Pelaku usaha melakukan segala upaya untuk menjaga eksistensi merek atau ”brand”. Siasat ini dilakukan demi bertahan saat pandemi Covid-19. Selain itu, tentu saja, agar produk mereka tidak dilupakan oleh konsumen.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan penjualan belum dirasakan sejumlah pelaku usaha walau telah beradaptasi dengan perubahan akibat pandemi Covid-19. Mereka bertahan dengan menjaga eksistensi merek atau brand agar tidak dilupakan konsumen.
Hal ini dilakukan oleh pemilik butik Gianti, Lala Gozali (66). Busana etnik yang ia produksi terpaksa mandek sementara karena permintaan turun. Ia beralih memproduksi masker, busana kasual, dan apron dengan bahan baku yang ada.
Ia menawarkan potongan harga untuk sejumlah busana yang dijual melalui media sosial. Selain itu, Lala aktif mempromosikan usahanya ke keluarga dan teman dekat melalui Whatsapp. Namun, belum ada tanda kenaikan omzet ataupun permintaan.
”Tingkat penjualan masih flat (datar). Walau begitu, setidaknya saya harus jemput bola dan aktif menghubungi relasi yang ada. Yang penting, eksistensi brand harus terjaga. Itu yang bisa saya lakukan saat ini agar usaha bertahan,” kata Lala saat dihubungi dari Jakarta, Senin (27/7/2020).
Selain aktif promosi, Lala juga aktif mengikuti seminar virtual untuk memperkaya wawasan. Sejumlah tawaran untuk berpartisipasi di pameran virtual juga diambil. Celah inovasi diyakini bisa diperoleh melalui kegiatan-kegiatan itu.
”Kegiatan seperti itu membuat kita tetap semangat untuk berinovasi. Ini sama saja dengan membuka peluang baik untuk diri sendiri. Selain itu, ini adalah alternatif untuk menjaga kesadaran konsumen akan brand saya,” ujar Lala.
Pendiri jenama Elemwe, Lily Mariasari (49), mengatakan, menjaga eksistensi merek penting dilakukan. Menjaga kesadaran konsumen penting agar mereknya tidak dilupakan. Jika eksistensi merek gagal dilakukan, pelaku usaha harus promosi dan membangun citra usahanya dari nol lagi.
Lily menjaga eksistensi usahanya dengan mengunggah foto-foto produk di media sosial. Ia juga menyosialisasikan sejumlah kegiatan, seperti kegiatan perajin batik Betawi binaan Elemwe. Beragam upaya yang dilakukan membuahkan hasil. Tingkat penjualan meningkat 10-15 persen beberapa bulan terakhir.
”Peningkatan itu tentu masih jauh dibandingkan dengan pendapatan sebelum pandemi. Namun, kami bersyukur bisa mempertahankan eksistensi brand. Untuk menjaga eksistensi, kami harus punya jaringan yang baik dan berkolaborasi,” ucapnya.
Jeli melihat peluang
Selain menjaga eksistensi, pengusaha juga perlu jeli melihat kebutuhan baru konsumen saat pandemi. Anggota Tim Kurasi Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DKI Jakarta, Dewi Arfiani, mencontohkan, pengusaha bisa membuat alat baru untuk menggantikan manusia menyentuh benda. Alat sederhana ini dibuat dengan bahan baku sederhana, seperti kayu atau plastik.
Kami bersyukur bisa mempertahankan eksistensi brand. Untuk menjaga eksistensi, kami harus punya jaringan yang baik dan berkolaborasi.
Ia juga menyarankan agar pengusaha atau perajin membuat baju pelindung baju. Pakaian itu serupa luaran modis untuk menutupi pakaian yang dikenakan. Baju pelindung baju menjadi semacam ”alat pelindung diri” bagi publik.
”Peluang itu selalu ada. Pengusaha tetap semangat dan tidak boleh putus asa. Pandemi jangan dipandang sebagai hal yang menyedihkan, tapi justru mendorong kita agar tetap kreatif,” kata Dewi.
Bisa bertahan
Menurut ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, perekonomian Indonesia dapat bertahan jika pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa bangkit. Sebab, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional ialah 60,34 persen dan serapan tenaga kerjanya sekitar 97 persen dari total tenaga kerja.
Bantuan pemerintah berupa restrukturisasi kredit, subsidi bunga, dan bantuan modal kerja dinilai sudah tepat. Begitu pula dengan program dana pemulihan ekonomi nasional yang mencapai Rp 123,46 triliun. Namun, pemerintah perlu memastikan dana tersebut terserap dengan baik.
Kementerian Keuangan mencatat, program subsidi bunga dan penempatan dana untuk restrukturisasi yang belum berjalan menyebabkan penyerapan stimulus PEN untuk UMKM masih rendah, yakni 0,06 persen dari total anggaran. Kondisi ini terkendala kesiapan regulasi, data, dan infrastruktur teknologi informasi untuk mendukung operasionalisasi (Kompas.id, 20/6/2020).
”Perlu koordinasi Kementerian Koperasi dan UKM, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan, serta perbankan untuk itu. Sistem data UMKM yang memadai juga penting agar penyerahan insentif ini efektif. Apabila serapan dana optimal, harapan UMKM bangkit lebih cepat bisa dicapai,” kata Josua.