Pasar Batik Lasem Beralih ke Daring
Pengusaha kain batik di Lasem, Jawa Tengah, berinovasi saat pandemi Covid-19. Mereka menawarkan produknya melalui media sosial dan toko daring.
Selama ini, kain batik dijual di pasar tradisional atau sentra-sentra kerajinan tangan. Begitu Covid-19 mewabah di Indonesia, penjualan kain batik di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, merosot drastis. Pengusaha kain batik kemudian berinovasi memasarkan produk mereka secara daring, seperti melalui media sosial dan situs di internet.
Pada Jumat (10/6/2020), Rudi Siswanto (38), juragan batik dari Rumah Batik Kidang Mas, sibuk mengotak-atik telepon genggam. Sejak pagi hingga siang hari ia merekam proses produksi dan pelipatan kain di rumahnya. Kemudian, ia berusaha mengedit video menggunakan ponsel.
Pengusaha batik dengan merek dagang Kidang Mas ini juga memikirkan narasi yang nantinya akan dipakai untuk mendampingi video. Begitu video dan teks sudah selesai, Rudi mem-posting konten digital itu melalui Instagram @kidangmas_batiklasem dan @kendorokendiri. Melalui konten digital, pengusaha ini memperkenalkan, memasarkan, dan menjual kain batik. Upaya ini dilakukan agar kain batik bisa dibeli masyarakat sehingga produksi tetap berjalan.
Rudi menuturkan, sebelum Covid-19 ia gagap teknologi. ”Sudah lama sekali saya tidak membuka Instagram atau Facebook. Kalau membuka media sosial, palingan hanya saya pakai untuk melihat-lihat foto milik kawan saya. Enggak pernah menjual batik melalui digital. Sejak ada pandemi, saya mulai lagi mempelajari media sosial,” ujarnya.
Ia menjelaskan, begitu Covid-19 mewabah di Indonesia, Rudi merasakan kunjungan wisatawan ke daerah yang dijuluki ”Tiongkok Kecil” itu berkurang drastis. Padahal, para pelancong ini merupakan pasar terbesar batik tulis Lasem. Begitu kunjungan wisatawan menurun, jumlah penjualan kain batik juga ikut berkurang. Dalam kondisi normal, ia bisa menjual sekitar 250 kain batik per bulan. Begitu ada Covid-19, penjualan merosot hingga tinggal 30 persen saja.
Dampaknya, Rudi terpaksa merumahkan puluhan pembatik untuk memangkas biaya produksi. Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat para perajin mengandalkan pemasukan harian dari pekerjaan di rumah batik untuk bertahan hidup. ”Saya merasakan produksi kain batik sedang full speed. Begitu ada virus korona, terpaksa kami rem mendadak. Kami harus memangkas tenaga kerja karena tidak ada pemasukan. Masalahnya, hampir semua rumah batik memangkas pekerja sehingga pekerja ini tidak punya pemasukan,” ujarnya.
Kondisi paling parah terjadi pada Maret karena kunjungan wisata terhenti sama sekali. Pada 22 April 2020, Ketua Kluster Batik Lasem Santoso Hartono melaporkan tidak ada penjualan yang signifikan di showroom Dekranasda Kabupaten Rembang. Sebagian besar pengusaha batik tidak memiliki transaksi pembelian dalam dua minggu terakhir. Pengusaha kesulitan modal dan para pembatik pun 60 persen telah dirumahkan tanpa bayaran.
Begitu ada virus korona, terpaksa kami rem mendadak. Kami harus memangkas tenaga kerja karena tidak ada pemasukan. Masalahnya, hampir semua rumah batik memangkas pekerja sehingga pekerja ini tidak punya pemasukan. (Rudi Siswanto)
Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Komunitas Kesengsem Lasem mengajak Rudi bersama puluhan pengusaha UMKM lainnya untuk berkolaborasi memasarkan produk secara daring. Kegiatan yang dinamakan Pasar Rakyat Lasem (PRL) ini dilakukan untuk membantu pengusaha lokal menghadapi krisis pandemi. Selain batik, pasar daring ini juga menjual produk-produk kriya, seperti teko dan gelas tembaga, dan makanan ringan khas Lasem. Produk-produk itu ditawarkan melalui situs kesengsemlasem.com.
Kegiatan yang diinisiasi komunitas Kesengsem Lasem rupanya telah memberikan inspirasi kepada para pengusaha UMKM bahwa produk yang mereka hasilkan dapat dipasarkan secara digital, seperti melalui situs di internet dan sosial media. ”PRL membangun motivasi kami untuk berkembang. Saya jadi sadar bahwa jangkauan internet lebih luas. Melalui pasar rakyat ini, masyarakat di luar mengenal Lasem. Akhirnya, secara fisik penjualan kami juga terbantu,” katanya.
Kini, selain memasarkan produk melalui PRL, para pengusaha batik mulai memasarkan produk mereka melalui akun Instagram dan Facebook masing-masing. Pemasaran melalui media sosial dan situs di internet, menurut Rudi, cukup efektif memperbaiki penjualan kain batik yang sempat anjlok.
