Ancaman Nyata Kelangkaan Energi Fosil
Ancaman kelangkaan energi fosil Indonesia kian nyata. Dalam 15 tahun ke depan, keterbatasan energi dari minyak dan gas perlu mendapatkan jawaban sumber energi baru.
Berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2017, BPPT, jika tidak ada penemuan ladang baru untuk komoditas minyak dan gas bumi, cadangan dua jenis energi ini akan menipis dalam waktu dekat. Pada 2030, diperkirakan Indonesia akan mengimpor minyak secara neto sekitar 540 juta barel per tahun atau 1,5 juta barel per hari.
Indonesia juga akan mengalami penurunan produksi gas dan diprediksi menjadi importir gas sepenuhnya pada 2025. Komoditas batubara yang diperkirakan masih akan bertahan hingga lebih dari 60 tahun pun terindikasi akan berkurang cepat seiring perkembangan Indonesia.
Produksi batubara akan mencapai puncaknya pada 2034 dan selanjutnya mengalami penurunan produksi. Pada 2049, diperkirakan ekspor batubara Indonesia terhenti.
Indonesia juga akan mengalami penurunan produksi gas dan diprediksi menjadi importir gas sepenuhnya pada 2025.
Kondisi tersebut sangat membahayakan ketahanan energi Indonesia. Salah satu alasannya, tingkat ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil sangat besar.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2016, kebutuhan energi Indonesia mencapai 794 juta setara barel minyak bumi dan 75 persen di antaranya bersumber dari energi fosil.
Wujud konsumsinya berupa bahan bakar minyak, gas (gas pipa dan elpiji), serta batubara. Sebanyak 25 persen energi sisanya dipasok oleh energi terbarukan, seperti biomassa, bahan bakar nabati, dan listrik. Namun, energi terbarukan ini sejatinya masih sangat minim, terutama energi listrik yang merupakan bentuk energi terbesar dalam kelompok energi baru terbarukan.
Bila dikupas lebih jauh, sumber utama energi listrik di Indonesia sebagian besar ada pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar fosil. Porsi penggunaan bahan bakar minyak, gas, dan batubara untuk membangkitkan listrik pada 2017 mencapai 88 persen. Artinya, bila diakumulasi, ketergantungan Indonesia pada energi fosil sangatlah besar (Perspektif, Potensi, dan Ketahanan Energi Indonesia, Unggul Priyatno, 2018).
Dampak perekonomian
Tingginya ketergantungan dari penggunaan energi fosil sangat rawan memicu kelangkaan energi di masa depan. Konsumsi energi penduduk Indonesia akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan per kapita, kian masifnya industrialisasi, dan meningkatnya jumlah kepemilikan alat-alat elektronik serta kendaraan pribadi.
Pada suatu titik, akan terjadi ketimpangan antara jumlah penyediaan dan konsumsi energi yang kian besar. Produksi energi di dalam negeri semakin minim, tetapi kebutuhannya justru semakin besar. Solusi singkatnya, permintaan terhadap impor energi siap pakai kian besar. Hal ini akan mengganggu neraca perdagangan nasional karena memicu defisit neraca perdagangan yang kian besar.
Prestasi neraca perdagangan sektor nonmigas yang tinggi sekalipun akan menjadi sia-sia karena tergerus untuk menutupi defisit neraca perdagangan sektor migas yang kian besar. Kondisi demikian tentu tak sehat bagi perekonomian makro karena penggunaan energi fosil menjadi beban berat bagi pembangunan.
Negara harus menyiapkan anggaran yang besar untuk mengimpor energi fosil itu. Negara juga harus menyiapkan anggaran yang besar untuk memberi subsidi energi agar harganya terjangkau masyarakat kalangan bawah. Jika mencermati serius peta ketersediaan dan pemanfaatan energi tersebut, pada masa mendatang pemenuhan energi nasional akan menjadi hal yang sangat memberatkan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Menjawab tantangan
Mau tak mau, negara harus segera menjawab tantangan ancaman kelangkaan energi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah merencanakan bauran energi baru dan terbarukan di Indonesia tahun 2025 paling sedikit 23 persen dan pada 2050 sebesar 31 persen.
Target itu tidah mudah diraih karena saat ini pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sekitar 9 persen. Mayoritas masih bersumber dari sumber energi fosil dengan proporsi minyak bumi 32 persen, gas 28 persen, dan batubara 32 persen. Menemukan ladang-ladang minyak dan gas baru mungkin dapat diupayakan guna memenuhi permintaan dalam negeri. Namun, langkah ini tak mudah dan berbiaya mahal.
Biaya eksplorasi minyak dan gas memerlukan ilmu pengetahuan serta teknologi yang mumpuni. Semuanya berbiaya mahal dan mengandung risiko ketidakberhasilan yang besar.
Di sisi lainnya, negeri ini sejatinya memiliki sumber daya alam yang berpotensi menghasilkan energi yang tak pernah habis. Energi baru terbarukan bersumber dari alam dan tumbuhan.
Energi baru dari alam antara lain tenaga angin (bayu), matahari, tenaga air, gelombang laut, dan panas bumi. Energi yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan terdiri dari bahan bakar nabati yang diolah menjadi bioetanol sebagai pengganti bensin dan biodiesel sebagai pengganti solar.
Energi terbarukan
Meskipun demikian, energi baru terbarukan itu belum terbukti keandalannya memenuhi kebutuhan masyarakat ketimbang energi fosil. Energi bayu tak bisa dibangun di sembarang tempat. Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya beberapa tempat yang dinyatakan tepat untuk dibangun energi angin.
Demikian juga dengan energi surya. Optimalisasinya belum terjamin meski Indonesia berada di garis khatulistiwa. Energi air bernasib serupa karena tidak bisa maksimal mengingat debit air cenderung tidak stabil atau tergantung musim. Ada banyak pula kerusakan di daerah hulu sungai sehingga debit air tak stabil mengisi waduk dan tidak mampu konsisten menggerakkan turbin PLTA.
Panas bumi yang berlimpah di Indonesia memiliki persoalan
berupa letaknya yang terpisah-pisah dalam unit kecil. Akibatnya, pembangkit panas bumi baru berkontribusi sangat sedikit dan memerlukan investasi yang relatif mahal.
Permasalahan keandalan terjadi pada sumber energi lainnya, nabati ataupun biomassa. Lahan pertanian yang relatif masih terfokus untuk pemenuhan kebutuhan pokok menyebabkan sumber energi terbarukan menghadapi kesulitan. Belum lagi disparitas harga yang tinggi antara menjadi bahan baku makanan dan energi terbarukan membuat sejumlah tanaman sumber bioetanol dan biodiesel tak diminati untuk dibudidayakan.
Biomassa relatif kurang diminati oleh masyarakat karena kurang praktis. Untuk mendapatkannya, harus disediakan tempat penampungan limbah komunal yang berfungsi untuk pemrosesan limbah serta diubah menjadi biogas.
Pendek kata, gambaran yang ada mengungkapkan tantangan dan dilema Indonesia dalam memenuhi kebutuhan energi masa depan. Di satu sisi terancam kelangkaan energi, di sisi lain energi baru terbarukan belum bisa optimal dimanfaatkan.
Hitung mundur kelangkaan energi sudah dimulai. Perlu sesegera mungkin eksploitasi optimal pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia.
(LITBANG KOMPAS)