Wartawan ”Kemarin Sore” di Tengah Deraan Krisis Ekonomi
Tanda-tanda ekonomi mulai krisis terlihat. Harga-harga naik dan nilai rupiah terus melemah. Sebanyak 16 bank ditutup. Meski demikian, saya yang masih wartawan ”kemarin sore” ini tetap tak paham dengan masalah besarnya.
Situasi politik tahun 1996 sudah mulai memanas. Setahun berikutnya kian panas. Ekonomi yang semula baik-baik saja mulai memunculkan masalah. Semuanya kemudian berujung pada reformasi tahun 1998.
Bekerja di sebuah media tak lantas begitu saja membantu memahami berbagai kejadian itu. Apalagi bagi kami yang berada di daerah. Pada masa itu, sebagian besar isu tersebut lebih bisa dipahami oleh mereka yang berada di Ibu Kota.
Belum ada internet seperti sekarang yang bisa membantu kami di daerah untuk mengintip berbagai isu Tanah Air ataupun global. Namun, kadang ketidaktahuan itu malah membawa berkah. Setidaknya menjadi tenang dan tidak panik.
Ekonomi yang semula baik-baik saja mulai memunculkan masalah. Semuanya kemudian berujung pada reformasi tahun 1998.
Saya mengawali tugas di Kompas sebagai calon koresponden alias cakor pada 1997. Saat itu, jenjang wartawan Kompas dimulai dari cakor, lalu koresponden lepas, koresponden tetap, baru wartawan tetap. Sekarang, jenjang diawali dari wartawan mula yang diawali dengan masa magang satu tahun. Setelah itu, berlanjut ke wartawan muda, madya, utama, dan seterusnya.
Daerah penempatan pertama saya di Biro Jawa Barat dengan cakupan wilayah liputan Bandung dan sekitarnya. Namun, kadang-kadang saya juga harus ke luar kota, seperti Sukabumi, Cirebon, dan Tasikmalaya.
Saya menjalani tugas sebagai cakor dengan semangat tinggi karena saat itu kami masih digaji berdasarkan jumlah berita. Mau dapat penghasilan banyak, ya setoran berita harus banyak.
Setiap minggu kami akan dikirimi wesel atau kabar pengiriman uang dari sekretaris Desk Nusantara, Mbak Tuti, yang mengabarkan jumlah berita dan uang yang kami terima.
Kalau rajin, kami bisa menerima total hingga Rp 1,2 juta dalam sebulan, jumlah yang bahkan lebih tinggi dari gaji wartawan yang direkrut di Jakarta. Namun, kalau pas lagi ada masalah, misalnya sakit, kami bisa hanya menerima Rp 400.000 sebulan. Celaka!
Pada masa awal bertugas, saya mendengar terjadi sejumlah peristiwa politik, seperti kasus 27 Juli 1996 di Kantor Pusat PDI-P, kasus dukun santet, pemilihan Ketua PBNU yang tidak direstui penguasa, kerusuhan di sejumlah tempat, dan lainnya. Berbagai kejadian politik itu masih ditambah peristiwa ekonomi dan kekeringan yang berkepanjangan.
Baca juga: Sensasi Naik V-22 Osprey, Pesawat yang Lepas Landas dan Mendarat seperti Helikopter
Isu politik dan kekeringan berkepanjangan masih bisa saya pahami, tetapi isu ekonomi makro hanya sedikit saja yang saya mengerti, seperti nilai rupiah yang turun terhadap dollar AS, kondisi perbankan yang runyam, paket-paket ekonomi, dan lain-lain. Padahal, berita itu muncul setiap hari di koran dan media lain.
Isu yang lebih saya pahami adalah soal harga-harga yang naik karena mungkin bersentuhan langsung dengan keseharian. Di luar soal itu, saya santai-santai saja. Saya menikmati keseharian liputan pagi sampai sore, malam hari pergi ke kafe, dan tentu melirik gadis-gadis Bandung. Siapa tahu bisa jadi pacar....
Sembilan bulan di Bandung, saya kemudian dipindah ke Karawang, di pantai utara Jawa Barat. Kenikmatan liputan di Bandung pun harus segera saya tinggalkan.
Timbul rasa khawatir saya bakal sendirian di kota yang saya bayangkan kecil dan sepi itu. Bahkan, saya sempat terpikir untuk keluar dari Kompas karena merasa akan sulit berkembang di Karawang.
