Pelaksanaan ibadah haji di tengah penyebaran penyakit menular bukan hanya kali ini dilakukan. Pada tahun 1800-an kondisi serupa pernah terjadi dan diiringi oleh kewajiban karantina sebelum memasuki Pelabuhan Jeddah.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Pelaksanaan ibadah haji di tengah penyebaran penyakit menular bukan hanya kali ini dilakukan. Pada tahun 1800-an, kondisi serupa pernah terjadi dan diiringi oleh kewajiban karantina sebelum memasuki Pelabuhan Jeddah, Arab Saudi. Di Tanah Air, lahir pula kewajiban untuk melakukan karantina sebelum jemaah kembali ke daerah masing-masing pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Selain jauhnya perjalanan yang ditempuh dengan kapal, jemaah haji dari Indonesia pada abad ke-19 hingga medio awal abad ke-20 harus berhadapan dengan bahaya penyakit menular. Perjalanan yang melelahkan selama berbulan-bulan hingga minimnya sarana kesehatan membuka ruang kemungkinan yang dapat menyebabkan jemaah haji tertular sejumlah penyakit selama di perjalanan.
Kesadaran penyelenggara haji terhadap penyakit menular mulai tumbuh sejak dekade awal abad ke-19. Pada tahun 1831, karantina mulai dilakukan terhadap jemaah haji di Pulau Abu Sa’ad. Menurut George C Kohn dalam Encyclopedia of Plague and Pestilence: From Ancient Times to the Present (2008), kota Mekkah saat itu tengah dilanda wabah kolera yang diperkirakan berasal dari India. Penyakit itu menyebar dengan cepat, bahkan menular hingga ke pejabat di Mekkah.
Menurut catatan Herman Chambert-Loir dalam buku Naik Haji di Masa Silam 1482-1890 (2013), wabah kolera menyebabkan 15.000 orang di Mekkah meninggal pada tahun 1865. Hingga tahun 1881, karantina secara bertahap mulai dilembagakan demi menghindari penyebaran penyakit.
Wabah kolera kemudian menyebar hingga ke Benua Eropa. Kesadaran terhadap bahaya penyakit menular kemudian menjadi perhatian dunia internasional pada akhir abad ke-19. Konferensi internasional dilakukan di Paris dan berbuah kesepakatan bahwa setiap orang harus melakukan karantina sebelum masuk ke Pelabuhan Jeddah.
Lokasi yang dipilih untuk karantina adalah Pulau Kamaran atau yang dalam beberapa literatur juga disebut sebagai Kameran. Pulau ini terletak di selatan Pelabuhan Jeddah dengan luas sekitar 40 kilometer persegi. Kebijakan karantina juga turut dirasakan oleh jemaah haji asal Kepulauan Nusantara.
Menurut Emsoe Abdurrahman dalam Hadji Tempo Doeloe (2016), praktik karantina di Pulau Kamaran masih jauh dari standar kelayakan bagi jemaah. Hal ini salah satunya terekam dalam catatan Snouck Hurgronje, seorang mata-mata pemerintah Hindia Belanda. Pulau Kamaran dinilai tidak bersahabat bagi jemaah. Bahkan, dari pulau inilah penyakit demam muncul dan menjangkiti sebagian jemaah.
”Sebelum masuk Jeddah, jemaah harus terkurung beberapa waktu di sebuah pulau yang tidak bebas penyakit, di mana segala sesuatu dua kali lebih mahal dan jemaah harus membayar ongkos karantina,” demikian penjelasan Hurgronje yang mengkritik kebijakan karantina haji saat itu (Chambert-Loir, 2013).
Catatan Hurgronje tentang Pulau Kamaran bukanlah bualan belaka. RAA Wiranatakusuma, seorang bupati Bandung, saat menunaikan ibadah haji tahun 1924 juga menggambarkan kondisi pulau yang tidak bersahabat.
Karantina dilakukan ala kadarnya tanpa memperhatikan layanan bagi jemaah haji. Setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan, jemaah haji harus mandi dengan air yang tidak begitu bersih. Karantina di pulau ini seolah menjadi ujian terakhir sebelum jemaah berlabuh di Jeddah setelah melakukan perjalanan selama berbulan-bulan.
”Mayat seorang perempuan Sumatera terbujur di atas tanah di sebelah dokter. Sampai juga ajalnya. Tatkala ia naik ke darat telah payah benar, maka dibawa oranglah ia dengan usungan,” demikian gambaran dari Wiranatakusuma tentang peliknya kondisi di Pulau Kamaran pada masanya.
