Tes Cepat Tak Bermanfaat untuk Identifikasi SARS-CoV-2
›
Tes Cepat Tak Bermanfaat untuk...
Iklan
Tes Cepat Tak Bermanfaat untuk Identifikasi SARS-CoV-2
Tes cepat memang cepat, murah, dan tidak perlu alat canggih. Namun, sensitivitas dan spesifisitas tes rendah. Akibatnya, ada sejumlah kasus yang tak terdeteksi.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Tes cepat (rapid test) yang dipakai luas di Indonesia dinilai tidak banyak berguna untuk mengidentifikasi keberadaan SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, dalam tubuh. Penyebabnya, sensitivitas dan spesifisitas tes tersebut rendah. Akibatnya, banyak kasus bisa lolos dari deteksi.
Astar Winoto, Guru Besar Imunologi dan Patogenesis, Departemen Molekuler dan Biologi Sel, Universitas California Berkeley, Amerika Serikat, dalam kuliah daring yang diselenggarakan Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama University of California Berkeley dan Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (Peralmuni), Sabtu (25/7/2020), mengatakan, sesuai namanya tes cepat memang cepat, murah, tidak perlu alat canggih. Namun kelemahannya adalah tidak sensitif dan tidak spesifik.
Orang yang baru tertular, yang tanpa gejala atau belum terbentuk antibodinya menjadi tak terdeteksi alias hasilnya false negative (negatif palsu).
Tes itu mendeteksi antibodi yang terbentuk dalam tubuh, bukan virusnya. Akibatnya, orang yang baru tertular, yang tanpa gejala atau belum terbentuk antibodinya menjadi tak terdeteksi alias hasilnya false negative (negatif palsu). Sebaliknya, hasil tes bisa false positive (positif palsu). Yakni, ketika tes mendeteksi antibodi yang bukan akibat infeksi virus korona baru melainkan dari infeksi korona lain, misalnya penyebab batuk pilek.
“Rapid test tidak banyak digunakan di dunia. Tes terbaik adalah tes PCR (polymerase chain reaction) karena spesifik. Di AS, jika ada orang yang menunjukkan gejala Covid-19 dilakukan tes PCR secara gratis untuk memastikan. Tes bisa dikerjakan dalam waktu sehari. Jika positif terinfeksi SARS-CoV-2, orang segera diisolasi dan diobati, sehingga tak sempat menularkan ke banyak orang,” tuturnya.
Akurasi rendah
Hal senada ditulis Larisa Labzin, peneliti Institut Biosains Molekuler, Universitas Queensland, Australia, dalam the Conversation, 14 Mei 2020. Ia menyatakan, hampir dua juta tes cepat yang diimpor Australia dinyatakan tak berguna untuk menentukan apakah seseorang terpajan virus korona baru.
“Uji yang dilakukan Institut Doherty mengungkapkan, tes hanya mampu mendeteksi secara akurat antibodi akibat Covid-19 pada 56,9 persen kasus. Tes tersebut memiliki kemungkinan tinggi menghasilkan negatif palsu. Akurasi tes jauh lebih rendah dari yang diklaim perusahaan penjualnya,” papar Labzin.
Antibodi adalah molekul kecil berbentuk Y yang mengikat struktur spesifik pada virus yang disebut antigen. Pada kondisi itu, antibodi bisa menghambat virus agar tidak masuk sel tubuh dan menggandakan diri.
Sensitivitas tes penting untuk mencegah hasil negatif palsu, di mana darah seseorang seolah-olah bebas SARS-CoV-2, padahal sudah terpapar. Sedangkan spesifisitas tes diperlukan untuk menghindari hasil positif palsu. Yaitu, ketika virus memiliki antigen sangat mirip, terutama jika terkait erat. Antigen SARS-CoV-2 mirip dengan antigen SARS1, atau dengan virus korona penyebab flu biasa.
Dalam diskusi yang dipandu Iris Rengganis, Guru Besar Alergi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus Ketua Umum Peralmuni dan Eka J Wahjoepramono, Guru Besar Fakultas Kedokteran UPH, Astar menjelaskan, tubuh memiliki dua jenis imunitas (kekebalan tubuh).
Yang pertama merespons zat asing penyebab penyakit (patogen) adalah imunitas bawaan. Antibodi yang terbentuk disebut IgM. Namun, daya hambatnya sangat umum dan tidak cukup untuk melawan patogen. Dalam perjalanan waktu, kadar IgM akan menurun.
Pembasmian patogen perlu dukungan imunitas adaptif yang membentuk antibodi IgG sekitar dua minggu setelah infeksi. Meski lambat terbentuk, IgG sangat spesifik dan memiliki memori, sehingga mampu melindungi tubuh dari infeksi patogen yang sama di kemudian hari.
Sikap WHO
Terkait penggunaan tes imunodiagnostik untuk perawatan Covid-19, pada ringkasan ilmiah terbitan 8 April 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, berdasarkan bukti saat ini, WHO merekomendasikan penggunaan tes cepat hanya untuk penelitian. Tidak boleh digunakan untuk pengambilan keputusan klinis, sampai bukti yang mendukung penggunaan untuk indikasi tertentu tersedia.
Menurut WHO, tes yang tidak memadai dapat meloloskan orang dengan infeksi aktif atau sebaliknya, mengkategorikan orang terkena infeksi, padahal tidak. Pada gilirannya, hal ini bisa menghambat upaya pengendalian penyakit.
Jenis umum tes cepat yang dipasarkan saat ini untuk Covid-19 adalah yang mendeteksi antibodi dalam darah. Padahal, antibodi diproduksi tubuh beberapa hari bahkan minggu setelah infeksi virus.
Penelitian menunjukkan, kebanyakan pasien memproduksi antibodi pada minggu kedua setelah gejala timbul. Artinya, jika diagnosis Covid-19 didasarkan pada respons antibodi, maka peluang efektivitas pengobatan dan pencegahan penularan penyakit telah terlewati.
Kekuatan respons antibodi tergantung banyak faktor, antara lain usia, status gizi, keparahan penyakit serta jika orang minum obat atau ada penyakit tertentu, misalnya HIV, yang menekan sistem imun. Konfirmasi pemeriksaan dengan PCR menunjukkan, ada sejumlah orang yang respons antibodinya lemah, terlambat, bahkan tidak terbentuk.
Karena itu, WHO merekomendasikan penggunaan tes PCR untuk identifikasi maupun konfirmasi laboratorium kasus Covid-19.
Di Indonesia, penggunaan tes cepat sangat luas, baik untuk penapisan, pelacakan kasus, serta dijadikan persyaratan untuk bepergian keluar kota terutama bagi penumpang kendaraan umum. Akurasi tes yang tidak memadai dan adanya negatif palsu akan meloloskan orang yang memiliki SARS-CoV-2 di tubuhnya dan bisa menularkan virus ke orang atau penumpang sekitarnya. Tidak heran jika akademisi dan klinisi menentang penggunaan tes cepat untuk menentukan status Covid-19 seseorang.