Haji dan Benteng Soliditas di Masa Silam
Ibadah haji bukan sekadar penyempurna rukun Islam, haji juga melahirkan tanggung jawab sosial seiring ilmu yang diperoleh selama perjalanan hingga kembali ke daerah masing-masing.
“…Rasanya hendak masuk ke perut Ibu kembali. Gelombang dari kiri lepas ke kanan, dan dari kanan lepas ke kiri. Maka segala barang-barang dan peti-peti, dan tikar bantal berpelanting. Maka sampailah ke dalam kurung air bersemburan, habislah basah kuyup.”
Demikian raut ketegangan yang digambarkan oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, seorang pelopor sastra melayu modern saat melakukan perjalanan haji pada tahun 1854. Kapal barang yang ia tumpangi kala itu berhadapan dengan badai besar saat melewati kawasan perairan Gamri, bagian selatan India. Konon, saat itu banyak kapal yang hilang saat melalui perairan ini (Chambert-Loir, 2013).
Jika kini perjalanan ibadah haji dapat dilakukan dengan terencana, maka tidak demikian dengan jemaah haji pada zaman dahulu. Perjuangan panjang perlu dilalui oleh para jemaah, terutama bagi mereka yang harus menggunakan kapal layar untuk mengarungi samudera demi menuju pelabuhan di Jeddah, Arab Saudi.
Tak ada catatan pasti kapan perjalanan haji pertama kali dilakukan oleh penduduk di Kepulauan Nusantara. Namun, dalam catatan Ludovico Di Varthema, seorang pelancong dari Italia, terdapat banyak jemaah haji asal lesser India, termasuk Kepulauan Nusantara, awal tahun 1500-an. Catatan ini menjadi laporan awal tentang ibadah haji yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia zaman dahulu (Azra, 1994).
Catatan dari Di Varthema tentu dapat diterima mengingat Islam di Nusantara sudah berkembang pesat di abad ke-16. Kerajaan Islam silih berganti lahir dan menyebar di wilayah Nusantara seperti Samudera Pasai (Aceh), Demak (Jawa Tengah), hingga Gowa-Tallo (Sulawesi Selatan). Perkembangan inilah yang mendorong banyaknya penduduk menjalankan ibadah haji.
Baca juga: 13 WNI Ekspatriat Mengikuti Ibadah Haji
Kapal layar
Sebelum kapal uap jamak digunakan pada abad ke-19, perjalanan haji dilakukan dengan mengandalkan kapal layar. Keberangkatan sangat ditentukan oleh musim yang dapat menggerakkan kapal ke pelabuhan yang dituju.
Para jemaah haji belum mengandalkan transportasi khusus yang melayani jalur pelayaran dari Kepulauan Nusantara ke Mekkah. Emsoe Abdurrahman, dalam Hadji Tempo Doeloe (2016), menuliskan, perjalanan haji menggunakan kapal layar harus dilakukan secara estafet tanpa adanya kepastian waktu keberangkatan.
Dalam kondisi seperti itu, perjalanan haji membutuhkan waktu hingga tiga tahun lamanya hingga kembali ke tanah air. Tidak ada jaminan para calon jemaah haji mendapatkan kamar tidur atau makanan yang layak selama berada di kapal. Setiap orang harus menyediakan perbekalan yang cukup hingga tiba di pelabuhan transit.
Setibanya di pelabuhan transit, para calon jemaah juga perlu menunggu waktu keberangkatan sesuai musim yang mendukung pergerakan kapal layar. Jika kapal menuju dermaga lainnya yang tidak sesuai dengan rute perjalanan haji, maka jemaah harus menunggu kapal lain yang sesuai dengan tujuan. Faktor inilah menjadi salah satu penyebab lamanya waktu yang dibutuhkan dalam melakukan ibadah haji dengan menggunakan kapal layar.
Baca juga: Pengorbanan untuk Kebahagiaan
Layanan haji
Tingginya minat haji penduduk di Kepulauan Nusantara turut menjadi perhatian pemerintah kolonial. Pada tahun 1825, pemerintah kolonial melarang umat Islam di Kepulauan Nusantara untuk melakukan ibadah haji tanpa adanya pas jalan.
Setiap jemaah diharuskan untuk membayar biaya pas jalan yang setara dengan harga sebuah rumah besar pada masa itu. Sementara bagi penduduk yang tidak memiliki pas jalan, akan dikenai denda hingga dua kali lipat saat kembali dari Mekkah. Meski diatur dengan ketat, kondisi ini tidak menghambat semangat penduduk untuk menjalankan ibadah haji (Shahab, 2002).
Di tengah tingginya semangat untuk melaksanakan ibadah haji, kemudahan mulai dirasakan oleh jemaah saat banyaknya kapal uap yang beroperasi pada abad ke-19. Pada tahun 1858, kapal uap berbendera Inggris telah berlabuh di Batavia untuk mengangkut jemaah haji. Waktu tempuh perjalanan haji semakin singkat dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869.
