Rindu di Musim Wabah
Kata ibu, pandemi itu sudah menjangkiti 4 orang warga di kampung kelahiranku, semuanya meninggal dengan cepat dan dikubur tanpa kehadiran keluaraga dan tanpa ritual apa-apa.
Keganjilan ini berawal pada suatu sore, ketika aku duduk di dekat jendela. Di luar kaca yang setengah terkuak, guguran daun-daun kers membedaki tanah. Pelan kuangkat mata bermaksud ingin menatap pohon yang sudah enam tahun jadi panjatan empuk anak-anak.
“Astaga!”
Pohon itu menjelma tubuh ayah, lengkap memakai sarung, baju koko dan peci hitam, berlatar kulit tua yang dijejali garis dan gelambir. Jantungku berdenyut kencang. Spontan aku berdiri dan mengulur tangan dari jauh.
“Ayah!” panggilku seketika. Aku seperti tak percaya jika itu ayah. Tapi nyata, itu ayah. Aku mengucek mata dan mengamatinya lagi.
Saat pandanganku digeser ke samping, aku semakin takjub, kursi yang terbuat dari tonggak kayu di bawah pohon itu menjelma tubuh ibu, duduk tersenyum, berkebaya ungu dengan renda motif bunga dari sulaman benang kuning, memakai kerudung sintir hitam dan sandal jepit yang sebagian pautan talinya ada bekas bakar karena pernah putus dan disambung dengan api.
“Lho? Ibu di sini juga!” suaraku lebih nyaring di tengah ketakjuban yang kian dahsyat, antara percaya atau tidak. Aku menatapnya dengan luap rindu yang tertuang.
“Ah! Kenapa jadi absurd seperti ini?”
Kualihkan pandang ke dalam ruangan, yang tampak tetap sama: lemari, kursi, akuarium dan semua jenis perabot menjelma wajah ayah dan ibu. Aku gemetar, antara bahagia dan takut.
Sejenak kuterpejam, mengucek-ngucek mata kembali, sembari membaca salawat dan istigfar. Setelah membuka mata pelan-pelan, barulah kudapati pemandangan yang sesungguhnya seperti semula, ada lemari, kursi, meja dan segala perabot lainnya. Kemudian kutoleh kembali ke luar jendela, pohon kers berdiri kekar, masih menggugurkan daun-daun halus, juga kursi tonggak kayu yang ada di bawahnya masih teronggok bisu, dirayapi barisan semut.
Sedang latar dari pemandangan itu, ada bentang langit yang sedikit berkabut, menampakkan separuh wajah matahari yang membiaskan warna merah kesumba. Warna itu dulu pernah ditunjukkan ibu ketika aku masih di kampung. Kata ibu, warna seperti itu merupakan tanda-tanda adanya petaka.
Rasa takut dan takjubku masih menyisakan jantung yang berdebar, keringat melumasi tubuh yang merinding. Isriku ada di ruang tengah menemani anak-anak belajar, sesekali beringsut ke dapur untuk mengecek masakan di atas kompor.
Aku masih merinding, antara takjub dan takut.
Itu terjadi lima hari setelah ibu menelponku agar tidak mudik dulu, karena pandemi sedang berlangsung, di pintu masuk kabupaten, kecamatan dan desa dijaga ketat oleh keamanan dan tenaga medis. Kata ibu, pandemi itu sudah menjangkiti 4 orang warga di kampung kelahiranku, semuanya meninggal dengan cepat dan dikubur tanpa kehadiran keluaraga dan tanpa ritual apa-apa.
Orang-orang dianjurkan tetap di rumah kecuali apabila ada kepentingan mendesak seperti belanja sembako, tapi harus memakai masker dan menjaga jarak. Ibu menangis di ujung telpon. Sedang di belakangnya, terdengar suara serak ayah, menyampaikan nasihat sembari batuk-batuk, sengal napasnya terdengar. Lalu ayah turut menangis juga. Aku mematung, sambil menelan ludah getir. Di ujung telpon, dua orangtuaku berbicara dengan isak. Aku bisa menyimpulkan bahwa pandemi benar-benar mengancam nyawa setiap orang, sebagaimana yang diberitakan secara luas di banyak kanal televisi.
“Lebaran kemarin kamu sudah gagal mudik, Nak!. Aku sangat merindukan kamu, istri dan dua anakmu itu.”
“Sama, saya juga sangat merindukan ibu dan ayah. Tahun ini saya memang berencana mudik, Bu.”
“Tapi keadaan tidak memungkinkan, Nak. Lebih baik kamu jangan mudik dulu. Kita tahan rindu ini demi kebaikan kita juga.”
