Setelah Indonesia Naik ke Kelompok Pendapatan Menengah Atas
Kita harus waspada dengan pertumbuhan PDB yang basis kelas sosialnya terlalu mengandalkan kelas menengah, apalagi beririsan dengan basis kualitas rendah lainnya, seperti sektor ekstraktif dan sektor properti.
Semapan apa pun posisi suatu negara ataupun korporasi, setiap mendapatkan julukan positif hendaklah disambut dengan rasa syukur, serta diiringi sikap hati-hati. Bahkan, untuk suatu julukan positif yang didapat dari lompatan besar sekalipun, dalam dunia yang makin dinamis ini, harus kita cerna secara perlahan sambil kita bayangkan beberapa kemungkinan ujung kenikmatan yang akan didapatkan.
Penulis menyampaikan pesan ini menyambut status Indonesia yang baru saja dilansir Bank Dunia menjadi negara berpendapatan menengah atas berdasarkan perhitungan pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) per kapita.
Hal pertama yang perlu diingat dalam menyambut kenaikan status kemampuan ekonomi yang makin tinggi ini adalah akumulasi deviasi pergerakan antarsektor, antarkelas sosial, bahkan antarwilayah dari perekonomian yang diagregasi ke tingkat atas tadi, yang kemudian diturunkan kembali ke ukuran per kapita.
Akumulasi bentuk-bentuk hubungan itu akan menyimpan nilai lain untuk daya tahan internal ekonomi suatu negara untuk tumbuh stabil dalam waktu relatif panjang. Kealpaan melihat kesolidan dan kerentanan struktur internal, dan terbawa pada harapan terbatas yang disampaikan lembaga pemberi pujian, bisa membuat kita tiba-tiba terbentur tembok yang tak terlihat sebelumnya.
Kenaikan Indonesia ke kelompok negara berpendapatan menengah atas relatif terbatas, dengan GNI per kapita sekitar 4.450 dollar AS, hanya sedikit di atas batas bawah kelompok GNI per kapita menengah 4.049-12.535 dollar AS. Apa makna posisi penghuni lantai, bukan plafon, atau garis plafon dari kelas menengah atas ini bagi kita?
Apa makna posisi penghuni lantai, bukan plafon, atau garis plafon dari kelas menengah atas ini bagi kita?
Kenaikan kelas Indonesia berdasarkan GNI jelas belum patut disambut gegap gempita. Dengan posisi yang sangat tipis di atas batas bawah, posisi itu jelas sangat rentan untuk kembali turun.
Hanya dengan lepas kontrol inflasi atau terjadinya depresiasi rupiah saja, posisi Indonesia dalam sekejap bisa kembali ke negara berpendapatan menengah atau di bawah kelas berpenghasilan menengah lebih atas. Kejadian ini biasa dialami sejumlah negara dalam suatu pergantian tahun perhitungan baru, seperti Sri Lanka dan Aljazair pada 2019.
Namun, jalan optimistis untuk tetap di posisi saat ini, bahkan perlahan semakin membaik, masih sangat terbuka. Kalaupun nanti Bank Dunia, atau lembaga lain, melakukan penyesuaian standar pendapatan untuk tiap negara, jalan optimistis itu pun tetap ada.
Alasannya sangat mudah, dengan pertumbuhan di atas rata-rata pertumbuhan dunia, Indonesia tetap berpeluang berada di kelas ini. Karena itu, isu paling menarik dan lebih relevan untuk Indonesia adalah tingkat kemajuan yang bisa dicapai dari peluang terbesar yang tersedia. Patokan paling tepat untuk melihat kemajuan itu adalah perbandingan dengan negara-negara setara di kelas yang sama, bukan pergerakan linear di perekonomian domestik semata.
Sebab, kalaupun Indonesia bertahan di kelompok negara berpendapatan menengah atas, mungkin kurang terasa maknanya karena dua hal: (1) negara-negara lain yang relatif sama karakter utama ekonominya yang masuk kian bertambah di kelompok negara berpendapatan menengah atas, (2) ada kemungkinan negara lain naik lebih cepat, yang akhirnya melangkahi Indonesia.
Pangsa PDB dan ekspor
Di dunia saat ini, China diperkirakan tetap berjaya terus merebut pangsa ekspor dunia. Satu lagi negara besar Asia yang terus bergerak memperbesar pangsa pasarnya di pasar ekspor dunia adalah India.
China jelas telah menunjukkan lompatan spektakuler 40 tahun terakhir, membuat negara itu kini bertengger di urutan kedua dunia untuk ukuran produk domestik bruto (PDB) agregat dari urutan kedelapan pada 1995. Namun, secara lompatan, India juga tak bisa dilihat sebelah mata. Negara yang sering dipersepsikan miskin ini melompat dari posisi ke-16 dunia pada 1995 ke posisi kelima saat ini (2019). Sementara Indonesia masih berada di posisi ke-15.
Kenaikan spektakuler dua raksasa Asia ini ditandai oleh kenaikan signifikan pangsa PDB dan pangsa ekspor terhadap dunia. Tahun 1995, China baru 2,4 persen PDB dunia. Namun, pada 2010 dan 2019 melonjak drastis ke 9,2 dan ke 16,2 persen. India juga bergerak perlahan, tetapi pasti dari 1,2 persen pada 1995 ke 2,5 persen tahun 2010 dan 3,3 persen pada 2019.
