Dalam Kepungan Awan Putih Bukit Barisan
Tak pernah terbayang sebelumnya, awan putih di atas Bukit Barisan, Sumatera, ternyata menakutkan. Kepungan awan itu menghentikan perjalanan helikopter penyalur bantuan korban banjir bandang di Kabupaten Mandailing Natal.
Meliput bencana alam selalu menantang. Segala kemungkinan bisa terjadi sewaktu-waktu. Ada kesulitan dan kemudahan pada situasi apa pun. Satu hal yang mesti disiapkan sejak awal, kesiapan menghadapi semua itu.
Pengalaman wartawan Kompas, Andy Riza Hidayat, waktu itu terjadi saat meliput banjir bandang di sejumlah desa di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara (Sumut). Informasi awal yang didapatkan pada Selasa (15/9/2009) pagi, banjir merendam 6 desa, menewaskan 15 warga, dan 25 orang lain dikabarkan hilang. Paling tidak, sekitar 2.200 keluarga terdampak banjir.
Mungkin korban banjir lebih banyak yang belum dilaporkan, proses pertolongan mesti segera dilakukan. Bayangan saya, liputan semacam ini tidak mungkin dengan telepon saja.
Baca juga: Wartawan ”Kemarin Sore” di Tengah Deraan Krisis Ekonomi
Saat itu bulan Ramadhan, menjelang perayaan Idul Fitri 1430 Hijriah. Betapa repotnya orang-orang itu menyelamatkan diri saat mereka hendak menyongsong Lebaran. Kepala Biro Kompas wilayah Sumatera Bagian Utara, ketika itu, Andreas Maryoto, meminta saya ke lokasi. Sejenak saya menarik napas, bagaimana menempuh perjalanan 550 kilometer (km) dari Kota Medan, tempat kami berkantor, dengan cepat.
Kota Medan berada di pesisir timur Sumut, sedangkan Kabupaten Mandailing Natal ada di pojok perbatasan Sumatera Barat dan Sumut. Lokasi ini sulit dijangkau dengan sekali jalan, perlu singgah di tengah perjalanan dan melanjutkan perjalanan lagi.
Kepala Biro meminta Suparmin, atau Mas Parmin, karyawan bagian rumah tangga Kompas di Medan, menemani perjalanan saya. Tanpa bantuan Mas Parmin, perjalanan ke sana tidak bisa dijangkau dengan cepat. Selama di jalan pula, saya harus memonitor menghubungi narasumber dan membuat berita kelanjutannya.
Baca juga: Masuk ”Zona Rawan” untuk Melihat Bekas Tambang
Kurang dari 48 jam, dengan sekali singgah, kami sampai di Singkuang, lokasi ”terdekat” yang bisa dijangkau kendaraan. Dari titik ini, ada beberapa cara untuk sampai ke lokasi bencana. Cara pertama melalui jalur sungai dengan menumpang perahu motor Tim SAR. Namun, cara ini memakan waktu sekitar empat jam (sekali jalan) dari Singkuang. Tantangannya, perahu harus dapat melawan arus sungai yang kadang dilintasi gelondongan kayu dari hulu.
Cara kedua, melalui jalur darat dengan melintasi hutan setempat. Namun, cara ini hampir mustahil karena belum ada jalan tembus ke lokasi. Jika pun menggunakan mobil berpenggerak ganda, tetap saja susah dan memakan waktu lebih panjang.
Cara ketiga, menumpang helikopter milik TNI yang dioperasikan mengangkut bantuan. Cara ini dapat dengan cepat menuju lokasi untuk melihat gambaran bencana. Tantangannya, kursi yang tersedia dalam helikopter terbatas. Tidak mungkin semua jurnalis ikut di dalamnya, sedangkan bantuan mendesak disalurkan.
