Adaptasi Jaring Artropoda
Hidup di tengah normal baru pandemi Covid-19 bakal membutuhkan penyesuaian atau adaptasi. Karya seni Instalasi Jaring Artropoda menawarkan salah satu kiat adaptasi, yakni hidup seperti laba-laba dengan jaring-jaringnya.
Hidup di tengah normal baru pandemi Covid-19 bakal membutuhkan penyesuaian atau adaptasi. Karya seni Instalasi Jaring Artropoda menawarkan salah satu kiat adaptasi, yakni hidup seperti laba-laba dengan jaring-jaringnya.
Sore itu pematung yang juga pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Lutse Lambert Daniel Morin (44), masih disibukkan di pelataran Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Ia masih merapikan beberapa replika artropoda atau laba-laba beraneka ukuran terbuat dari batang-batang besi dan perkakas-perkakas bekas.
”Ini tinggal merapikan saja. Instalasi seni ini untuk merespons kondisi normal baru pandemi Covid-19 untuk bisa hidup seperti laba-laba dengan jaring-jaringnya,” ujar Lutse ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (29/7/2020) sore.
Kebetulan hari itu sudah memasuki masa kunjungan uji coba operasional terbatas hingga keesokan harinya. Kemudian Pameran Seni Luar Ruang dan Virtual Jaring Artropoda ini dibuka untuk publik antara 1 Agustus-28 September 2020.
Pameran ini sekaligus menandai dibukanya kembali Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta setelah ditutup sekitar empat bulan lamanya pada masa pandemi Covid-19. Beberapa kriteria pengunjung diterapkan sesuai protokol kesehatan untuk normal baru di masa pandemi.
Dalam sehari dibatasi kunjungan maksimal 220 orang antara pukul 09.00 dan 15.00. Batas kunjungan hanya satu jam. Dalam satu jam hanya 55 pengunjung yang bisa masuk.
Untuk menghindari antrean, disediakan narahubung agar pengunjung terlebih dahulu bisa mendaftar dan memperoleh jadwal. Ada ketentuan bagi pengunjung dari luar Yogyakarta, terutama dari wilayah zona merah Covid-19, agar membawa keterangan sehat dari instansi kesehatan yang berwenang.
Jaring Artropoda karya Lutse menjadi inovasi artistik di lembaga permuseuman. Bentuk laba-laba dibuat dengan berbagai ukuran dan ditempatkan di luar ruang museum.
Ada yang disangkutkan ke pepohonan, dinding, atau lantai pelataran museum. Ada di sela-sela koleksi museum untuk luar ruang, seperti meriam di masa kolonial Hindia Belanda dulu. Ada pula yang ditempatkan di kolam.
Laba-laba terbesar memiliki dimensi 8 meter kali 2,5 meter dengan tinggi mencapai 3,5 meter. Bobotnya mencapai sekitar 50 kilogram.
”Itu saya rancang berdiri kokoh. Bahkan, kuat untuk dinaiki orang,” kata Lutse.
Laba-laba ukuran lain di bawahnya hingga sampai yang terkecil dan mencapai jumlah sekitar 70 karya. Bahan yang digunakan untuk kaki laba-laba besar berupa pipa-pipa besi.
Sementara kaki laba-laba kecil lainnya menggunakan besi ulir masif yang kerap digunakan untuk konstruksi bangunan beton. Bagian perut laba-laba terbuat dari beragam perkakas bekas terbuat dari besi, seperti bekas tabung gas freon atau wajan.
Kemudian bagian kepala laba-laba tersusun dari bermacam perkakas, seperti gir sepeda atau sepeda motor, elemen-elemen blok mesin bekas sepeda motor, dan lampu-lampu bekas untuk mata laba-laba.
”Berburu bahan-bahan itu dari para penjual rongsokan yang tersebar di kota Yogyakarta,” ujar Lutse.
Karya-karya instalasi tersebut kemudian dicat dengan warna merah. Kurator pameran Mikke Susanto mengaitkan laba-laba merah itu dengan semangat hari kemerdekaan yang diperingati pada Agustus ini.
Fobia laba-laba
Laba-laba hidup dengan jaring-jaringnya. Ini inspirasi yang diperoleh Lutse untuk memaknai normal baru di masa pandemi Covid-19 ini.
Ternyata inspirasi itu datang bukan dari hasil pemikiran atau perenungan sesaat. Pria kelahiran Yogyakarta ini ternyata sejak kecil mengalami fobia terhadap laba-laba.
Ia menceritakan, di masa kecil ketika melihat ada laba-laba di salah satu ruang di rumahnya, id langsung berkeringat dingin. Untuk keesokan harinya, Lutse takut untuk berada di ruang itu kembali.
