Racun Tikus
Racun tikusnya masih ada tiga bungkus di kamar. Tinggal tiga karena yang satu sudah kupakai.
Sudahlah, tidak perlu kita ikut dia. Di sini sajalah. Aku sangat paham apa yang kamu pikirkan. Dulu pun aku sempat berpikir begitu. Sampai berminggu-minggu aku susah tidur, kepalaku serasa mau meledak. Bolak-balik aku pikirkan lagi. Ini itu ini itu. Kalau begini apa jadinya, kalau begitu bagaimana nantinya. Banyak hal yang aku coba pikirkan, aku pertimbangkan, aku resapi sampai semua ujungnya jadi menakutkan buatku.
Dan mungkin kamu tidak tahu, waktu itu aku sudah sempat ingin mati saja. Aku sudah begitu putus asa. Aku membeli racun tikus empat biji dari warung Pakdhe Bas dan sudah aku siapkan segelas besar hampir penuh es teh manis kesukaanku. Di benakku sudah terbayang aku sedang menikmati seteguk kenikmatan es teh sebagai perjamuan terakhirku. Aku sudah memakai kaos dan celana panjang yang kita beli sama-sama waktu lebaran tahun kemarin. Pintu kamar aku kunci, es teh sudah kuseruput hingga tersisa sepertiga gelas lebih sedikit. Lalu aku putar musik yang sering kamu bilang kampungan itu untuk mengiringi detik-detik regangnya nyawaku. Hanya tinggal sejengkal saja jari jemariku dari bungkusan racun tikus yang sudah aku robek kecil bungkusnya.
Tapi aku tidak bisa berhenti membayangkan kamu. Jantungku berdegup kencang, sangat kencang. Jemari tangan kananku pelan-pelan memunguti racun tikus lalu meletakkannya di telapak tangan kiriku. Cuma sekedipan mata saja jarakku dari maut. Tapi tiba-tiba aku menjadi tidak siap. Aku seperti kehilangan nyali, kedua tanganku kaku tidak bisa bergerak. Napasku tersengal-sengal. Aku hanya bisa menangis, sambil diiringi musik koplo yang entah mengapa sepertinya sangat kamu benci itu. Aku tidak bercanda, itu betul-betul terjadi.
Racun tikusnya masih ada tiga bungkus di kamar. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa cari sendiri di mejaku, di laci sebelah kiri, di dalam bungkusan kresek warna hitam abu-abu belang-belang. Tinggal tiga karena yang satu sudah aku pakai.
Dari dulu aku berdoa semoga dia cepat mati. Mungkin sama dengan doamu. Terserah dengan cara seperti apa nanti matinya, tapi kalau aku boleh minta, berikanlah dia kematian yang pelan-pelan, jangan cepat-cepat. Sesayat demi sesayat, supaya dia bisa merasakan pedih perihnya kecewa dan derita yang aku dan kamu rasakan. Mungkin kalau doamu tidak akan sesadis doaku. Kamu itu terlalu lembut, terlalu pengasih. Kamu terlalu baik. Itulah yang membuat aku sangat kesal, kenapa ada orang yang seperti dia. Yang tidak mampu melihat kebaikan hatimu, yang hanya melihat seisi dunia dari sudut pandangnya saja yang teramat sempit dan gelap itu. Sehingga semuanya tampak begitu hitam dan kotor di hadapannya. Kalau semua yang kamu lakukan, yang menurutku sudah baik dan sudah benar saja dianggap salah oleh dia, apalagi cara dia memandangku, pastilah semua yang aku katakan dan semua yang aku lakukan dianggap hina dan layak dicaci maki. Keterlaluan!
Kalau dia membenciku aku terima. Aku juga membencinya, sedari dulu. Kamu mungkin masih ingat kejadian dulu waktu kita masih kecil, pagi sebelum aku minggat dari rumah waktu itu. Kalau saja Ibu tidak menangis-nangis memohon supaya aku dan dia berhenti berkelahi, pertarungan itu pasti berakhir seru. Aku yakin pasti menang dari dia. Aku yakin bisa membuatnya babak belur. Aku sudah berhasil meninju pipi kirinya dan menghajar mulutnya yang seperti comberan itu. Aku cuma kena sedikit cakaran di lenganku. Aku ingat betul, Ibu sampai menangis-nangis dan berteriak-teriak kencang sekali sampai Om Yoto tetangga kita datang dan langsung memisahkan perkelahian. Aku sadar badanku memang lebih kerempeng, tapi kalau sudah urusan harga diri, sampai mati pun aku siap melayani. Ah, kalau diingat-ingat lagi kejadian itu, hanya membuat aku jadi mual. Siangnya aku pergi dari rumah. Aku pergi ke rumah Marmoyo.