Henri Chambert-Loir, dalam buku Naik Haji di Masa Silam Tahun 1482-1890 (2013) menuliskan, perjalanan haji akhirnya memperoleh perhatian lebih serius dari pemerintah kolonial. Dalam bidang transportasi, pada tahun 1874 Hindia Belanda resmi memiliki layanan pengangkutan jemaah haji.
Izin monopoli diberikan kepada Kongsi Tiga yang terdiri dari Rotterdamsche Lloyd, Stoomvaart Matchappij Nederland, dan Stoomvaart Matchappij Ocean. Sejak saat itu, para jemaah haji memiliki pilihan yang lebih baik dibandingkan saat menggunakan kapal layar.
Hingga tahun 1884, Kongsi Tiga kian menguasai pasar transportasi haji di Kepulauan Nusantara. Sebanyak 40 persen jemaah haji diangkut melalui kapal yang dioperasikan oleh Kongsi Tiga. Sementara jemaah lainnya melakukan perjalanan dengan kapal milik Inggris di sekitar Semenanjung Malaya.
Meski telah memiliki sejumlah fasilitas layanan, perjalanan haji masih dilakukan dengan penuh perjuangan. Perjalanan membutuhkan waktu hingga empat bulan sejak awal keberangkatan hingga kepulangan. Selain itu, tak jarang jemaah haji juga dimintai biaya selain tarif resmi. Kondisi ini terungkap dalam laporan seorang kaki tangan Pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje, kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1889.
Baca juga: Ibadah Haji Dilaksanakan dengan Protokol Kesehatan
Soliditas
Perjuangan yang tidak mudah dalam melakukan ibadah haji pada masa lampau melahirkan suatu soliditas bagi sesama jemaah haji, terutama bagi jemaah dari satu wilayah yang sama. Bagi pemerintah kolonial, kondisi ini dianggap sebagai sebuah ancaman bagi eksistensi mereka di negeri jajahan.
Kekhawatiran ini telah muncul sejak zaman VOC abad ke-18. Pada tahun 1716, kapal Belanda sempat dilarang untuk mengangkut jemaah haji dari sekitar Kepulauan Nusantara. VOC juga sempat melarang beberapa pimpinan daerah mengirimkan tokoh agama ke Mekkah.
Kekhawatiran pemerintah kolonial terhadap jemaah haji juga terekam dalam catatan Thomas Stamford Raffles, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1811-1816, dalam karyanya berjudul The History of Java. Menurut Raffles, seseorang yang baru pulang dari Mekkah untuk melakukan ibadah haji akan memperoleh kehormatan dari masyarakat setempat, khususnya di Pulau Jawa.
Kehormatan ini adalah kedudukan sosial yang otomatis dimiliki oleh jemaah haji setelah meninggalkan kampung halaman selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun lamanya. Dengan kedudukan sosial yang dimiliki serta segenap pengetahuan selama perjalanan haji, pemerintah kolonial khawatir bahwa para tokoh haji di daerah dapat menjadi penggerak untuk menentang penjajahan.
Kekhawatiran ini bukanlah angan belaka. Pada beberapa gerakan di tanah air yang menentang pemerintahan kolonial, beberapa jemaah haji merupakan aktor intelektual di baliknya. Beberapa perlawanan terhadap pemerintah kolonial pernah dilakukan oleh sejumlah tarekat seperti Sammaniyah di Palembang tahun 1819 dan Qadiriyah wa Naqsyabandiah di Lombok tahun 1891-1894.
Salah satu gerakan yang terlihat masif adalah perlawanan petani Banten tahun 1888. Dalam buku Pemberontakan Petani Banten (2015), Sartono Kartodirdjo mengungkapkan bahwa peristiwa ini adalah suatu pergerakan revolusioner yang turut melibatkan para tokoh haji sebagai aktor penting. Mereka adalah Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid.
Selain di Banten, tokoh haji juga menjadi aktor dibalik perlawanan dalam Perang Padri di Sumatera Barat tahun 1803-1832. Awalnya, perlawanan ini terjadi antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis yang menginginkan setiap sisi kehidupan kembali ke ajaran Islam. Kaum reformis ini terdiri dari tokoh haji yang baru kembali dari Mekkah, yakni Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif. Namun, pertentangan itu turut ditunggangi oleh pemerintah kolonial sehingga meluas menjadi perang melawan kolonialisme.
Terlepas dari banyak variabel sosial dan politik yang menyebabkan timbulnya perlawanan, hadirnya tokoh haji ini menjadi salah satu embrio bagi semangat persatuan untuk melawan pihak penjajah. Meski masih bersifat kedaerahan, semangat ini menjadi banteng soliditas yang terus mengancam eksistensi pemerintahan kolonial di Nusantara.
Kondisi ini tentu menjadi cermin betapa pentingnya peran jemaah haji di lingkungan sosial pada masanya. Ibadah haji saat itu bukan hanya sekadar penyempurna rukun Islam, melainkan juga melahirkan tanggung jawab sosial seiring ilmu yang diperoleh selama perjalanan hingga kembali ke daerah masing-masing. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?