Keberuntungan
Saya berusaha melakukan apa yang bisa dilakukan di posko bantuan itu. Selain mencari peluang yang memungkinkan, saya mengerahkan kemampuan lobi ke prajurit hingga komandan TNI, Tim SAR, dan orang-orang kunci di sana. Saya berusaha membuka obrolan secair mungkin. Kami sama-sama menjalankan tugas, sudah pasti tugas kami masing-masing harus lancar. Semua jurnalis di posko bantuan melakukan hal serupa. Saya yakin, dengan niat baik, akan ada jalan di tengah kesulitan meliput peristiwa ini.
Baca juga: Menonton Drama Penyelundupan BBM di Cilincing
Singkuang, lokasi yang jarang disebut dalam pemberitaan, memang sangat sepi. Lokasinya di tepi pesisir barat Pulau Sumatera. Waktu itu, saya memutuskan untuk menginap di Kota Natal. Penginapan saya sebenarnya tidak standar disebut penginapan, tetapi lebih tepat disebut rumah makan yang menyediakan tempat tidur. Perlu 1,5 jam untuk menjangkau Singkuang dari Kota Natal.
Liputan ketika itu terasa berat karena saat itu sedang bulan puasa. Tidak banyak makanan yang tersedia karena memang sebagian orang meski di posko bantuan tetap menjalankan puasa. Apakah ada rumah makan? Jangan ditanya, tidak ada tempat makan yang buka di siang hari di Singkuang. Jika malam, warung yang buka sangat terbatas.
Saat di posko bantuan, begitu magrib tiba, kami merapat ke rumah warga yang sedang memasak makanan. Di sana saya membeli makanan dengan tarif seiklasnya. Pada situasi ini, betapa pentingnya perbekalan makanan kering yang disimpan di dalam tas.
Di hari kedua saya di sana, tepatnya sore sekitar pukul 15.00, salah satu prajurit TNI menghampiri saya. ”Mas dari Kompas. Mari ikut saya,” katanya. Setelah itu saya sampai ke tenda semacam pimpinan operasi penanganan bantuan. Saya mendapat informasi bahwa saya diberi kesempatan naik helikopter pengirim bantuan bersama dua jurnalis televisi.
Saya bersyukur, kesempatan itu ada di depan mata. Hanya ada tiga jurnalis yang diberi kesempatan di antara puluhan teman-teman yang menginginkan hal serupa. Namun, tantangan belum usai. Heli akan mengudara menjelang sore. Artinya, bersamaan dengan datangnya awan pekat di pesisir barat Sumatera yang saat itu sering dilanda hujan.
Si putih yang menakutkan
Jika tidak salah, ada tujuh orang di dalam heli. Selebihnya barang-barang bantuan. Selain tiga jurnalis, termasuk saya, ada Panglima Kodam I Bukit Barisan Mayor Jenderal TNI Burhanuddin Amin, dua ajudan, dan seorang pilot. Selain menyalurkan bantuan, helikopter Bell 412 milik TNI AD itu akan terbang menuju Pematang Siantar.
Sekitar 15 menit terbang, kami sempat melihat lokasi bencana. Pemukiman dan kawasan di sekitar sungai tersapu banjir. Terlihat sejumlah tempat yang gundul menyisakan genangan lumpur. Warga korban banjir melambaikan tangan memberi tanda agar bantuan segera diturunkan. Bantuan diturunkan dari heli di sekitar permukiman warga tanpa mendarat. Heli kemudian terbang lagi.
Tidak lama kemudian, awan pekat menutupi helikopter. Kami hanya melihat awan putih pekat ke sekeliling kami. Kepanikan melanda. Dengan cepat pilot mendaratkan helikopter di padang rumput yang masih becek. Pilot heli Lettu Falah tidak berani melanjutkan perjalanan. ”Sangat berbahaya sebab saya tidak tahu apakah ada dinding bukit atau tidak,” kata Falah.
