Sebaran tes Covid-19 di Indonesia masih belum merata. Data menunjukkan 46 persen orang yang dites terdapat di Jakarta.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan jumlah pemeriksaan Covid-19 di Indonesia masih jauh dari kebutuhan minimal yang disyaratkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Sebaran tes juga belum merata karena 46 persen orang yang dites terdapat di Jakarta.
Data Kementerian Kesehatan, pada Sabtu (1/8) dilakukan pemeriksaan terhadap 9.355 orang dan menemukan 1.560 yang positif Covid-19. Dengan tambahan ini, total orang yang diperiksa 875.894 orang dan 109.936 di antaranya positif sehingga rasio kepositifan secara nasional sebesar 12,6 persen.
Sementara data dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pada hari yang sama dilakukan pemeriksaan terhadap 3.002 orang dan menemukan 368 kasus positif. Secara akumulatitif, Jakarta telah memeriksa 403.527 orang dan 21.575 di antaranya positif atau rasio kepositifan 5,3 persen.
Berdasarkan data ini, jumlah orang yang diperiksa di Jakarta mencapai 46 persen dari total orang yang telah diperiksa secara nasional. Padahal, jumlah kasus positif yang ditemukan di Jakarta hanya 19,6 persen dibandingkan dengan total kasus nasional. Ini menunjukkan adanya ketimpangan tes yang sangat besar di Indonesia.
”Jumlah tes di Jakarta sudah berlipat dari kebutuhan minimal. Beberapa daerah lain, seperti Sumatera Barat, Yogayakarta, Bali, dan Kalimantan Timur, dan Papua, juga sudah. Sulawesi Utara dan Gorontalo hampir memenuhi," kata Agus Wibowo, Direktur Pengembangan Srategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam diskusi daring yang diselenggarakan Laporcovid19.org.
Sesuai syarat minimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah tes minimal di tiap daerah harusnya 1 tes per 1.000 penduduk per minggu. Namun, Agus mengakui, perhitungan daerah yang sudah memenuhi jumlah tes tersebut baru dihitung dari jumlah spesimen yang dites, bukan orang yang dites. ”Datanya ada di Kemenkes, kami belum punya kalau orang yang dites di tiap daerah,” katanya,
Padahal, jumlah spesimen yang dites jauh lebih banyak karena satu orang bisa diambil sampel hingga dua kali atau lebih. Secara akumulatif, jumlah spesimen yang diperiksa sebanyak 1,5 juta atau hampir dua kali lipat dari jumlah orang yang diperiksa.
Belum sesuai target
”Sesuai perintah Presiden Joko Widodo, kita ditarget untuk menaikkan pemeriksaan dari sebelumnya 10.000 per hari, lalu menjadi 20.000, dan sekarang 30.000 per hari. Jumlah tes cenderung naik walaupun tiap hari libur cenderung turun,” katanya.
Agus menambahkan, Indonesia minimal harus memeriksa 38.000 orang per hari. ”Kami sudah menentukan target minimal jumlah tes di tiap daerah sesuai jumlah penduduknya,sehingga sekarang mestinya mereka sudah tahu berapa kebutuhannya,” katanya.
Hana Krismawati, peneliti dari Litbang Kesehatan Papua, mengatakan, para pekerja laboratorium telah bekerja keras untuk menyelesaikan pemeriksaan setiap harinya. Semua penelitian dan kegiatan lain juga ditiadakan demi menyelesaikan pemeriksaan.
Walaupun belakangan bertambah berat karena sampel yang datang bisa 500 per hari.
”Kami kerja keras untuk penuhi jumlah tes minimal di Papua. Setiap hari rata-rata kami menganalisis 200-300 sampel. Kami mengerjakan semuanya secara manual dengan target semua sampel yang datang selesai diperiksa hari itu juga walaupun belakangan bertambah berat karena sampel yang datang bisa 500 per hari,” ucapnya.
Menurut Hana, selain kendala keterbatasan peralatan, sumber daya manusia dan alat perlindungan diri (APD), pemeriksaan di daerah juga sering terkendala dengan reagen.
”Saat ini reagen sudah ada pasokan dari BNPB sekalipun ada yang tidak sesuai karena hasilnya bisa negatif palsu sampai 70 persen sehingga sebagian dikembalikan. Namun, kendala besar yang menyebabkan lab kami sempat menghentikan pemeriksaan minggu lalu karena bahan habis pakai, seperti tabung sudah menipis,” katanya.
Ungke Antonjaya, praktisi laboratorium molekuler diagnostik dari DKI Jakarta, mengatakan, selain kalibrasi peralatan, reagen kit harus divalidasi dengan baik untuk menghindari terjadi kesalahan hasil analisis. ”Apalagi kalau reagen kit ganti-ganti. Bisa negatif atau positif palsu dan itu imbasnya ke pasien,” katanya.
Dia juga mengingatkan, pemerintah perlu mempersiapkan kebutuhan tes hingga beberapa bulan ke depan, termasuk mengantisipasi kerusakan peralatan yang terus dipakai dan juga tenaga laboran yang terforsir. ”Perlu menjembatani juga ketersediaan alat atau bahan di tiap daerah yang berbeda. Selain fasilitas dan peralatan, termasuk bahan yang habis pakai, juga harus dipikirkan insentif untuk tenaga lab yang telah bekerja keras dari Aceh sampai Papua," katanya.
Iqbal Elyasar, epidemiolog Laporcovid-19.org, mengatakan, tes menjadi kunci penting bagi pengendalian Covid-19. Selain sebarannya ke daerah, yang harus didorong juga pelacakan kasus yang baik.
”Saat ini kita masih melihat banyak kendala, selain kapasitas yang berbeda, belum semua kabupaten/kota menyadari pentingnya tes. Masalah lain, ada juga masyarakat menolak diambil spesimennya,” kata Iqbal.