Perajin batik di Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan tetap percaya diri, tidak terpengaruh klaim atas batik dari negara lain. Klaim ini dinilai justru makin menumbuhkan rasa memiliki publik Indonesia terhadap batik.
Oleh
Haris Firdaus/Nino Citra Anugrahanto/Kristi Utami
·3 menit baca
Perajin batik di Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan tetap percaya diri, tidak terpengaruh klaim atas batik dari negara lain. Klaim ini dinilai justru makin menumbuhkan rasa memiliki publik Indonesia terhadap batik.
Kata batik berasal dari kata amba dan titik. Kata itu muncul dalam percakapan bersama Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia Romi Okta Birawa pada Selasa (14/7/2020) di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. ”Ada juga yang menyebut batik sebagai ngemban titik yang berarti ’satu kain diemban satu orang’,” kata Romi, yang juga seorang perajin batik pekalongan tersebut.
Menurut Romi, proses perintangan warna dilakukan di berbagai belahan dunia sejak tahun 600-an. Namun, batik itu merek dagang dari proses perintangan warna sehelai kain atau tekstil dari Jawa.
Penjelasan Romi terpicu oleh pertanyaan terkait klaim bahwa batik berasal dari China, yang dicuitkan akun Twitter kantor berita China, Xinhua, Minggu (12/7/2020).
Cuitan itu bersambut pro-kontra warganet, saat Xinhua mengunggah video lain yang menyatakan kerajinan cetak lilin Tiongkok kuno juga dikenal sebagai batik, Senin (13/7/2020). Namun, Xinhua mengakui batik adalah kata asal Indonesia dan mengacu pada teknik pewarnaan tahan lilin yang dipraktikkan di banyak bagian di dunia.
”Mungkin, teknik membatik juga memang ada di China. Menurut saya, yang penting kita terus berkarya saja,” kata Ketua Paguyuban Batik Tulis Giriloyo Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta (DIY), Isnaini Muhtarom, Selasa.
Muhtarom menuturkan, ketekunan dan konsistensi untuk terus berkarya justru mendorong eksistensi batik tulis Indonesia. Apalagi, pengerjaan batik tulis perlu keterampilan khusus. Selain itu, batik tulis unik karena goresan lilin antara seorang perajin batik dan perajin lainnya berbeda-beda.
Kondisi ini membuat sepotong kain batik tulis, yang rampung digarap, sulit diduplikasi. Sisi eksklusivitas itu membuat batik tulis kian bernilai.
Menurut Muhtarom, tantangan berat pengembangan batik tulis justru muncul dari banyaknya batik cetak yang diproduksi dengan harga murah. Hal ini karena harga sepotong batik tulis relatif mahal, yakni Rp 500.000 hingga Rp 2 juta. Adapun batik cetak hanya dibanderol sekitar Rp 30.000 per meter.
”Masyarakat perlu lebih diedukasi tentang nilai-nilai batik tulis. Harapannya, nanti masyarakat bisa lebih menghargai batik tulis dan tidak menyamakannya dengan batik cetak. Jika batik tulis tidak ada pembelinya, otomatis kelak tidak akan ada yang membatik lagi,” kata Muhtarom.
Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Solo, Alpha Febela Priyatmono memaparkan, dengan diakuinya batik sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak 2009, pelestarian dan pengembangan batik di Indonesia harus terus dijalankan.
”Agar batik bisa tetap diakui UNESCO, minimal ada tiga hal, yakni produksi, perdagangan, dan edukasi. Edukasi ini juga penting agar batik bisa bertahan dan dilestarikan,” kata Alpha.
Pada masa pandemi Covid-19, para perajin batik di tiga pusat batik, DIY-Solo-Pekalongan, sangat terdampak. Di Kampung Batik Kauman, Solo, misalnya, dari sekitar 40 toko batik, sekitar 90 persennya tutup pada masa awal pandemi Covid-19.
”Akhir Mei itu, toko sudah mulai buka dan mulai ada tamu dari luar kota. Tapi, minggu-minggu ini banyak yang tutup lagi karena ada informasi peningkatan jumlah pasien positif Covid-19 di Solo,” ujar pengurus Kampung Batik Kauman, Gunawan Setiawan.
Di Pekalongan, selama pandemi, jumlah pesanan Tamakun (37), perajin batik, turun dari 30 potong menjadi 5 potong sebulan. Ia bertahan dengan menjual masker batik.
Di tengah pagebluk yang entah kapan berakhir ini, perajin dan pedagang batik, juga pemerintah, memang dituntut terus berinovasi.
Guna meringankan perajin terdampak, Kepala Bidang Koperasi dan UMKM di Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kota Pekalongan Tjandrawati memberdayakan 30 kelompok perajin untuk membuat masker. Sebanyak 133.900 masker dibagikan gratis kepada warga. Ada yang dijual ke sejumlah daerah, seperti dilakukan Tamakun.
Di tengah pagebluk yang entah kapan berakhir ini, perajin dan pedagang batik, juga pemerintah, memang dituntut terus berinovasi. Hal ini, kata Romi, dilakukan sembari meningkatkan kualitas batik agar batik semakin dicintai masyarakat. Ujungnya, batik tetap eksis, warisan budaya luhur tetap lestari, dan perekonomian warga pun tetap bergulir.