Nampaknya ibunya Marmoyo memberitahu Ibu kalau aku tidur di rumahnya. Yang jelas keesokannya, pagi-pagi sekali Ibu sudah datang menjemputku. Hanya Ibu sendirian, mungkin kamu masih tidur sehingga tidak diajak.
Entahlah kalau kamu. Kalau aku, selalu menaruh harapan suatu saat dia akan berubah. Setidaknya, kalaulah dia tidak berhenti membenciku, setidaknya ia tidak lagi menjadi beban buat Ibu. Aku selalu merasa bahwa meskipun dia lebih tua dari kita, aku lebih dewasa dibanding dia. Dia tidak pernah berpikir panjang.
Semua dilakukan hanya demi kesenangannya semata, tidak peduli banyak orang di sekitarnya yang menderita karena ulahnya. Bahkan terhadap kamu, dia seperti tidak punya hati. Aku sangat kesal waktu dia mencuri uangmu yang kamu simpan di bawah tumpukan seragam pramuka. Kamu begitu panik waktu itu. Hanya bisa kebingungan mencari uangmu yang hilang. Bertanya ke aku, ke dia, ke Ibu di mana uang yang selalu kamu simpan di lemari itu. Tidak ada yang tahu. Semua ikut mencari, dan dia juga pura-pura ikut mencari. Aku tahu uangmu cukup banyak waktu itu, dari hadiah yang kamu dapatkan saat menang lomba matematika se-Kabupaten.
Semua dilakukan hanya demi kesenangannya semata, tidak peduli banyak orang di sekitarnya yang menderita karena ulahnya. Bahkan terhadap kamu, dia seperti tidak punya hati.
Dia itu memang laknat, beberapa hari kemudian aku melihatnya memakai topi baru yang aku tahu harganya mahal, mana mungkin dia sanggup untuk membelinya. Ketika aku pertama melihat dia memakai topi itu, dan belum sempat aku bertanya, dia langsung bilang bahwa topi itu dia temukan di pinggir jalan. Katanya milik orang yang mungkin jatuh. Waktu aku ceritakan kepadamu tentang topi itu, kamu dengan polosnya percaya begitu saja cerita itu. Kamu memang terlalu polos, sampai sekarang pun kamu masih polos. Itulah kenapa aku sangat yakin kalau sekarang kamu ikut dengan dia, entah bagaimana nantinya nasibmu di sana.
Yang jelas, rumah ini adalah satu-satunya peninggalan Ibu yang masih tersisa. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menjualnya. Mau tinggal di mana kita nanti? Omong kosong dengan cerita dia yang katanya punya rumah dan usaha di ibu kota. Kalau memang dia punya usaha, sampai sekarang aku belum pernah melihat wujudnya, paling tidak foto-fotonya. Usaha seperti apa, di mana, tidak pernah kita tahu. Apalagi hasilnya, mana pernah dia mengirimi Ibu atau aku uang. Yang ada cuma minta sangu ke Ibu tiap kali dia mau balik ke ibu kota. Makanya sejak dia memutuskan untuk pergi mencari pekerjaan di ibu kota, aku senang setengah mati waktu itu. Rasa-rasanya do’aku terkabul, seperti terbebas dari musibah besar. Meskipun aku juga menjadi sedih tiap kali melihat Ibu menangis. Sering dari luar kamar aku mendengar Ibu menangis. Pernah juga aku melihat Ibu menangis malam-malam di teras rumah. Kamu waktu itu sibuk kerja jadinya jarang di rumah, jadi mungkin kamu tidak terlalu memperhatikan kondisi Ibu yang betul-betul merasa kehilangan.