Keberadaan Pasar Rakyat Lasem telah membantu rumah batik bertahan. Ekawatiningsih dari Rumah Batik Lumintu merasakan manfaat dari penjualan produk kerajinan tangan secara digital. ”Begitu ada Covid-19, para pembatik sudah hampir saya liburkan karena tidak ada pemasukan sama sekali. Tetapi, begitu ada pesanan dari PRL, akhirnya pekerja tidak jadi saya liburkan. Mereka kembali berproduksi. Meski jumlah produksi tidak terlalu besar, setidaknya ada pemasukan sehari-hari,” ujar Eka.
Di Rumah Batik Lumintu ada delapan pekerja yang sebagian besar sudah berusia lanjut atau di atas usia 50 tahun. Para pekerja ini setiap hari memproduksi kain batik tulis seperti Batik Tiga Negeri Lasem yang sudah melegenda. Berkat penjualan batik yang dilakukan secara digital, mereka bisa mendapat pemasukan harian. ”Simbah-simbah ini berterima kasih sekali karena mereka masih bisa bekerja. Terutama ketika bulan puasa dan Lebaran, mereka sangat terbantu karena tetap punya uang untuk berkumpul dengan keluarga,” ujar Ekawatiningsih.
Eka menjelaskan, selama ini ia hanya menjual kain batik di rumahnya. Untuk PRL, kain batik dijahit sehingga bertambah nilai guna, seperti untuk sajadah, masker, dan tote-bag. Ia menjual sajadah blue series dan red series yang terdiri dari enam varian motif, yaitu lunglungan besar, lunglungan kecil, cabe-cabean, dan motif kotak. Selembar sajadah dijual Rp 659.000. ”Hasilnya lumayan. Ketika pertama diluncurkan, sekitar 50 lembar sajadah terjual,” katanya.
Pemasaran digital
Selanjutnya, para pengusaha ini bertekad akan tetap berinovasi dalam memasarkan produk mereka. Pandemi Covid-19 yang kini sudah masuk ke daerah Rembang tidak menyurutkan tekad mereka untuk bertahan. Pemasaran secara virtual merupakan langkah yang diyakini efektif untuk mempertahankan penjualan. Pemasaran secara virtual ini, menurut Rudi, juga bisa dipakai untuk mengedukasi masyarakat mengenai sejarah dan motif kain batik. Dalam salah satu foto yang di-posting di Instagram, Rudi menjelaskan, motif naga pada kain batik tulis Lasem merupakan simbol wibawa. Kalau dulu orang hanya membeli kain batik karena suka warna atau motifnya, kini mereka tahu makna di balik motif kain itu.
Seperti pisau bermata dua, pemasaran secara digital memberikan keuntungan dan tantangan sekaligus. Keuntungannya adalah pemasaran dapat menjangkau masyarakat dari banyak daerah di Indonesia. Tetapi, motif atau produk-produk yang dipasarkan secara terbuka di media sosial ini bisa dengan mudah ditiru oleh produsen lain. ”Ini mengingatkan kami untuk terus berinovasi karena kalau hanya menjadi pengikut saja itu memang mudah,” katanya.
Yullia Ayu dari Kesengsem Lasem mengatakan, semula komunitasnya dibuat hanya untuk membagikan wawasan mengenai pusaka dan warisan sejarah Lasem. Begitu ada pandemi, anggota komunitas melihat banyak pengusaha UMKM yang terdampak Covid-19.
Akhirnya, komunitas ini bekerja sama dengan pengusaha batik dan produk-produk kerajinan tangan lainnya untuk memasarkan produk secara daring. ”Kami menjemput bola, mendatangi pengusaha satu per satu, membeli produk mereka, kemudian membantu memasarkan produk secara digital. Kami memilih produsen-produsen kerajinan tangan yang punya kualitas bagus, tetapi selama ini belum pernah memasarkan produk secara digital,” katanya.
Ketika mulai memasarkan produk melalui daring, Yullia dan kawan-kawan menghadapi tantangan untuk meyakinkan pengusaha bahwa produknya bisa dijual di internet. ”Ketika kami bilang Pasar Rakyat Lasem, banyak produsen kerajinan yang bertanya, ’pasarnya di mana?’. Saat kami jelaskan bahwa pasarnya ada di akun digital, mereka bertanya lagi ’daring itu apa? Online itu apa? Launching digital itu apa?’. Belum semua masyarakat memahami,” kata Yullia.
Setelah dijelaskan, pengusaha antusias untuk bergabung. Agar pemasaran semakin luas, komunitas ini juga mengajak perancang busana Didiet Maulana berkolaborasi. Didiet bertugas memilih produk dan mempromosikannya melalui media sosial.
Dari pemasaran digital ini, produk-produk kerajinan tangan Lasem bisa dijangkau oleh pembeli yang berasal dari banyak daerah di Indonesia. Dari situlah, roda perekonomian masyarakat Lasem kembali bergerak dan produksi batik pelan-pelan kembali berjalan lagi.
Keuntungan tipis yang didapat dari penjualan makanan dan produk kerajinan tangan digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan pelestarian pusaka dan budaya Lasem melalui komunitas Kesengsem Lasem dan Yayasan Lasem Heritage. Beberapa kegiatan itu seperti tanggap darurat Covid-19 dan melanjutkan kegiatan yang telah berjalan selama tiga tahun terakhir, yaitu #klinikbelajar, #kelaspelestarian, #sosialisasicagarbudaya.