Sama, saya juga sangat merindukan ibu dan ayah. Tahun ini saya memang berencana mudik, Bu.
“Tapi, Bu..”
“Kita tak boleh bertemu, Nak!”
Tangis ibu dan ayah di ujung telpon membuatku tertegun lama. Air mataku perlahan menitik, dadaku renyuh. Aku terisak. Dalam tangis yang sama, aku dan kedua orangtuaku saat itu seperti tengah mengemas kerinduan dalam petak dada yang gersang.
“Penyakit ayah bagaimana, Bu?”
Ibu tidak langsung menjawab. Tangisnya nyaris menyerupai bunyi curah hujan. biasanya jika menangis sedemikian kerasnya, ibu akan menutup wajahnya dengan ujung kerudung yang ia pakai.
“Kamu tidak usah menanyakan penyakit ayahmu. Semua baik-baik saja.”
Saat itu juga sambungan telpon kami tiba-tiba terputus. Aku selalu gagal saat berusaha kembali menghubungi ibu. Ketika HP kuabai dengan maksud menunggu panggilan balik dari ibu, ternyata juga sia-sia. Berhari-hari telpon ibu tidak bisa kuhubungi, kalimat terakhir yang menyatakan ayah baik-baik saja bagiku agak mustahil, sebab seminggu sebelum itu, penyakit ayah kambuh dan harus dibawa ke rumah sakit.
#
Keluargaku yang terbangun di tengah kota ini sebenarnya berawal dari rantau pertamaku—empat belas tahun silam—yang diniatkan mencari nafkah untuk mengobati ayah. Saat itu aku masih remaja. Ayah yang semula jadi tulang punggung keluarga terpaksa harus menjalani hari-harinya dengan berbaring lemah karena serangan jantung. Itu terjadi setelah suatu hari ayah pingsan di sebuah pasar tradisonal saat ia mengayuh becak.
Ayah dikerumuni banyak orang, digotong dengan iringan tangis. Aku dan ibu hampir pingsan juga. Kami menangis histeris. Lalu ayah dirawat dengan biaya semampu kami hingga sepetak kebun kelapa satu-satunya harta kami lenyap, tapi tak membuahkan hasil sedikit pun bagi kesehatan ayah. Keadaan itu membuatku berkeinginan besar merantau untuk bekerja demi keluarga dan demi ayah. Berminggu-minggu lamanya ibu tidak mengizinkan, aku terus berusaha agar restu ibu segera kudapat. Setiap hari aku pasti datang ke kamarnya untuk pamit, hingga suatu saat, setelah aku terus memaksa, akhirnya ibu mengizinkan meski harus dengan tangis dan kata-kata yang menggetarkan jiwa.
Tahun 1995 aku resmi merantau ke kota ini, bekerja sebagai penjaga warung kelontong milik salah satu kerabat. Dua tahun setelah itu aku menikah dengan istri setelah enam bulan berkenalan; ia sebagai penjual es keliling dan aku salah satu pelanggannya. Kami menikah—selain karena cinta—juga karena disatukan oleh nasib yang sama; kami sama-sama perantau yang berjuang keras di tanah orang. Istriku rela berpisah dengan keluarganya di Riau juga demi mencari nafkah di kota ini.
Setelah menikah, kami mengontrak rumah ini. Di sini kami membuka usaha baru semi mandiri yang murni hanya dilakukan aku dan istri. Di depan rumah, kami berjualan bakso, nasi dan soto. Pernikahan kami berjalan lancar dan penuh kebahagiaan. Kami pun dikaruniai dua orang anak laki-laki. Sebagaimana keluarga perantau pada umumnya, kami terbiasa mudik saat lebaran. Kadang mudik ke Riau, kadang mudik ke Madura. Inti dari aktivitas mudik tersebut adalah untuk bersilaturrahmi dengan keluarga sekaligus demi memecah rasa rindu.
“Bapak! Eh bapak ada di sini?” tiba-tiba istriku berdiri di depan pintu, membawa nampan berisi secangkir kopi dan sepiring goreng pisang. Ia tercengang melihatku, sepasang matanya yang lembut mengamati tubuhku dari kaki hingga kepala. Tapi kemudian bibirnya megembang, perlahan ia tersenyum. Wajahnya menyiratkan gurat kebahagiaan. Ia menaruh nampan di meja, lalu berlari ke arahku.
“Bapaaaak!”
Ia memeluk tubuhku erat sekali. Kepalanya ia benamkan di dada membuat wajahnya menatap ke samping. Giliran aku yang keheranan, kenapa istriku bisa seperti ini.
