Neraca perdagangan RI pada Juni 2020 surplus 1,27 miliar dollar AS. Hal ini berkorelasi dengan pergerakan masyarakat dan geliat industri yang menandakan aktivitas perekonomian sehingga perlu tetap dijaga.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun nilai ekspor dan impor sepanjang semester-I 2020 turun, kinerja perdagangan pada Juni 2020 menunjukkan geliat perdagangan dan perekonomian. Oleh sebab itu, geliat ini mesti dijaga untuk menopang kinerja ekspor-impor di tengah pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, kinerja perdagangan pada enam bulan pertama 2020 surplus sebesar 5,5 miliar dollar AS. Nilai ekspor Indonesia sebesar 76,41 miliar dollar AS atau turun 5,49 persen dibandingkan Januari-Juni 2019. Adapun impornya senilai 70,91 miliar dollar AS, merosot 14,28 persen dari periode sama tahun lalu.
Nilai impor pada Juni 2020 melesat 27,56 persen menjadi 10,76 miliar dollar AS dibandingkan Mei 2020. Nilai ekspor pada periode yang sama juga meningkat 15,06 persen dibandingkan Mei 2020 menjadi 12,03 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (15/7/2020), menilai, kinerja ekspor-impor tersebut merupakan sinyal positif bagi aktivitas perdagangan Indonesia. Harapannya, sinyal positif ini dapat berlanjut pada bulan-bulan berikutnya.
Kinerja neraca perdagangan tersebut berkorelasi dengan pergerakan masyarakat yang menandakan aktivitas perekonomian. Sejak pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tingkat mobilisasi, khususnya aktivitas di perkantoran, menunjukkan peningkatan meskipun belum pulih seutuhnya.
”Agar sinyal positif tersebut mewujud menjadi kinerja neraca perdagangan yang terjaga selama pandemi Covid-19, keseimbangan antara aspek kesehatan dan aktivitas ekonomi perlu diupayakan dan dijaga. Kuncinya ada di kepatuhan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan dalam aktivitas ekonomi yang dijalaninya,” katanya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Kinerja neraca perdagangan tersebut berkorelasi dengan pergerakan masyarakat yang menandakan aktivitas perekonomian.
Berdasarkan sektornya, nilai ekspor industri pengolahan sepanjang Januari-Juni 2020 turun 0,41 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya menjadi 60,76 miliar dollar AS. Namun, nilai ekspor industri pengolahan pada Juni 2020 meningkat 15,96 persen dibandingkan Mei 2020 menjadi 9,66 miliar dollar AS.
Dari segi penggunaan barang, impor bahan baku atau penolong pada Juni 2020 meningkat 24,01 persen secara bulanan menjadi 7,58 miliar dollar AS. Impor barang modal pun naik 27,35 persen menjadi 1,77 miliar dollar AS pada periode yang sama.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, berpendapat, aktivitas impor bahan baku/penolong beserta barang modal itu mengindikasikan geliat industri di tengah pandemi Covid-19. Peningkatan impor itu merupakan sinyal keberlanjutan aktivitas industri ke depan.
Dipadukan dengan inflasi Juni 2020 yang sebesar 0,18 persen yang menunjukkan perbaikan permintaan masyarakat, ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengakselerasi realisasi stimulus fiskal bagi pelaku industri. ”Harapannya, operasional industri dapat terjaga dalam memenuhi permintaan dalam dan luar negeri,” katanya.
Aktivitas impor bahan baku/penolong beserta barang modal itu mengindikasikan geliat industri di tengah pandemi Covid-19. Peningkatan impor itu merupakan sinyal keberlanjutan aktivitas industri ke depan.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani mengemukakan, permintaan dari dalam dan luar negeri sudah muncul sehingga potensi pemulihan ekonomi semakin nyata. Namun, pelaku industri masih terkendala dengan penurunan pendapatan dibandingkan masa sebelum pandemi Covid-19 yang berdampak pada gangguan aliran kas.
Walaupun permintaan dari luar negeri sudah muncul, jumlahnya belum sebesar pada masa sebelum pandemi Covid-19. Imbasnya, tiap negara mesti berkompetisi untuk mememangkan pasar tersebut.
”Untuk itu, optimalisasi fasilitas dari perjanjian perdagangan Indonesia dengan mitra dagang berperan krusial untuk meningkatkan daya saing produk,” ujarnya.
Salah satu perjanjian dagang yang baru diimplentasikan pada Juli ini ialah Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA). Perjanjian yang mengatur tentang perdagangan barang, jasa, dan investasi ini diperkirakan dapat meingkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 0,23 persen.
Menurut Fithra, dengan IA-CEPA, Indonesia mesti memanfaatkan impor bahan baku dari Australia. Sebaliknya, eksportir Indonesia didorong untuk meningkatkan penetrasinya ke pasar Australia.
Selain IA-CEPA, pemerintah juga sudah memberlakukan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Hong Kong (AHK-FTA). ”AHK-FTA dapat dimanfaatkan untuk menembus pasar China secara jangka pendek. Apalagi, aktivitas China kini tengah bergeliat kembali sehingga impornya berpotensi meningkat. Peluang ini mesti ditangkap oleh Indonesia,” tuturnya.
BPS mencatat, pada Juni 2020, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara lain. Defisit perdagangan terbesar adalah dengan China, yaitu sebesar 5,3 miliar dollar AS, kemudian dengan Thailand 1,48 miliar dollar AS, dan Australia 874 juta dollar AS.