Dengan alasan risiko penularan Covid-19 dan penyakit kulit, Polresta Manado membiarkan tersangka pemerkosa anak bebas berkeliaran di sekitar rumahnya. Korban yang adalah tetangganya merasa tidak aman.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Manado, Sulawesi Utara, menjadikan pandemi Covid-19 dan penyakit kulit sebagai alasan untuk tidak menahan W (65), pria tersangka kejahatan seksual terhadap anak. Pelaku yang berstatus tahanan kota dibiarkan berkeliaran di lingkungan rumahnya di Pineleng, Kabupaten Minahasa, sehingga S (9), korban yang juga tetangganya, merasa tidak aman.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Manado Ajun Komisaris Marmi Asih, Rabu (15/7/2020), menyatakan telah menerima aduan dari EL (47), ibu S, tentang tindakan W terhadap S pada 11 Mei lalu. Saat ini, proses penyidikan masih berlangsung. ”Sudah masuk tahap satu,” kata Asih dalam rapat dengan dinas terkait di kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPPA) Sulut.
”Kami ada sel untuk kurungan, tetapi kapasitasnya tidak cukup. Kami khawatir dia sakit Covid-19, apalagi sudah lansia. Selain itu, dia juga bakado (korengan), kami khawatirkan malah menular ke tahanan lain,” kata Asih.
Kami ada sel untuk kurungan, tetapi kapasitasnya tidak cukup. Kami khawatir dia sakit Covid-19, apalagi sudah lansia. Selain itu, dia juga bakado (korengan), kami khawatirkan malah menular ke tahanan lain.
Kendati begitu, selama dua bulan sejak pelaporan, W tidak pernah ditahan di Polresta Manado ataupun di rumah tahanan. Sebab, saat pemeriksaan dan pembuatan berita acara polisi, kata Asih, W menyatakan dirinya sakit meski tidak jelas apa penyakitnya. Asih juga menyatakan W sakit kulit yang berpotensi menular.
Asih mengaku tidak tahu pelaku terus beraktivitas seperti biasa. Setiap hari, W pergi ke kebunnya yang terletak lebih dari 300 meter dari rumahnya dengan melewati rumah EL dan S di Desa Pineleng I. W juga sering sekadar jalan santai. Ini menyebabkan S terus dirundung rasa takut ketika melihat atau berpapasan dengan W.
Hal ini baru diketahui kepolisian setelah AIN (33), pejabat pembuat akta tanah (PPAT) asal Daerah Istimewa Yogyakarta yang tinggal sementara di seberang rumah EL dan S membuat postingan di Facebook soal pemerkosaan terhadap S. Postingan itu kemudian viral dan menangkap perhatian pemerintah dan lembaga bantuan hukum (LBH) serta perlindungan anak. Karena itu pula, rapat di kantor UPTD PPPA Sulut digelar.
Korban ketakutan
Menurut Asih, ketakutan S tidak pernah disampaikan dalam pemeriksaan sehingga kepolisian tidak mengambil tindakan. ”Otomatis kami tidak tahu. Kalau itu disampaikan, pasti kami akan tahan. Sekarang akan kami upayakan menahan pelaku,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, AIN yang tinggal di rumah neneknya di Pineleng mengatakan telah menemui EL dan mendengarkan ceritanya, Minggu (12/7/2020), setelah mendengar celetukan tetangga. Selama dua bulan sejak melapor, EL dan S tidak didampingi kuasa hukum. Kejaksaan Negeri Manado juga telah menerima aduan mereka, tetapi proses hukum berjalan lambat.
Sementara trauma S muncul setiap melihat W. ”Senin (13/7/2020), saya sarapan dengan Adik S ketika tiba-tiba si Opa (pelaku) lewat. Gara-gara itu, Adik S jadi khawatir, sedikit-sedikit menoleh ke jalan, waspada kalau pelaku muncul lagi. Jadi, saya langsung bawa dia pulang,” kata AIN yang juga penyintas kekerasan seksual.
Menurut AIN, pemerkosaan terhadap S terjadi lebih dari dua kali. W memberi uang kepada S dan mengancamnya agar tidak memberi tahu siapa-siapa. Sejak EL melapor ke polisi, warga di lingkungan tempat tinggal mereka akhirnya tahu. Keberadaan korban selain S belum diketahui.
”Tetapi, banyak warga yang meragukan tuduhan ini. Banyak yang bilang mungkin dia bohong. Bahkan ada yang menyuruh S diam di rumah daripada diperkosa si Opa lagi,” kata AIN.
Sejak postingannya viral, banyak pihak, pemerintah, dan lembaga hukum yang mendatangi EL dan S. Namun, banyaknya orang yang datang menyebabkan keduanya semakin takut. AIN pun belum berkenan ditemui dan mempertemukan Kompas dengan keluarga korban.
Sementara itu, pengacara publik LBH Manado, Citra Tangkudung, menyatakan telah resmi menjadi kuasa hukum keluarga korban sejak Selasa (14/7/2020) malam. Target jangka pendek yang hendak dicapai adalah meminta kepolisian menahan W yang telah melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal lima tahun.
”Untuk tindak pidana yang hukumannya minimal 5 tahun, sudah seharusnya tersangka ditahan. Kepolisian seharusnya bisa menyediakan rasa aman bagi korban. Langkah selanjutnya, kami masih menyusun strategi,” kata Citra.
Pendampingan psikologis
Dalam rapat Rabu siang, Kepala UPTD PPPA Sulut Marsel Silom meminta kepolisian segera menahan W dan mencarikan sel yang dinilai pas dengan tetap memperhatikan risiko penularan Covid-19. ”Korban sangat rawan bertemu dengan pelaku dan berinteraksi, ini harus diminimalkan,” katanya.
Marsel juga meminta Dinas PPPA Minahasa untuk memberikan pendampingan psikologis bagi S. Namun, Kepala Dinas PPPA Minahasa Youla Mamahani mengatakan, pihaknya hanya memiliki seorang psikolog yang sudah dibebani tugas lain. Dinasnya juga tidak memiliki rumah aman untuk menampung anak korban kekerasan seksual.
Korban sangat rawan bertemu dengan pelaku dan berinteraksi, ini harus diminimalkan.
Karena itu, UPTD PPPA akan memfasilitasi pemulihan psikologis dalam waktu dekat serta bersedia menyediakan rumah aman. Adapun Dinas PPPA Minahasa diminta memberikan pembinaan kepada tokoh agama dan masyarakat setempat agar menciptakan lingkungan yang aman bagi S dan tidak menyematkan stigma kepadanya.
Youla mengatakan, pihaknya juga masih harus mendekati keluarga korban. ”Jangan sampai korban malah terpisah dari ibunya karena harus ditempatkan di rumah aman,” katanya.
Sepanjang Januari-Juli 2020, UPTD PPPA memberikan pendampingan bagi 68 korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sepuluh di antaranya adalah kekerasan seksual, seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak.
Sementara itu, Koordinator Program Swara Parangpuang, lembaga paralegal yang menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengatakan, ada ratusan kekerasan berbasis jender setiap tahun di Sulut, 70 persen korbannya adalah anak-anak. ”Korban kekerasan seksual membutuhkan penguatan psikologis dan sosial. Kami akan terlibat dalam bidang itu di kasus S,” kata Mun.