Namun, semua itu ternyata tidak terjadi. Memang ada rasa ragu saat mulai melangkahkan kaki ke Karawang, tetapi hanya berlangsung satu minggu. Setelah itu, saya mulai menikmati keseharian di Karawang yang ternyata unik dan menarik.
Pantai utara memberi pengalaman beragam, mulai dari alam sampai kehidupan masyarakatnya yang terbuka. Kehidupan malamnya juga menarik.
Baca juga: Masuk ”Zona Rawan” untuk Melihat Bekas Tambang
Akhir tahun 1997, semakin sering terdengar isu-isu politik dan ekonomi Tanah Air. Tanda-tanda ekonomi memburuk mulai tampak. Harga-harga naik dan nilai rupiah terus melemah. Sebanyak 16 bank ditutup.
Meski demikian, saya yang masih wartawan ”kemarin sore” ini tetap tak paham dengan masalah besarnya. Saya tetap santai dan menikmati liputan harian. Pelosok Karawang saya jelajahi pagi, siang, hingga malam karena kota ini semakin berdenyut justru pada malam hari. Tak heran apabila ada istilah goyang Karawang. Karawang bergoyang pada malam hari!
Meski ada tanda-tanda ekonomi memburuk, beberapa bulan sebelum krisis benar-benar terjadi, kantor malah sempat mengumumkan akan mengangkat wartawan baru yang berkinerja baik setelah masa percobaan setahun. Mereka akan dites ulang. Apabila layak, akan lanjut; bila tidak, akan diminta mengundurkan diri.
Perubahan ini sangat drastis karena biasanya masa percobaan bervariasi dari empat sampai tujuh tahun, tergantung dari prestasi si wartawan. Intinya, kantor berniat baik membereskan status karyawan agar tidak terkatung-katung lama.
Di mata saya, ini menandakan kantor masih punya banyak uang untuk menggaji tetap wartawannya. Ternyata, semua berubah cepat ketika memasuki tahun 1998.
Baca juga: Skenario Terburuk Saat Liputan Presiden
Ekonomi makin memburuk. Harga-harga kebutuhan melambung. Kemarau panjang melanda, panen padi jauh dari harapan. Pabrik-pabrik di Karawang juga mulai bermasalah. Beberapa bahkan mengurangi jumlah karyawan. Sejumlah kawasan industri tidak melanjutkan proyeknya.
Suasana saat itu cukup menguras emosi. Hari ini masih bersenda gurau dengan tetangga atau teman yang bekerja di pabrik. Esok harinya ganti bersedih karena teman itu harus pulang kampung karena kena PHK. Karawang yang pagi hari ramai dengan bus-bus buruh dengan cepat mulai sepi. PHK terjadi di mana-mana. Buruh-buruh memilih pulang kampung.
Tak beda dengan perusahaan lain, Kompas pun mulai membuat sejumlah perubahan dan pengetatan. Saat asyik liputan di Karawang, kami para calon koresponden dipanggil ke Kantor Biro Jawa Barat di Bandung sekitar awal Februari 1998.
Pada masa itu Karawang-Bandung terasa jauh. Perjalanan terasa lama karena belum ada jalan tol. Apalagi angkutan juga tidak semudah sekarang. Belum ada angkutan pada malam hari.
Baca juga: Sepotong Cerita dari Desa
Ada bus Bekasi-Bandung yang lewat Karawang, tetapi hanya pada sore hari. Saya naik bus ini untuk pergi ke Bandung. Kami bertemu dengan pimpinan dalam sebuah rapat sore.
Saat itu, St Sularto mewakili pimpinan dari Jakarta mengumumkan sejumlah perubahan, termasuk pengetatan biaya dan penghapusan atau penundaan sejumlah fasilitas.
Semua itu sebenarnya tidak memengaruhi kami yang masih berstatus calon koresponden atau sekarang wartawan mula. Satu hal yang berpengaruh terhadap kami adalah masa percobaan yang sempat diumumkan hanya akan setahun, kemudian dibatalkan. Sejak saat itu status kami adalah koresponden lepas sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Sedih? Tidak juga. Mungkin karena kami berada di daerah sehingga tidak terlalu pusing dengan kondisi saat itu. Meski harga melonjak, gaji masih bisa menutup berbagai keperluan. Harga-harga di daerah masih terjangkau.