Pulau Kamaran digambarkan sebagai penjara bagi jemaah. Di sisi lain, kondisi ini dimanfaatkan oleh Inggris sebagai pemegang kekuasaan untuk memperoleh keuntungan. Mulai tahun 1903, pengelolaan karantina dikelola oleh Turki bersama Inggris, Perancis, dan Belanda.
Pada dekade awal abad ke-20, karantina juga diwajibkan oleh pemerintah kolonial bagi jemaah haji yang baru kembali dari Mekkah. Selain untuk memastikan jemaah dalam keadaan sehat, karantina juga dilakukan guna mencegah penyebaran wabah pes ke setiap daerah.
Saat itu, wabah pes mulai menyebar di Pulau Jawa. Pemerintah kolonial memutuskan melakukan karantina melalui Lembar Negara (Staatsblad) Nomor 277 Tahun 1911. Selain untuk kesehatan, kebijakan ini juga bertujuan untuk menjamin jemaah haji tidak membawa paham yang membahayakan eksistensi pihak kolonial di Kepulauan Nusantara.
Bagi jemaah haji asal Pulau Jawa dan sekitar laut Jawa, karantina dilakukan di Pulau Cipir dan Onrust. Kebijakan ini berlaku sejak tahun 1911. Jemaah haji harus tinggal selama empat hingga lima hari sebelum bertemu dengan sanak keluarga yang sudah bersiap menyambut di daerah asal.
Saat tiba di perairan Jawa, jemaah haji pertama kali harus singgah ke Pulau Cipir di Kepulauan Seribu untuk menjalani pemeriksaan kesehatan. Karantina dibagi menjadi dua bagian. Jemaah haji yang dinyatakan sehat dapat melanjutkan pemeriksaan ke Pulau Onrust yang berdekatan dengan Pulau Cipir. Walakin, jemaah yang sakit diwajibkan tinggal di Pulau Cipir agar tidak menularkan ke jemaah lain.
Proses pemeriksaan kesehatan dilakukan secara berlapis. Pemeriksaan kesehatan kembali dilakukan saat jemaah tiba di Pulau Onrust oleh dokter dari Belanda. Setelah dinyatakan sehat, jemaah dapat kembali ke daerah masing-masing.
Di Pulau Sumatera, karantina dilakukan di Pulau Rubiah, Aceh. Sejak dibuka tahun 1920, jemaah haji dari Pulau Sumatera harus menjalani karantina sebelum melanjutkan perjalanan setelah kembali dari Mekkah.
Selama masa karantina, terdapat beberapa hal yang menuai protes dari jemaah. Pertama, adanya kewajiban melepas pakaian saat dilakukan pemeriksaan kesehatan. Selain itu, jemaah haji yang meninggal dimakamkan tanpa memperhatikan arah kiblat. Kondisi ini ditindaklanjuti oleh ulama di Hindia Belanda yang menyatakan haji saat itu tidak wajib bagi perempuan karena perlakuan yang tidak menyenangkan dari pihak pemerintah kolonial (Abdurrahman, 2016).
Meski harus berhadapan dengan penyakit menular dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena perjalanan berbulan-bulan, semangat untuk menunaikan haji tidak pernah lentur pada masa itu. Potret semangat ini salah satunya terekam dalam perjuangan masyarakat Betawi untuk menunaikan ibadah haji.
Secara perlahan, uang dikumpulkan dengan menggunakan bumbung atau tabung bambu selama bertahun-tahun untuk membayar biaya perjalanan ibadah haji. Gadai tanah belum dikenal karena kala itu setiap penduduk masih memiliki lahan yang luas sehingga harga tanah tidak tinggi.
Biaya perjalanan haji dikumpulkan dengan menjual hasil kebun, susu dari peternakan, hingga minyak kelapa. Uang hasil jerih payah inilah yang digunakan sebagai bekal perjalanan haji selama berbulan-bulan (Shahab, 2002).
Bagaimanapun, ibadah haji telah melahirkan semangat perjuangan bagi jemaah di Kepulauan Nusantara saat itu. Itulah alasan jemaah disambut dengan sukacita saat kapal haji kembali ke daerah masing-masing. Sebuah tradisi penyambutan yang hingga kini tidak tergerus sapuan zaman. (LITBANG KOMPAS)