Aparat Filipina Diberi Hak Mencari Warga Terpapar Covid-19 hingga ke Rumah
›
Aparat Filipina Diberi Hak...
Iklan
Aparat Filipina Diberi Hak Mencari Warga Terpapar Covid-19 hingga ke Rumah
Polisi dan otoritas keamanan Filipina mendapat kewenangan tambahan untuk mencari dan membawa pasien positif Covid-19 dari rumah ke rumah. Kewenangan ini mendapat tentangan karena dinilai melanggar hak warga.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
MANILA, RABU — Untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, Pemerintah Filipina memberikan kewenangan bagi polisi dan otoritas keamanan untuk menelusuri, mencari dan membawa warga yang terindikasi positif terpapar Covid-19 ke lokasi khusus karantina milik pemerintah. Warga yang menolak akan menghadapi hukuman penjara.
Kebijakan keras ini diberlakukan setelah dalam sepekan terakhir Filipina mencatat lonjakan kasus Covid-19, termasuk tertinggi di Asia Tenggara selain Indonesia. Lonjakan ini terjadi setelah kebijakan penguncian wilayah atau kawasan diperlonggar pada 1 Juni untuk menggerakkan barang dan orang serta perekonomian negara.
Menteri Dalam Negeri Eduardo Ano, Selasa (14/7/2020), mengumumkan pemberlakuan kebijakan ini.
”Kami tidak ingin pasien positif tinggal di rumah, dikarantina (sendiri). Terutama jika rumah mereka tidak memiliki kapasitas (yang memadai). Jadi, yang akan kami lakukan adalah pergi ke rumah-rumah dan kami akan membawa pasien positif ke fasilitas isolasi kami,” kata Ano. Dengan kebijakan itu, Ano mendesak warga melaporkan kasus-kasus yang terjadi di lingkungan mereka dan mengingatkan dampak hukumnya apabila pasien positif di kawasan itu menolak bekerja sama.
Kebijakan pencarian dari rumah ke rumah itu, menurut Ano, sejalan dengan Undang-undang Pelaporan Penyakit dan Pengawasan tahun 2019. Wakil Menteri Dalam Negeri Jonathan Malaya menyatakan, pelacakan kasus warga yang positif terpapar Covid-19 diperlukan karena beberapa dari mereka melarikan diri.
Dikutip dari Rappler, juru bicara Kepresidenan Harry Roque membantah terminologi pencarian ”dari rumah ke rumah” bagi warga yang diduga positif Covid-19. Dia menyatakan, warga yang positif Covid-19 diminta melaporkan diri kepada satuan pemerintahan terkecil negara itu, barangay. Setelah itu pemerintah dan otoritas keamanan yang akan menjemput sang pasien.
”Ini semacam liburan, tapi dibiayai pemerintah,” kata Roque.
Kebijakan yang diterapkan Pemerintah Filipina sekarang berbeda jauh dengan strategi sebelumnya yang meminta agar warga yang positif dan hanya menampakkan gejala ringan mengisolasi diri secara mandiri. Kebijakan terbaru ini juga tidak menjelaskan fasilitas apa yang akan dipakai pemerintah sebagai lokasi karantina mereka.
Dikutip dari laman CNN Filipina, pemerintah mewajibkan 30 persen dari kapasitas tempat tidur yang ada di setiap rumah sakit digunakan untuk merawat pasien Covid-19. Namun, sejauh ini, persentasenya kurang dari yang diwajibkan, yaitu sekitar 30 persen. Dan, bahkan untuk rumah sakit swasta, angkanya lebih rendah lagi.
Dr Rustico Jimenez, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Filipina, mengatakan, persentase 30 persen yang diwajibkan pemerintah sulit dicapai karena beberapa sebab, mulai dari jumlah perawat yang tidak sesuai karena mereka juga terpapar hingga sedikitnya warga yang berobat ke rumah sakit karena kekhawatiran penularan. Hal ini berdampak pada pendapatan rumah sakit yang berujung pada berkurangnya kemampuan operasional mereka.
Pelanggaran hak warga
Kebijakan pencarian dari rumah ke rumah itu membuat pegiat hak asasi manusia Filipina angkat suara. Kebijakan itu dinilai bisa menjadi kekebalan bagi polisi dalam menjalankan perannya seperti yang terjadi ketika Presiden Rodrigo Duterte mengeluarkan kebijakan perang terhadap pengedar narkoba yang menyasar pada kelompok warga miskin.
Selama pandemi, polisi juga dinilai telah melakukan pelanggaran dan penangkapan di luar kewenangannya, bahkan termasuk dugaan adanya tindakan pembunuhan ketika anak-anak melanggar jam malam yang ditetapkan oleh pemerintah.
”Bagaimana pemerintah akan memastikan bahwa hak-hak orang Filipina dihormati dan dilindungi dengan pendekatan baru ini? Mengingat para penegak hukum Filipina memiliki beberapa catatan soal HAM, kebijakan ini tentu saja menimbulkan ketakutan,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch Asia.
Yuyun Wahyuningrum, Komisioner ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights, menyatakan, peningkatan kasus positif, termasuk di dalamnya jumlah kasus aktif, tidak boleh menjadi alasan pembenaran bagi pemerintah dan otoritas keamanan melakukan pencarian dari rumah ke rumah. Melakukan pelacakan bisa dilakukan dengan mekanisme lain, mulai pemasangan aplikasi di gawai hingga memperbanyak jumlah pengujian warga di kawasan yang dinilai rawan.
Dia menilai kebijakan Pemerintah Filipina itu bisa menimbulkan stigma bagi warga yang positif terpapar Covid-19 atau bahkan keluarganya. Selain masalah stigma, kebijakan itu juga mengganggu privasi dan hak warga.
Menurut Yuyun, yang harus dikerjakan secara luas oleh pemerintah adalah uji swab atau PCR secara massal dan juga literasi tentang potensi penyebaran Covid-19, termasuk di dalamnya penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat. (Reuters)