Valentina Sastrodihardjo, Guru di Kolong Jembatan Rawamangun
Valentina Sastrodihardjo gigih mengajar anak-anak jalanan, pengemis, dan pemulung meski harus di kolong jembatan. Ia yakin lewat pendidikan anak-anak itu akan membebaskan diri dari jerat kemiskinan.
Selama satu dekade terakhir, Valentina Sastrodihardjo (39) terjun mendidik anak-anak jalanan, pengemis, dan pemulung yang tinggal di bawah kolong jembatan. Ia amat yakin, pendidikan akan membebaskan mereka dari kemiskinan.
Minggu (26/7/2020) siang, matahari bersinar terik. Valentina menempuh perjalanan selama dua jam dengan menggunakan sepeda motor dari rumahnya di daerah Petukangan Utara, Jakarta Selatan, menuju Rawamangun, Jakarta Timur. Di tempat itu, anak-anak sudah menunggu di bawah bale (gazebo) sederhana dari bambu.
Sebagian anak-anak itu tinggal di lahan permukiman liar. Orangtua mereka bekerja sebagai pengemudi ojek daring, sopir bajaj, pemulung, petugas kebersihan, atau pedagang kaki lima. Setelah menyapa orangtua dan anak-anak, Valentina mengeluarkan kartu-kartu dengan huruf dan angka untuk mengajari anak-anak membaca dan berhitung.
Suasana belajar terasa akrab dan hangat. Ia kadang tertawa melihat polah anak-anak yang polos dan spontan. Ketika ada anak yang kesulitan membaca, dengan sabar Valentina mengajari anak-anak mengeja huruf demi huruf yang tertulis pada kartu.
Valentina tidak menyangka perjalanannya mendidik anak-anak kurang mampu sudah berjalan selama sepuluh tahun. “Tahun depan, usia aku genap 40 tahun. Ini menjadi kado istimewa untuk diriku sendiri. Life begins at 40,” katanya diiringi tawa.
Sebelum terjun di dunia pendidikan, ia bekerja sebagai sekretaris. Ia menamatkan pendidikan D3 di Santa Maria Marsudirini, Yogyakarta. Pada 2008, ia melanjutkan kuliah di Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Universitas Negeri Jakarta. Ia terjun ke dunia pendidikan karena terinspirasi oleh ibunya Theresia Samidah (68) yang bekerja sebagai guru. Ia juga terkesan melihat banyak murid yang sudah dewasa masih ingat dengan guru mereka ketika di bangku sekolah.
Aku lihat seharusnya mereka tidak di jalanan, tetapi di bangku sekolah. Di situlah, aku mulai terpanggil untuk mendidik mereka
Dalam perjalanan menuju kampus, ia sering melihat anak-anak jalanan, pemulung, dan pengamen. “Aku lihat seharusnya mereka tidak di jalanan, tetapi di bangku sekolah. Di situlah, aku mulai terpanggil untuk mendidik mereka," katanya.
Selama empat bulan, ia melakukan riset sederhana untuk mengetahui kondisi pendidikan anak-anak itu. Ia juga mendekati orangtua dan kelompok masyarakat setempat. Bersama tiga kawannya, pada 2010 Valentina mendirikan komunitas Care For Education untuk anak-anak jalanan, yang kemudian menjadi cikal bakal komunitas Rumah Belajar Pelangi Nusantara.
Setiap akhir pekan, ia dan kawan-kawan mengajak anak-anak kurang mampu bernyanyi dan belajar. Jumlah anak-anak pernah mencapai 150 orang yang terdiri dari siswa TK hingga SMP. Selain belajar mata pelajaran sekolah, ia melatih anak-anak agar untuk mengolah barang-barang bekas menjadi benda dengan nilai guna lebih.
Menurutnya, dengan mengolah barang bekas anak-anak bisa belajar melihat peluang di sekitar mereka dan menumbuhkan semangat wirausaha. “Saya percaya dengan pendidikan anak-anak ini bisa menjadi majikan untuk diri sendiri. Mereka tidak akan menjalani hidup tergantung dari orang lain,” ujarnya.
