilan dan modal usaha.
”Faktor ekonomi lemah paling besar pengaruhnya terhadap terjadinya perkawinan anak. Karena itu, penguatan ekonomi keluarga sangat penting,” kata Siti.
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh, Endang Setianingsih, menuturkan, secara psikologis, anak belum siap menjalani tanggung jawab sebagai orangtua. Saat ada masalah, anak tersebut cepat putus asa, menjadi pribadi tertutup, dan mudah emosi.
”Dia akan mengalami krisis kepercayaan diri dan bisa depresi. Anak juga rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga,” kata Endang. Anak yang telanjur dinikahkan perlu pendampingan secara psikologis, penguatan ekonomi, dan peningkatan pengetahuan lainnya.
Anak harus dipersiapkan dengan baik untuk menuju usia perkawinan. Mereka perlu disiapkan pengetahuan kesehatan, spiritual, mental, dan keterampilan.