Kerumitan Pilkada 2020 diharapkan tak menurunkan kualitas kontestasi politik. Untuk itu, penyelenggara pemilu didorong lebih serius menjaga agar kualitas pilkada tidak turun sebagai penanda kualitas demokrasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerumitan dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020 diharapkan tak menurunkan kualitas kontestasi politik tersebut. Penyelenggara pemilu didorong lebih serius menjaga agar kualitas pilkada tidak menurun. Sebab, kesalahan teknis dalam tahapan diyakini akan berpengaruh terhadap substansi dan kualitas pilkada.
Koordinator Komite Pemantau Pemilihan Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow, Jumat (24/7/2020) di Jakarta, mengatakan, pilkada di masa pandemi seolah menjebak masyarakat pada pertarungan terhadap Covid-19 dan demokrasi. Dalam berbagai survei, mayoritas masyarakat sebenarnya meminta pilkada serentak 2020 ditunda.
Namun, pemerintah terkesan ingin terus melanjutkan pilkada sebagai agenda yang harus digolkan pada 2020. Oleh karena itu, masyarakat didorong agar tetap mengawasi pilkada serentak 2020 dengan serius. Pemangku kebijakan yang berkaitan dengan pemilu ini juga didorong lebih serius dalam menjalankan tahapan pilkada.
Bagaimanapun pilkada di masa pandemi ini adalah agenda demokrasi yang berkaitan dengan masa depan bangsa. Semua pihak, baik pemangku kepentingan maupun masyarakat, harus lebih serius.
”Bagaimanapun pilkada di masa pandemi ini adalah agenda demokrasi yang berkaitan dengan masa depan bangsa. Semua pihak, baik pemangku kepentingan maupun masyarakat, harus lebih serius,” ujar Jeirry dalam diskusi bertema ”Pilkada 2020, Serius Nggak Sih? Problem Regulasi Penyelenggaraan Pilkada di Tengah Bencana Non-Alam”, Jumat (24/7/2020).
Jeirry juga mengatakan, dalam pilkada di masa pandemi ini ada sejumlah aturan yang dinilai tidak mendukung pengawasan kualitas pilkada. Misalnya, surat edaran dari Komisi Pemilihan Umum tentang formulir pencocokan dan penelitian yang tidak boleh diberikan kepada pengawas. Menurut dia, hal tersebut akan menyulitkan pengawasan, terutama pada tahapan pencocokan dan penelitian serta verifikasi faktual. Apabila dibiarkan, hal tersebut dapat memicu sengketa data pemilih di kemudian hari.
Selain itu, banyak pasal dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur soal protokol kesehatan, tetapi sanksi terhadap pelanggar aturan itu tidak jelas. Dalam peraturan KPU itu hanya diatur bahwa sanksi disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku. Pemberi sanksi pun tidak jelas apakah KPU, Badan Pengawas Pemilu, atau lembaga lain seperti satgas Covid-19.
”Ketidakjelasan aturan tersebut akan menimbulkan masalah di tataran implementasi di lapangan. Penyelenggara pemilu pun akan bingung saat menemukan masalah di lapangan,” kata Jeirry.
Karena peraturan KPU belum merinci banyak hal, Jeirry mengusulkan KPU memperbanyak tahapan simulasi seperti yang sudah dilaksanakan dalam simulasi hari pemungutan suara. Simulasi tersebut dapat pula dilaksanakan pada tahapan proses kampanye, misalnya. Sebab, dalam simulasi, akan diketahui kelemahan dan kerumitan pelaksanaan dalam kondisi pandemi Covid-19. Simulasi juga dapat dijadikan bahan evaluasi sebelum tahapan tersebut dijalankan sehingga tahapan dapat dipastikan aman dan tidak menularkan Covid-19. Semakin banyak dilakukan simulasi akan semakin baik agar dekat dengan pemilih dan dipahami oleh pelaksana.
Tes cepat petugas
Ketua KPU Kota Surakarta Nurul Sutarti mengatakan, saat ini tahapan pilkada yang tengah berjalan adalah pemutakhiran data pemilih. Dalam tahapan ini petugas berhadapan langsung dengan masyarakat sehingga risikonya tinggi. Setelah itu, akan ada perbaikan verifikasi bakal calon perseorangan. Oleh karena itu, KPU harus memastikan petugas di lapangan dalam keadaan sehat. Saat menjalankan tugasnya, para petugas juga harus berdisiplin agar tidak menimbulkan kluster penularan baru.