Kolong jembatan
Setelah tempat belajarnya digusur beberapa kali, Valentina menyewa lahan untuk belajar anak-anak. Ia membayar Rp 200.000 per bulan untuk sepetak tanah kosong. Tetapi, lagi-lagi tempat belajarnya tergusur. Pada 2013, Valentina memilih mendidik anak-anak di di bawah kolong jembatan Rawamangun, Jakarta.
Mendidik anak-anak di bawah kolong jembatan berarti Valent harus beradu dengan bisingnya suara knalpot kendaraan, polusi udara, serta udara yang kotor. Ia tidak menyerah dan terus menjalankan aktivitasnya. Kini, aktivitas belajar di kolong jembatan itu terhenti sementara karena pandemi Covid-19. Tetapi, semangat Valentina tidak padam. Setiap Sabtu dan Minggu ia mendatangi anak-anak di sekitar pemukiman rumah warga untuk belajar bersama.
Pandemi bukanlah tantangan pertama yang dihadapi Valentina. Pada 2005, ia pernah diangkut petugas Satpol PP dalam razia anak-anak jalanan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Ia juga berhadapan dengan problem finansial karena harus mendanai kegiatannya dengan merogoh kocek pribadi.
Aku setiap hari pulang malam karena kuliah. Kemudian, setiap akhir pekan main dengan anak-anak jalanan. Selama bertahun-tahun, aku tidak bicara dengan orangtua
Selain itu, ia pernah berkonflik dengan orangtua dan keluarga yang belum sepenuhnya memahami aktivitas sosial ini. “Aku setiap hari pulang malam karena kuliah. Kemudian, setiap akhir pekan main dengan anak-anak jalanan. Selama bertahun-tahun, aku tidak bicara dengan orangtua,” jelasnya.
Dalam perjalanan sunyi ini, Valentina punya panggilan kuat untuk mendidik anak-anak yang kurang mampu. Menurutnya, melalui pendidikan anak-anak bisa bebas dari kemiskinan. Pendidikan juga menjadi pintu masuk untuk agar anak-anak bisa hidup toleran di tengah keberagaman masyarakat.
Apabila semula ia hanya mendidik anak-anak terkait pelajaran sekolah, ia kini aktif mengajak anak-anak untuk berkunjung ke rumah ibadah dari berbagai agama yang ada di Jakarta. Melalui kunjungan ini, ia mengajarkan makna toleransi dan keberagaman masyarakat seperti memandang keindahan pelangi, nama komunitasnya.
Selain itu, ia aktif mendatangi sekolah-sekolah di pinggiran Jakarta. Ia memotret kondisi sekolah itu dan mencari tahu kendala yang dihadapi oleh guru dan murid di sana. Setelah itu, ia akan menyusun proposal dan mengajukan proposal pembangunan sekolah kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dikenalnya. Setidaknya Valentina sudah 10 kali menjadi jembatan pembangunan sekolah di daerah-daerah.
“Saya melakukan ini karena menyadari bahwa pendidikan itu tanggung jawab kita bersama, bukan hanya pemerintah,” jelas perempuan bernama lengkap Valentina Palmarini Nugrahaningsih Sastrodihardjo itu.
Ia bertekad akan terus mengabdikan diri untuk pendidikan anak-anak jalanan, meski itu berarti ia harus merelakan uang pribadi dan waktunya sehari-hari. Baginya, apa yang ia jalani memberinya kebahagiaan. "Kelak kalau anak-anak jalanan ini sukses mereka akan ingat proses yang sudah dilalui ketika masih kecil, dan mengingat saya juga sebagai guru yang pernah mendidik mereka. Itu menjadi kebahagiaan terbesar saya,” katanya.
Valentina Palmarini Nugrahaningsih
Lahir: Jakarta, 4 April 1982
Pendidikan:
- D3 Akademi Sekretari dan Manajemen, Santa Maria Yogyakarta(2000–2003)
- S1 Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Negeri Jakarta (2008-2013)
- S2 Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta (2016–2020)
- STF Driyarkara (2012–2014)
Penghargaan:
- Nominasi 3 besar DKI Jakarta “Indonesia Menginspirasi Institute” 2012
- Nominasi 3 besar “The Community Heroes” Sampoerna Fondation 2012
- The Best Young Community 2012 “Jakarta Six Seconds International EQ Conference”