Baca juga: Perempuan Pemanggul Kenangan
Beberapa hari sebelum meninggal, Ibu sempat bilang kalau rumah ini jangan dijual. Aku dan kamu bisa tetap tinggal di rumah ini. Toh bengkelmu sekarang tidak begitu jauh dari sini. Kalaupun tidak bisa pulang setiap hari, paling tidak dua atau tiga hari sekali kamu bisa pulang, daripada kamu tidur tiap malam di bengkel. Aku sendiri tidak ada pilihan lain selain tetap di sini. Kakiku tinggal satu, mau kerja di mana lagi? Kalau soal makanku dan biaya listrik rumah, kamu tidak perlu khawatir. Si Pardi masih berbaik hati memberi aku pekerjaan walau cuma bantu nyablon. Kamu simpan saja uangmu buat dirimu sendiri, kumpulkan, jangan beli barang-barang yang tidak perlu. Nanti duitmu kalau sudah banyak bisa untuk modal menikah. Sampai kapan pun aku tidak akan setuju kalau rumah ini mau dijual. Terserah dia mau mengancamku seperti apa.
Aku sudah kebal, aku tidak peduli lagi. Kalau dia memang mau potong kakiku yang sebelah lagi seperti ancamannya selama ini ya biar lakukan saja kalau memang dia berani. Mungkin dia mau sekalian menggorok leherku.
Tadi sore dia datang lagi. Dia mencaci maki aku. Dia mengungkit-ungkit kecerobohanku waktu aku sampai kehilangan sebelah kakiku. Dia meneriakiku orang yang tidak berguna karena hanya tinggal punya satu kaki. Padahal hilangnya sebelah kakiku tidak ada urusannya dengan dia. Waktu masih normal aku tidak pernah meminta bantuanya, setelah jadi cacat pun aku tidak akan pernah sudi memohon bantuannya. Dia bebas memakiku karena sekarang aku tidak bisa melawan. Untunglah kamu belum sampai rumah. Setidaknya kamu tidak perlu mendengar umpatan seisi kebun binatang yang keluar dari mulutnya.
Aku heran kamu masih saja percaya padanya. Coba kamu bayangkan, belum tentu dia punya rumah dan punya usaha betulan seperti yang selama ini dia bangga-banggakan. Kalau alasannya mau menjual rumah ini untuk modal mengembangkan usahanya, aku tidak percaya. Sama sekali aku tidak percaya. Apalagi waktu dia bilang mau membawa kita tinggal bersamanya. Mau jadi apa kita di sana? Tadi setelah puas memaki-maki aku, dia mengambil sertipikat rumah ini di lemari coklat. Katanya mau dijual, sudah ada kawannya yang mau beli. Aku biarkan saja, tidak ada yang bisa aku lakukan. Walaupun dia sudah mengambil sertipikat rumah ini, dia tetap tidak bisa menjualnya. Dia tetap butuh tanda tangan kita. Paling-paling yang bisa dia lakukan sekarang adalah menggadaikan rumah ini. Kita berdo’a saja dia belum melakukannya.
Sekarang kamu istirahatlah, wajahmu terlihat letih sekali. Mandilah sana, setelah itu makan. Aku sudah masak nasi dan beli telur asin tadi. Kalau mau sayur, aku ada lodeh sisa tadi pagi. Setelah itu kita ngobrol-ngobrol lagi di depan. Kita tunggu kabar baik, mudah-mudahan saja rencanaku berhasil. Tadi setelah mencaci maki aku, dia pergi berak di kamar mandi. Awalnya aku mengira dia mau kencing, tetapi karena lama, aku yakin kalau dia sedang berak. Waktu dia datang aku melihat dia membawa minuman kopi botolan yang ia taruh di atas meja depan. Mumpung dia lagi berak, aku langsung mengambil racun tikus di kamar dan menggerusnya sebentar biar jadi lembut. Aku lihat lagi dia masih belum selesai beraknya. Jadi aku campurkan racun tikus ke dalam botol minumannya. Aku kocok-kocok sebentar. Setelah selesai berak dia langsung pergi. Aku lihat botolnya sudah tidak ada di meja. Mudah-mudahan dia meminumnya sampai habis.
****
Imam Harjono, tinggal di Tangerang Selatan, bekerja sebagai aparatur sipil negara pada Kementerian Keuangan, penikmat dan pencinta sastra tulisan karya anak bangsa.