Hadisudjono Sastrosatomo, seorang dokter mata, mengenang PK Ojong sebagai wartawan muda yang mewawancara narasumber dengan gigih guna mengorek informasi terdalam. Kini, seabad kelahiran PK Ojong akan segera diperingati.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Kala itu, pada 1955, Hadisudjono Sastrosatomo masih berusia 10 tahun. Pria yang pada kemudian hari menjadi seorang dokter mata yang terkenal di Jakarta masih tinggal bersama orangtuanya, Sapuan Sastrosatomo, di Bandung.
Tepatnya di sebuah rumah di Jalan Purnawarman No 56, sebuah jalan besar di kota itu. Sapuan adalah seorang dokter yang lulusan sekolah kedokteran Hindia Belanda Stovia dan sebelumnya pernah bertugas di Tasikmalaya.
Saat itu, Hadisudjono tengah mengenyam pendidikan sekolah dasar di SD Merdeka 5 Bandung. Suatu ketika seorang pemuda berkunjung ke rumahnya di Bandung. Pemuda ini bertemu dengan Ibu Maria Ulfah Santoso yang sudah dianggap orang dekat keluarga Sapuan. Kelak Maria Ulfah kemudian menikah dengan pamannya Hadisudjono, yaitu Soebadio Sastrosatomo.
”Mereka berbincang di ruang tamu depan,” kata Hadisudjono menceritakan kejadian 65 tahun yang lalu. Saat itu tengah berlangsung Konferensi Asia Afrika di kota itu. Maria Ulfah, perempuan yang pernah menjadi sebagai menteri sosial pada masa Orde Lama adalah satu di antara dua perempuan anggota delegasi Indonesia di dalam konferensi itu. Perempuan satunya lagi adalah Supeni.
Hampir semua delegasi menginap di hotel, tetapi saat itu Maria Ulfah memilih menginap di rumah orangtua Hadisudjono. Oleh karena itu, pemuda tadi bertamu ke rumah Sapuan untuk bertemu dengan Maria Ulfah.
”Mereka berbincang di ruang tamu depan,” kata Hadisudjono menceritakan kejadian 65 tahun yang lalu. Saat itu tengah berlangsung Konferensi Asia Afrika di kota itu. Maria Ulfah, perempuan yang pernah menjadi sebagai menteri sosial pada masa Orde Lama, adalah satu di antara dua perempuan anggota delegasi Indonesia di dalam konferensi itu. Perempuan satunya lagi adalah Supeni.
Hadisudjono mengaku tak paham dengan isi pembicaraan Maria Ulfah dan tamunya itu, tetapi terkesan dengan sikap kedua orang tersebut. Si tamu dengan kacamata tebal sangat agresif dan ngotot bertanya, sementara Maria Ulfah kalem menjawab pertanyaan. Kadang-kadang Maria Ulfah menatap langit-langit ketika menjawab pertanyaan.
”Saya berdiri di antara ruang tamu depan dan ruang tamu tengah. Rumah kami memang ada dua ruang tamu. Saya berdiri lama dan tidak dipedulikan, tetapi juga tidak diusir oleh mereka. Namun, saya ingat betul dengan orang itu dan saya terkesan dengan caranya bertanya,” kata Hadi.
Pemuda itu tekun menulis setiap perkataan yang diucapkan Maria Ulfah. Ia memakai notes. Setiap kali pemuda itu selesai menulis dan kertas di notes itu penuh, ia merobek halaman kertas yang sudah terisi. Kemudian ia menulis lagi dan terus bertanya. Gayanya menarik Hadisudjono.
”Mereka mengobrol lama banget. Lama sekali. Saya kira lebih dari satu jam. Pokoknya habis menulis terus kertas dirobek. Kertas itu diletakkan tak jauh darinya,” tutur Hadisudjono ketika ditanya lama waktu obrolan dua orang itu. Ia kembali mengaku tak paham dengan waktu dan isi pembicaraan mereka.
Setelah lama berbincang dan selesai, Hadisudjono memberanikan diri menanyakan tamu yang datang dan mengobrol dengan Mari Ulfah. Pertanyaan itu diajukan karena ia terkesan dengan gaya si tamu yang mewawancarai dan mengobrol itu.
”Saya bertanya ke Ibu Maria Ulfah, Bu Iet, tamu tadi siapa? Ibu Maria Ulfah mengatakan, yang baru saja bertamu adalah wartawan koran Keng Po. Namanya Auwjong Peng Koen,” kisah Hadisudjono. Iet adalah kependekan dari Iejtje, yaitu panggilan orang dekat kepada Maria Ulfah.
Dari sinilah kemudian Hadisudjono mengenal sosok yang lebih dikenal dengan nama Petrus Kanisius Ojong atau PK Ojong. Ia mengaku tidak mengenal secara langsung PK Ojong, tetapi menikmati tulisan-tulisan Ojong di majalah Star Weekly, terutama tentang Perang Eropa dan Perang Pasifik. Di samping itu, ia juga membaca tulisan Ojong di rubrik Kompasiana di harian Kompas, yang didirikan oleh PK Ojong dan Jakob Oetama.
Di mata Hadisudjono, PK Ojong cukup dekat dengan Maria Ulfah dan juga Soebadio Sastrosatomo yang berlatar belakang politik Partai Sosialis Indonesia (PSI). Soebadio adalah salah satu pendiri dan aktivis PSI. Di samping keduanya, Ojong juga cukup dekat dengan beberapa tokoh partai ini pada waktu itu. Kedekatan itu mungkin yang menyebabkan Ojong mewawancarai Maria Ulfah yang berpendidikan sarjana hukum dari Universitas Leiden, Belanda.
Berulang kali Hadisudjono mengatakan terkesan dengan pertemuan dan wawancara keduanya. Ia mengaku meski telah puluhan tahun masih ingat dengan momen wawancara itu.
Di matanya pada masa itu, Ibu Maria Ulfah tergolong cepat mengadopsi simbol modernitas. Ia mengenakan rok pendek sementara ibunya masih mengenakan kain kebaya. Ibu Maria Ulfah sangat aktif dalam berbagai organisasi, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga.
PK Ojong di matanya adalah pemuda yang sangat serius dan pintar setidaknya terlihat dari caranya bertanya.
”Keduanya sepertinya sudah akrab sebelumnya. Ojong sangat ngotot setiap kali bertanya seperti jaksa di pengadilan. Ia terus bertanya. Sementara Ibu Maria Ulfah menjawab dengan tenang. Entah mengapa saya betah melihat dan menunggui mereka,” tutur Hadisudjono.
Momen di depan mata Hadisudjono yang kini berusia 75 tahun berakhir ketika Ojong menyelesaikan wawancara dan pamit. Ia masih ingat Ojong yang kala itu berusia 30 tahun mengenakan kacamata tebal dan berbaju putih berjalan ketika keluar dari rumahnya.