“Sudah lama aku merindukanmu, Pak!. Kenapa bapak datang sendirian ke sini? Ibu sedang apa?. O iya, aku ingin makan bersama bapak, seperti dulu, ketika aku masih kecil. Bapaaaak! Kenapa bapak hanya diam? Ayo bicara, Pak. Aku sudah merindukan suaramu.”
Istriku mengguncang-guncang tubuhku, memaksa agar aku bicara.
Sudah lama aku merindukanmu, Pak!. Kenapa bapak datang sendirian ke sini? Ibu sedang apa?. O iya, aku ingin makan bersama bapak, seperti dulu, ketika aku masih kecil. Bapaaaak! Kenapa bapak hanya diam? Ayo bicara, Pak. Aku sudah merindukan suaramu.
“Ma! Coba amati baik-baik. Siapa aku ini sebenarnya,” telapak tanganku pelan kulayangkan dengan lembut di permukaan rambutnya yang harum. Ia lalu mengangkat wajah. Sepasang matanya lekat menatap wajahku dengan sorot yang demikian teliti.
“Lho? Kok kamu, Mas!”
Ia melepas pelukan dan sedikit tampak malu. Aku tersenyum, sambil menyentuh bahunya dengan lembut.
“Kerinduan yang mendalam memang membuat apa yang kita lihat bisa berubah, mengikuti suara kerinduan yang terperam di dada.”
Suara pelanku lalu diganti senyap saat kami saling menatap. Sejenak kami membisu. Kemudian terdengar suara dua anak kami yang bergurau di halaman. Juga ada bunyi siaran telivisi di kamar tengah, masih dengan berita wabah.
“Entahlah, Mas!. Jujur sejak ada pelarangan untuk mudik, kerinduanku membuat segala apa yang kulihat kadang berubah menjadi wajah bapak atau ibu.”
“Aku juga sering mengalami hal itu, tapi selama ini masih merahasiakannya kepadamu.”
“Jadi, kita sama-sama dilanda rasa rindu kepada keluarga?”
“Iya. Cuma kita harus menahan diri untuk tidak mudik, itu juga demi keselamatan keluarga.”
“Nanti setelah wabah berlalu sebaiknya kita mudik ke Riau saja ya, Mas.”
“Ke Madura saja, Ma.”
“Ke Riau, Mas.”
“Ke Madura.”
#
Aku sangat bahagia ketika ibu bisa kembali menelponku. Ia mengabari bahwa hari-hari sebelumnya HPnya rusak dan baru diperbaiki. Itulah sebabnya kontak kami terputus. Kami pun berbincang banyak hal tentang keadaan keluarga serta kabar wabah di tempat kami masing-masing. Kami saling mengingatkan dan menyadarkan bahwa kerinduan dahsyat yang ada di dada harus disimpan dulu.
“Kabar ayah bagaimana, Bu?”
Seperti biasa, ibu tidak langsung menjawab. Jantungku berdebar dalam cekam hening. Samar-samar isak ibu mulai terdengar.
“Penyakit ayahmu semakin parah, Nak. Dia hanya makan lima sendok bubur dan dua tegukan air putih setiap hari,” suara ibu gemetar, membuat irisan pedih dalam batin. Aku terpukul, air mataku melembahi pipi. Beberapa saat kemudian kami pun menyudahi perbincangan masih dengan isak tangis.
Sosok ayah yang sakit parah semakin menancap dalam dada. Ingatan itu membuatku terus melinangkan air mata. Dan kerinduanku membuat benda-benda yang kulihat menjelma sosok ayah. Kursi, meja, pilar, lemari, tembok, televisi dan perabot lainnya kulihat seperti ayah.
Lalu suatu hari, sesosok perempuan yang wajahnya mirip ayah berlari tergesa mendekatiku. Gelagatnya terlihat panik. Ia menjulurkan HP kepadaku.
“Ayah!” aku gemetar menyapanya.
“Aku istrimu, Mas. Coba baca ini, ada SMS dari ibu yang mengabarkan tentang ayah.”
Kuterima HP itu dengan tangan gemetar. Mata nanarku pelan-pelan membaca SMS ibu yang tertera pendek di layar. Tidak, ayah tidak mungkin mati. Dia ada di sini, tampak pada setiap benda yang kulihat.
Rumah Ibel, 2020
***
A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media Nasional dan lokal antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Bali Post, basabasi.co, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Riau Pos, Banjarmasin Post, Haluan Padang , Minggu Pagi, Suara NTB, Koran Merapi, Radar Surabaya, Majalah Sagang, Majalah Bong-ang, Radar Banyuwangi, Radar Madura Jawa Pos Group, Buletin Jejak dan beberapa media on line. Juara II Lomba Cipta Cerpen ICLaw Pen Award 2019. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472. email: waritsrovi@gmail.com.