Apalagi suatu ketika Lutse pernah tertempel laba-laba, bukan kepalang rasa takutnya. Rasa fobia terhadap laba-laba itu terus mengusik di benaknya.
Ketika rasa fobia itu tidak bisa ditinggalkan, Lutse justru ingin makin mendekat. Sejak masa remaja, Lutse memutuskan lebih dekat dengan mempelajari anatomi laba-laba.
Hal itu terbawa sampai duduk di bangku kuliah Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Hingga akhirnya Lutse menjadi dosen di situ. Ia mempelajari anatomi laba-laba sebagai hewan berbuku (artropoda) tanpa sayap dengan empat pasang kaki, kepala, dan perut. Bagian kepala memiliki keunikan tersendiri.
Di situ ada mata dengan lensa tunggal. Beberapa lainnya dengan lensa majemuk. Kemudian laba-laba tidak memiliki mulut untuk mengunyah mangsanya. Laba-laba akan menyuntikkan bisa atau racun ke tubuh mangsa lewat taringnya. Bisa atau racun itu mengandung enzim cerna yang akan melumat isi tubuh mangsa menjadi cairan. Laba- laba itu kemudian menyedot cairan tersebut. Tubuh mangsa akhirnya mengering.
Laba-laba itu hewan predator. Tentu bukan dari sini inspirasi yang dimaksudkan Lutse untuk hidup di masa normal baru pandemi Covid-19. Lutse memetik inspirasinya dari kemampuan laba- laba menciptakan jaring-jaring untuk kelangsungan hidupnya. Laba-laba itu bisa mengeluarkan seperti serat sutra kecil, lengket, dan kuat. Kemudian dirajut menjadi jaring-jaring untuk perangkap mangsa.
”Seperti dalam bermedia sosial di masa normal baru pandemi, hendaknya kita bisa seperti laba-laba dengan jaring-jaringnya. Dengan jaringan dunia maya, kita bisa melangsungkan hidup di masa pandemi,” kata Lutse.
Jaring-jaring yang dibuat laba-laba dianalogikan sebagai jaringan internet dunia maya. Laba-laba membuat jaring-jaring demi kelangsungan hidupnya.
Demikian pula jaringan dunia maya menjadi pilihan kita untuk melangsungkan hidup di tengah cekaman virus korona jenis baru atau Covid-19.
Seni dan sejarah
Pameran Jaring Artropoda digelar di luar ruang Museum Benteng Vredeburg bukan tiada maksud. Kurator pameran Mikke Susanto menyebutnya sebagai upaya mempersatukan antara seni dan sejarah.
”Ini sentuhan berbeda sekaligus melestarikan heritage atau warisan sejarah. Foto-foto sejarah perjuangan kemerdekaan antara 1945 dan 1950 beradu dengan karya instalasi pematung Lutse,” kata Mikke, yang juga pengajar ISI Yogyakarta.
Pameran ini sebagai terobosan baru dengan pemodelan tidak tunggal. Di situ ada kolaborasi yang sekaligus menghadirkan inovasi artistik tersendiri.
Ada dua ruang dan dua bidang kajian secara bersamaan. Akhirnya tercipta dinamika. Pameran seni dan sejarah dapat dinikmati publik secara bersamaan.
Selain instalasi laba-laba karya Lutse, pihak museum menghadirkan diorama, fotografi, dan memorabilia peristiwa bersejarah di masa revolusi fisik kemerdekaan. Khusus untuk koleksi museum ini selain disajikan secara fisik, juga disajikan secara virtual.
”Pemodelan pameran ini menjadi variasi baru masyarakat permuseuman, publik seni, sejarawan, ataupun penggerak budaya lainnya,” kata Mikke.
Lutse selain aktif mengajar, juga di Asosiasi Pematung Indonesia (API), serta aktif pula berpameran, baik di dalam maupun di luar negeri, seperti di Budapest (Hongaria), Seoul (Korea Selatan), dan Bangkok (Thailand). Karya instalasi laba-laba merah sebelumnya pernah disajikan di ajang International Cultural Centre (ICC) di Pasuruan, Jawa Timur.
Kemudian pernah di galeri kampus ISI Yogyakarta dan Seoul, Korea Selatan. Belum lama ini, instalasi laba-laba merah Lutse untuk panggung konser musik di ruang rekreasi Deloano Glamping, Purworejo, Jawa Tengah.
Filosofi dan simbolisasi laba-laba cukup relevan dan kontekstual. Kakinya yang panjang memiliki simbolisasi di saat seperti sekarang haruslah memiliki kaki panjang untuk jangkauan yang lebih luas.
Laba-laba dengan kaki panjangnya itu bisa merambah tanah, air, dan juga dengan memanfaatkan serat proteinnya yang kuat bisa bergelantungan di udara.
Sebuah amsal simbolisasi dan adaptasi yang tidak pernah dimiliki makhluk lain.