Perjalanan ke Pematang Siantar memang harus melewati Bukit Barisan. Ketika itu, tidak mungkin melanjutkan perjalanan ke sana karena awan makin pekat. Mayjend Burhanuddin Amin meminta pilot mengarah ke pesisir barat Sumatera. Jika memungkinkan heli dapat menjangkau Kota Sibolga. Pertimbangan lain, di kawasan itu tidak ada bukit-bukit tinggi.
Meski aman, awan pekat masih menyelimuti perjalanan kami. Tiba-tiba pilot menyampaikan bahan bakar akan habis. Seisi heli kembali panik. ”Turun segera!” perintah Mayjen Burhanuddin Amin. Pilot mencari lahan yang lapang untuk pendaratan darurat. Kami tidak tahu, di wilayah mana kami mendarat.
Baca juga: Pengalaman Dikejar Awan Panas Gunung Merapi
Sejenak setelah turun, warga setempat heran. Ada heli militer tiba-tiba di dekat permukiman mereka. Puluhan orang mengerubuti heli dan bengong melihat heli dan penumpangnya turun. ”Ada apa, Pak?” tanya salah seorang warga setempat kepada kami. ”Bahan bakar habis,” kata ajudan panglima.
Atas perintah Mayjend Burhanuddin Amin, kami mencari sinyal komunikasi dan memberitahukan peristiwa itu. Beliau memerintahkan untuk mendekat ke jalan besar, yang bisa diakses kendaraan. Bantuan dari pos militer terdekat akan datang. Kami meninggalkan lokasi pendaratan heli menjelang magrib.
Perjalanan darat
Perjalanan kami lanjutkan dengan jalan kaki. ”Kalian bawa senjata,” kata Mayjend Burhanuddin Amin kepada dua ajudannya. ”Siap bawa jenderal.” Mereka mengikuti panglima berjalan pada saat malam mulai datang. Tidak terasa, perjalanan begitu jauh, sesekali kami berhenti, makan dan minum seadanya di tempat yang kami singgahi.
Dua ajuan panglima terus menjalin kontak dengan regu penolong yang menjemput kami. Hampir tengah malam, dua kendaraan operasional militer, seingat saya pikap dobel kabin tiba menjemput kami. Dengan kondisi letih, kami lega. Kami semua pindah ke mobil, sebagian di dalam kabin, sementara tiga jurnalis yang ikut rombongan di bak terbuka pikap militer.
Baca juga: Menembus Hutan, Mengendus Jejak Konflik Satwa
Perjalanan menuju Padang Sidimpuan, Tapanuli Selatan. Di sana kami istirahat di Markas TNI setempat. Hari sudah berganti pada tanggal berikutnya. Tidak lama lagi waktu sahur akan tiba. Saya istirahat di Padang Sidimpuan, dan besoknya bertemu Mas Parmin di Panyabungan.
Selama perjalanan dengan heli, Mas Parmin menunggu saya di pos terakhir. Dia menyangka heli akan kembali. Malam, saat saya dijemput tim evakuasi, saya memberi kabar kalau perjalanan dalam gangguan. Kami sepakat bertemu di Panyabungan esoknya. Setelah peristiwa itu, saya masih berada di Kota Natal untuk melewatkan malam Idul Fitri sana.
Kota Natal ini pernah diperebutkan bangsa Portugis, Inggris, Perancis, dan Belanda, seperti yang tertera dalam buku Greget Tuantu Rao karya Basyral Hamidi Harahap (2007). Eduard Douwes Dekker atau Multatuli juga pernah bertugas di kota ini sebagai petugas kontrolir pada 1842-1843. Warga kota ini ramah. Mereka berusaha bangkit dari keterbelakangan yang terjadi sejak zaman Multatuli di sana.
Malam itu, saya menikmati tradisi malam Lebaran dan sajian kuliner khas warga setempat. Tugas yang mendebarkan di Mandailing Natal berakhir dengan manis. Saya tidak pernah menyesalinya.