Penolakan Warga Jawa Timur terhadap RUU Cipta Kerja Tetap Kuat
›
Penolakan Warga Jawa Timur...
Iklan
Penolakan Warga Jawa Timur terhadap RUU Cipta Kerja Tetap Kuat
Penolakan warga Jawa Timur terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tetap kuat. Kalangan buruh, mahasiswa, dan warga, Kamis (16/7/2020), kembali berdemonstrasi menolak pembahasan rancangan aturan tersebut.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Penolakan warga Jawa Timur terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tetap kuat. Kalangan buruh, mahasiswa, dan warga, Kamis (16/7/2020), kembali berdemonstrasi menolak pembahasan rancangan regulasi yang dijuluki sapu jagat atau omnibus law itu.
Demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja kembali terjadi di tengah perjuangan multipihak menangani wabah Covid-19 (Coronavirus disease) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2). Di Surabaya, konsentrasi unjuk rasa ada di depan kantor Gubernur Jatim atau kawasan Tugu Pahlawan.
Pengunjuk rasa di Surabaya menamakan diri Aliansi Gerakan Tolak (Getol) Omnibus Law. Mereka beberapa kali berdemonstrasi dengan tuntutan penolakan RUU Cipta Kerja sejak tahun lalu ketika rencana peraturan tersebut digulirkan oleh pemerintah.
Juru Bicara Getol Habibus Shalihin yang juga pengacara pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menyatakan, menolak seluruh isi atau materi pembahasan sejumlah RUU dalam kluster omnibus law. Selain itu, DPR diminta menghentikan pembahasan, apalagi menyetujui RUU Cipta Kerja.
Getol juga mendesak pemerintah untuk membatalkan UU Minerba yang dianggap telah menghancurkan kehidupan rakyat. Mereka juga meminta negara mewujudkan reforma agraria sejati dan selesaikan konfliknya.
”Kami menuntut pemerintah bertanggung jawab terhadap pemutusan hubungan kerja yang terjadi saat wabah Covid-19,” ujar Habibus.
Wabah memaksa aparatur negara menerapkan pembatasan sosial di seluruh sektor kehidupan sehingga perekonomian macet. Sektor usaha, terutama pariwisata yang menghidupi jutaan warga Jatim, lumpuh dan belum bisa bangkit. Kemandekan perekonomian merupakan konsekuensi dari masyarakat yang membatasi aktivitas dan konsumsi demi mencegah atau menekan potensi penularan Covid-19.
PHK dan kebijakan perusahaan merumahkan pekerja tidak bisa dihindari sebagai salah satu dampak Covid-19. Namun, penerapan PHK atau merumahkan buruh tidak dibarengi dengan pemberian hak yang memadai, khususnya gaji, pesangon, atau tunjangan hari raya (THR). Inilah yang disesalkan oleh Getol dan demonstran.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jatim Apin Sirait menambahkan, dalam situasi wabah, tekanan kepada masyarakat, terutama kaum buruh, kian besar dengan ”kewajiban” untuk menjalani tes Covid-19. Tidak semua bupati, wali kota, bahkan gubernur mau menanggung biaya tes yang dianggap kemahalan atau tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.
”Kami berharap Ibu Gubernur (Khofifah Indar Parawansa) meneruskan dan menjadikan tuntutan kami sebagai aspirasi daerah kepada DPR dan Presiden,” kata Apin.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, sejauh ini ada 231 perusahaan yang melapor telah menerapkan PHK terhadap 7.000 pekerja. Selain itu, ada 607 perusahaan yang terpaksa merumahkan 34.200 buruh.
”PHK dan merumahkan pegawai sebagai dampak wabah ini,” ujar Emil.
Aparatur negara juga terpaksa mengubah mekanisme kerja dan pelayanan. Aparatur sipil negara bekerja bergantian atau ada yang memenuhi kewajiban dari rumah. Untuk sekolah, belum bisa diadakan pembelajaran tatap muka atau dengan metode jarak jauh dalam jaringan internet.