Tidak Bertahan Lama, Antibodi Sulitkan Pengembangan Vaksin
›
Tidak Bertahan Lama, Antibodi ...
Iklan
Tidak Bertahan Lama, Antibodi Sulitkan Pengembangan Vaksin
Di saat dunia berharap adanya vaksin Covid-19, pengembang vaksin dihadapkan pada fakta bahwa antibodi yang terbentuk dari infeksi alami virus korona tidak bertahan lama di dalam tubuh.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
LONDON, RABU — Bukti ilmiah terbaru menunjukkan, kekebalan tubuh manusia untuk melawan virus korona jenis baru tidak bertahan lama. Hal ini tentu saja akan menyulitkan penelitian dan pengembangan calon vaksin yang diharapkan melindungi penduduk dari Covid-19 dalam jangka panjang.
Studi awal di China, Jerman, Inggris, dan negara lain menemukan, tubuh pasien yang terinfeksi virus korona jenis baru saat ini membangun antibodi untuk melawan virus sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh mereka. Namun, antibodi ini hanya bertahan maksimal tiga bulan dalam tubuh.
”Mayoritas orang membangun antibodi, tetapi sering kali antibodi ini berkurang dengan cepat, menyisakan sedikit saja pertahanan tubuh,” kata Daniel Altmann, guru besar imunologi di Imperial College London, Inggris, Selasa (14/7/2020).
Padahal, antibodi terhadap virus korona lain, termasuk penyebab SARS dan MERS, diperkirakan bertahan hingga setahun. Antibodi terhadap virus korona jenis baru ini diharapkan juga bisa bertahan dalam waktu yang sama. Fakta itu memunculkan masalah besar bagi pengembang calon vaksin Covid-19.
”Hal ini berarti, terlalu bergantung pada vaksin (untuk mengendalikan pandemi) tidaklah bijak,” kata Stephen Griffin, associate professor kedokteran pada Universitas Leeds, Inggris.
Agar benar-benar efektif, menurut Griffin, vaksin Covid-19 yang dikembangkan harus bisa menghasilkan perlindungan yang kuat dan tahan lama, atau jika tidak, perlu diberikan secara teratur. Ia menambahkan, ”Hal itu tidak sepele.”
Saat ini terdapat lebih dari 100 tim peneliti dan perusahaan di dunia yang mengembangkan calon vaksin Covid-19. Dari jumlah itu, setidaknya 17 tim sudah memasuki tahap uji klinis.
Uji klinis
Uji praklinis calon vaksin Covid-19 dari AstraZeneca, yakni AZD1222, pada hewan uji memperlihatkan bahwa pemberian dua dosis vaksin memberikan respons antibodi yang lebih baik daripada satu dosis. Namun, hasil uji klinis pada manusia sejauh ini belum ada yang menunjukkan bahwa respons antibodi yang terbangun bakal dapat bertahan lama dan lebih kuat.
Jeffrey Arnold, profesor mikrobiologi di Universitas Oxford, Inggris, mengatakan, kurangnya data soal respons antibodi semata disebabkan oleh kurangnya waktu. Arnold adalah mantan pakar di Sanofi Pasteur, salah satu dari lima perusahaan farmasi utama dunia.
Pengembangan dan uji klinis calon vaksin Covid-19 yang supercepat saat ini telah berlangsung selama enam bulan. Untuk menghasilkan vaksin yang memberikan perlindungan baik, waktu ini masih terbilang sebentar.
Arnold juga menambahkan bahwa berkurangnya antibodi yang terbentuk akibat infeksi alami virus korona tidak selalu berlaku pada antibodi yang terbentuk karena vaksin. ”Jika bisa, kami ingin memperbaiki kondisi alamiah ini,” katanya melalui telepon.
Arnold menambahkan, ”Melalui vaksin, tentu kita tidak menginfeksi tubuh langsung dengan virus, tetapi kita memasukkan permukaan protein dengan vektor yang berbeda atau yang dibuat di laboratorium, lalu disuntikkan di lengan. Jadi, tujuan utamanya adalah menghasilkan antibodi yang lebih kuat dan lama daripada antibodi akibat infeksi alamiah.”
Sementara itu, Griffin mengemukakan, satu pendekatan yang bisa dilakukan pemerintah jika satu dosis vaksin tidak cukup kuat adalah memberikan suntikan penguat (booster) bagi jutaan orang secara teratur atau bahkan mengombinasikan dua atau lebih vaksin untuk mendapatkan perlindungan terbaik bagi umat manusia. Namun, hal itu menjadi tantangan besar tersendiri.
”Memberi satu dosis vaksin bagi seluruh dunia itu satu hal,” ujarnya. ”Namun, memberikan dua atau lebih dosis vaksin itu masalah lain,” kata Griffin lagi. (REUTERS)