Kenaikan spektakuler dua raksasa Asia ini ditandai oleh kenaikan signifikan pangsa PDB dan pangsa ekspor terhadap dunia.
Lompatan juga terjadi pada ekspor. Pangsa China terhadap dunia tahun 1990 hanya 1,2 persen. Namun, pada 2010 China mengambil alih posisi Jepang sebagai penguasa kedua pangsa ekspor dunia, yakni 8,8 persen dari total ekspor dunia.
Tak sampai satu dekade, China pun mengambil alih posisi nomor satu, menggeser AS. Adapun India naik dari 0,6 persen tahun 1990 ke sekitar 2,0 persen pada 2010 dan 2,2 persen pada 2018. Tahun 1990 pangsa Indonesia sedikit lebih baik daripada India dengan angka 0,7 persen. Akan tetapi, hingga kini, Indonesia belum pernah menembus 1 persen pangsa dunia.
Dua angka indikator daya saing global itu tentulah pantulan dari struktur dan kelembagaan ekonomi domestik tiap-tiap negara. Keberhasilan China mengambil alih pasar ekspor Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan di produk-produk elektronik, alat rumah tangga, dan barang-barang industri lain tidaklah terlepas dari keberhasilan China melakukan transformasi ekonomi dari ekonomi tradisional dan ekstraktif ke ekonomi industri dan jasa industri.
Hal sama dilakukan India dengan nyata meski perlahan. Bagaimana dengan Indonesia? Harus kita akui struktur ekonomi kita masih rentan. Porsi sektor industri secara perlahan semakin menciut.
Tahun 2006, porsi manufaktur masih 27,5 persen terhadap total PDB. Namun, pada 2019, porsi itu sudah jatuh di bawah 20 persen, yakni 19,7 persen. Pada saat yang sama, ekspor kita didominasi komoditas sumber daya mentah ekstraktif dan komoditas sektor primer.
Menanti kesungguhan transformasi ekonomi
Walaupun kita sudah membenahi kelembagaan ekonomi secara drastis pascakrisis moneter, ekonomi, dan politik 1997-1998, harus kita akui, pembenahannya hanya sebatas pada penguatan kelembagaan di sektor keuangan dan perbankan.
Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga-lembaga penjaga lainnya dengan berbagai regulasi yang sangat pruden, tetapi cukup fleksibel, tidak bisa dianggap cukup untuk menjaga perekonomian Indonesia secara keseluruhan untuk terus tumbuh stabil dalam jangka panjang.
Isi elemen-elemen pujian Bank Dunia memang sesuai fakta. Namun, fakta yang diberi pujian itu hendaklah diletakkan ke dalam konteks yang lebih tepat. Misalnya, pujian terhadap pertumbuhan tahunan PDB 5,6 persen selama lebih dari 50 tahun, penurunan kemiskinan yang ekstrem, dan pertumbuhan kelas menengah yang lebih cepat dari kelas lain memang fakta.
Namun, fakta yang diberi pujian itu hendaklah diletakkan ke dalam konteks yang lebih tepat.
Akan tetapi, tiap-tiap fakta inilah yang perlu disaring, didudukkan lagi di tingkat domestik, lalu dibandingkan dengan kesolidan dan kerentanan negara-negara yang relatif setara potensi ekonominya dengan Indonesia.
Dengan sembarang injeksi pun, jika tak diganggu guncangan politik berulang-ulang, sebuah negara dengan jumlah penduduk besar yang berada di posisi PDB papan bawah akan mudah meraih angka pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tinggi untuk jangka panjang dibandingkan dengan negara yang sudah memasuki posisi mature dan penduduk relatif sedikit.
Pertumbuhan pesat PDB China dan India yang spektakuler 40 tahun terakhir tak terlepas dari faktor demografis itu, yang kemudian didiferensiasi oleh faktor khas masing-masing. Demikian halnya Indonesia dan Brasil yang secara agregat PDB-nya terlihat tumbuh cukup signifikan di atas negara-negara di dunia 40 tahun terakhir.
Kita harus waspada dengan pertumbuhan PDB yang basis kelas sosialnya terlalu mengandalkan kelas menengah, apalagi beririsan dengan basis kualitas rendah lainnya, seperti sektor ekstraktif dan sektor properti. Pada kelas menengah melekat gaya hidup tertentu yang belum tentu fit dengan kestabilan makroekonomi.
Sementara apabila pertumbuhan PDB kita dibantu oleh sektor ekstraktif atau penjualan sumber daya alam (SDA), secara substansi sumbangannya terhadap pertumbuhan riil adalah rendah karena sebetulnya negara mendapatkan imbalan langsung atau tak langsung dari kegiatan produksi ekstraktif itu adalah dengan ”menjual harta”, bukan menciptakan nilai tambah.
Demikian juga sektor properti, meski tumbuh pesat menggelembung, produknya tidak bisa diekspor (nontradeable) dan nilainya rentan jatuh ambruk seperti yang kita alami pada 1997 dan yang dialami AS tahun 2008. Inilah yang lebih penting menjadi isu utama pembangunan ekonomi Indonesia ke depan.
(Andrinof A Chaniago, Dosen Ekonomi-Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI; Penulis Buku Gagalnya Pembangunan (LP3ES, 2001, terbit ulang 2012)