Setelah rapat itu, saya melanjutkan pekerjaan seperti biasa meski tulisan jadi jarang terbit karena sebagian besar yang muncul soal krisis politik dan ekonomi.
Situasi kemudian makin memburuk. Para pemasang iklan mulai membatalkan order karena mereka ikut terdampak. Sebelumnya, saya mendengar untuk beriklan di Kompas harus mengantre lama. Antrean itu hilang karena banyak yang membatalkan order ruang iklan.
Baca juga: Mati Lampu Bersama Ahmad Tohari
Di sejumlah tempat mulai marak terjadi unjuk rasa. Saya hanya bisa termangu membaca berita-berita itu karena tak ada unjuk rasa di Karawang. Sebenarnya pernah sekali, tetapi skalanya terlalu kecil sehingga hanya inisial saya saja yang termuat.
Pergolakan politik di Jakarta makin panas, tetapi di Karawang seperti tak terjadi sesuatu. Paling banter ada yang ikut-ikutan membantu mahasiswa mengirimkan makanan.
Secara sembunyi-sembunyi, saya pernah ikut rombongan ibu-ibu yang memberi bantuan kepada mahasiswa yang berada di gedung MPR/DPR. Sekadar ingin tahu apa yang terjadi di Ibu Kota. Setelah itu, saya pulang kembali ke Karawang.
Perubahan drastis kembali terjadi di Kompas. Jumlah halaman koran yang semula beberapa puluh halaman sempat merosot hanya delapan halaman dan tidak beriklan sama sekali.
Saat itulah saya baru tersadar ada krisis ekonomi. Saya takut apabila perusahaan ini tamat. Penghasilan saya dari berita saat itu menyusut drastis. Sempat hanya mendapat Rp 400.000 sebulan.
Di mana-mana terlihat antrean warga untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok. Orang juga antre menarik uangnya dari bank. Takut uang mereka hilang sekalipun pemerintah telah menambah likuditas bank. Saya pun sempat ikut-ikutan dengan memindahkan sejumlah uang dari sebuah bank swasta ke bank pemerintah. Ingat peristiwa ini, saya tertawa.
Baca juga: Menyentil Keluarga ”daripada” Soeharto Lewat Sepatu
Unjuk rasa makin besar. Teriakan reformasi menggema di sejumlah tempat. Soeharto akhirnya mengumumkan mengundurkan diri sebagai Presiden yang disambut sorak sorai di mana-mana. Masyarakat merasa lega dan terbebas dari cengkeraman rezim otoriter.
Memang masalah tidak begitu saja selesai, tetapi setidaknya salah satu tuntutan reformasi terpenuhi. Aksi-aksi mulai berkurang. Kalangan sipil mulai ikut menata pemerintahan.
BJ Habibie kemudian menjadi Presiden hingga Pemilihan Umum 1999 dan sidang umum MPR. Abdurrahman Wahid menggantikan Habibie sebentar, lalu di tengah jalan digantikan Megawati.
Ekonomi mulai dibenahi. Nilai tukar rupiah kembali menguat. Bisnis kembali menggeliat. Halaman koran kembali bertambah dan mulai berhias iklan. Berita-berita saya kembali muncul seperti sedia kala.
Tahun 1999, status karyawan saya dan rekan-rekan koresponden lepas akhirnya berganti menjadi wartawan honorer sehingga mulai menerima gaji tetap. Tak lama kemudian diubah lagi menjadi wartawan tetap. Perbaikan gaji terjadi sangat cepat setelah inflasi gila-gilaan yang pada tahun 1998 saja mencapai hampir 80 persen.
Baca juga: Dari Wawancara Transmigran di Pelosok hingga Presiden di Gedung Putih
Situasi berangsur normal. Liputan kembali berjalan seperti biasa di Karawang. Setelah sempat ditugaskan di Provinsi Maluku semasa konflik rasial selama tiga bulan, saya memasuki episode baru dalam karier wartawan, yaitu dipindah ke Jakarta, di Desk ekonomi.
Tantangan baru menghadang seiring perpindahan ke Ibu Kota pada awal 2000. Kali ini saya tidak bisa mengelak dari peningnya memahami isu ekonomi makro. Ini berbeda dengan saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang tak membuat saya pusing. Bukan apa-apa, saat itu saya tak sepenuhnya paham masalah tersebut. Maklum, wartawan ”kemarin sore”.