Terkait kondisi itu, saat perekrutan petugas, KPU Kota Surakarta melakukan tes cepat (rapid test). Namun, kendalanya, masa berlaku tes cepat hanya satu pekan, sementara para petugas harus bekerja selama 30 hari. Mekanisme pengecekan ulang kesehatan petugas tersebut juga belum diatur jelas. Karena itu, menurut Nurul, KPU daerah harus aktif berkoordinasi dengan gugus tugas maupun dinas kesehatan.
Selain itu, apabila saat perekrutan petugas ada hasil tes yang reaktif atau harus dites ulang untuk menentukan penularan Covid-19, petugas itu akan langsung diganti. Kendalanya, walaupun baru tes cepat dan hasilnya reaktif, terkadang sudah mendapatkan stigma di masyarakat. Saat tahapan pencocokan dan penelitian pun, apabila ada yang terkonfirmasi positif, yang dilakukan adalah pengecekan di tingkat RT. Sebab, biasanya RT akan memiliki salinan kartu keluarga pemilih. KPU juga mengizinkan pencocokan dan penelitian dilakukan secara video call apabila di wilayah tersebut ada yang terkonfirmasi positif Covid-19.
”Pada saat kondisi normal saja, tahapan coklit (pencocokan dan penelitian) sudah menguras energi. Apalagi jika dilaksanakan saat masa pandemi Covid-19 dengan protokol kesehatan,” kata Nurul.
Komisioner Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, pilkada pada masa pandemi bukanlah sesuatu yang ideal. Banyak tahapan yang harus disesuaikan dengan protokol kesehatan. Meskipun demikian, KPU dan Bawaslu tetap berusaha melakukan upaya terbaik karena penyelenggaraan pilkada pada 9 Desember 2020 sudah menjadi keputusan politik. KPU dan Bawaslu juga sudah mengeluarkan regulasi berupa peraturan KPU dan peraturan Bawaslu yang mengatur soal penyesuaian protokol kesehatan. Konsekuensinya, pilkada menjadi lebih mahal. Peningkatan logistik diperkirakan naik dua kali lipat dari pilkada saat normal.
”Bagi Bawaslu dan jajarannya, kalau dulu pengawasannya apakah KTP-nya ada atau tidak, sekarang bertambah menjadi apakah petugas pakai masker, apakah pakai hand sanitizer sebelum beraktivitas? Semua menjadi obyek pengawasan,” kata Afifuddin.
Kualitas pemilu
Jojo Rohi, Ketua Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), menyebutkan, hal-hal teknis dalam penyelenggaraan pilkada di masa pandemi harus diperhatikan dengan baik. Sebab, permasalahan teknis ini akan berimplikasi pada substansi pemilu yang menentukan kualitas pilkada.
Jika proses verifikasi faktual dukungan calon perseorangan tidak layak, dapat menjadi persoalan substansi karena dapat menyebabkan hak konstitusional warga hilang.
Soal transparansi misalnya, selama ini masyarakat Indonesia terbiasa berkerumun di tempat pemungutan suara untuk mengawasi pelaksanaan pilkada. Namun, hal itu tidak mungkin lagi terjadi karena pilkada di masa pandemi membatasi kerumunan orang. Selain itu, untuk verifikasi calon perseorangan, jika prosesnya tidak dilakukan dengan benar, hal itu akan memengaruhi hak konstitusional warga.
”Jika proses verifikasi faktual dukungan calon perseorangan tidak layak, dapat menjadi persoalan substansi karena dapat menyebabkan hak konstitusional warga hilang,” kata Jojo.
Oleh karena itu, Jojo berpendapat hal-hal teknis dalam konteks Covid-19 perlu ditinjau ulang agar tidak menurunkan kualitas pilkada. Simulasi dan evaluasi cermat harus dilakukan. Pilkada dengan protokol kesehatan harus dapat dikombinasikan sehingga pemilu tetap demokratis dan berkualitas.