Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan terhadap perempuan dan anak, yang harus dihentikan saat ini. Komitmen DPR untuk mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang sangat dinantikan publik.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 1.500 akademisi dari sejumlah perguruan tinggi menyuarakan keprihatinan atas kekerasan seksual yang terus terjadi di Indonesia. Mereka mendukung Dewan Perwakilan Rakyat segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Para akademisi itu, antara lain, meliputi guru besar berbagai kepakaran, pusat studi jender, dan dosen. ”Kekerasan seksual pada perempuan dan anak tak hanya kekerasan terhadap kesusilaan, tetapi juga kejahatan kemanusiaan,” kata Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam deklarasi Aliansi Akademisi untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Rabu (15/7/2020), di Jakarta.
Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan mengangkat Indonesia sebagai negara yang memperhitungkan kemanusiaan perempuan dan anak. Narasi itu dibawakan Sulistyowati bersama guru besar dari sejumlah perguruan tinggi, yakni Muhadjir Darwin (Universitas Gadjah Mada), Nina Nurmila (Universitas Islam Negeri Bandung), dan Henri Subiakto (Universitas Airlangga), serta dosen yang mengawal RUU itu, yaitu Sri Wiyanti Eddyono, Valentina Sagala, dan Pingky Saptandari.
Kekerasan seksual pada perempuan dan anak tak hanya kekerasan terhadap kesusilaan, tetapi juga kejahatan kemanusiaan.
Nina mengatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disusun berdasarkan fakta yang didokumentasikan para pendamping korban kekerasan seksual pada 2001-2011 yang menemui jalan buntu saat mencari keadilan karena tak ada payung hukum yang melindungi korban. Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya mengenal dua jenis kekerasan seksual, yakni pencabulan dan pemerkosaan, dengan definisi terbatas.
Karena itu, DPR diminta menunjukkan keberpihakan kepada korban. Sayang, DPR malah mengeluarkan RUU itu dari daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 sehingga memicu kekecewaan publik. Muhadjir menduga lambatnya proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menunjukkan keengganan wakil rakyat dan ketidakmampuan menangkap urgensi RUU itu.
Henri menambahkan, pencegahan kekerasan seksual bukan hanya urusan aktivis perempuan, melainkan juga masyarakat. Kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dinantikan untuk melindungi perempuan dan anak.
Para akademisi menyampaikan surat terbuka dari Aliansi Akademisi untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada Ketua DPR dan Presiden. Surat itu dibacakan Arianti Ina Restuani Hunga, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Menerjemahkan konsep
”Kami siap berpartisipasi aktif sesuai kepakaran dalam mengejawantahkan konsep dalam RUU itu yang jadi perdebatan agar menemukan solusi dan DPR mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Arianti.
Aliansi Akademisi untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diwakili Aquarini Priyatna Prabasmoro dari Universitas Padjadjaran, Bandung, juga mendeklarasikan kesiapan mendukung RUU itu. Di tengah acara, seorang mahasiswa berbicara mewakili penyintas yang mengalami kekerasan seksual sejak kecil.
Para akademisi menilai kekerasan seksual seolah jadi wajah bangsa saat ini karena terjadi di mana-mana. Tak ada ruang aman bagi rakyat di rumah, sekolah, tempat kerja, ruang publik, dan institusi keagamaan. Pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan berakhir membutuhkan produk hukum agar kekerasan seksual tidak makin buruk.
Terkait hal itu, UU Penghapusan Kekerasan Seksual akan memberi payung hukum bagi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual serta memberi efek jera bagi pelaku. Apalagi, kekerasan seksual mengakibatkan korban mengalami trauma, depresi, hingga bunuh diri.
Anggota DPR, Esti Wijayanti, memastikan komitmen DPR memasukkan kembali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas Prioritas 2021. ”Bukan kami mengabaikan, tetapi ada beberapa hal yang harus diselesaikan lebih dulu,” katanya.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, ada sejumlah regulasi untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan.
Ia menegaskan, pemerintah sangat menaruh perhatian pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kekerasan seksual. Maka, sejak beberapa tahun terakhir berbagai regulasi untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan dihadirkan.
”Situasi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, tidak hanya anak perempuan, tetapi juga anak laki-laki, sudah pada tingkat memprihatinkan. Bahkan, di masa pandemi Covid-19 ini, kita dibuat terkaget-kaget, betapa kekerasan seksual terus terjadi menimpa perempuan dan anak-anak. Ini alarm bagi kita semua untuk melawan dan menghentikan kejahatan-kejahatan kemanusiaan seperti ini,” ujar Bintang.