Dilema Ayam dan Jagung
Mencari solusi problem produksi-distribusi ayam dan jagung mirip dengan tebak-menebak mana yang lebih dulu antara ayam dan telur. Jagung menjadi komponen utama pakan ayam, penentu produksi daging jenis unggas tersebut.
Mencari solusi problem produksi-distribusi ayam dan jagung mirip dengan tebak-menebak mana yang lebih dulu antara ayam dan telur. Jagung menjadi komponen utama pakan ayam, penentu produksi daging jenis unggas tersebut. Namun, problem pada produksi daging ayam tak cukup dipecahkan hanya dengan menjamin pasokan jagung.
Produksi daging ayam dan jagung sama-sama menghadapi persoalan tidak sederhana. Kompleksitas persoalan ketersediaan pasokan dan stabilitas harga daging ayam dan jagung memiliki benang merah yang sama, yakni ketergantungan pada perdagangan luar negeri.
Salah satu persoalan besar yang dihadapi produsen daging ayam adalah ancaman persaingan pasar. Bermula pada 1 Agustus 2019 ketika Indonesia dinyatakan kalah di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap gugatan Brasil soal impor daging ayam.
Baca juga : Pedagang Minta Pemerintah Tidak Impor Ayam
Problem dalam sengketa itu adalah Brasil memprotes kebijakan Indonesia yang dinilai memberlakukan ketentuan dan prosedur yang menyulitkan masuknya daging ayam dari negara tersebut. Padahal, Indonesia, menurut keputusan WTO, harus membuka lebar keran impor daging ayam.
Sejumlah pihak pun khawatir dengan keputusan itu. Alasannya, produksi ayam dalam negeri masih cukup walaupun harga daging ayam tidak bisa murah pula. Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (Aphuin) pernah menyatakan penolakan keras terhadap keputusan WTO tersebut karena impor daging ayam berpotensi menghancurkan peternakan unggas rakyat.
Kini, munculnya pandemi Covid-19 turut berdampak besar pada anjloknya pasar daging ayam. Kondisi ini sempat membuat sejumlah peternak melakukan protes dalam bentuk membagikan ayam hidup pada April lalu. Jutaan anak ayam pun terancam dimusnahkan karena naiknya harga pakan.
Baca juga : Lumbung Jagung, Antibingung dan Antilimbung
Kontribusi jagung
Persoalan naik turunnya harga daging ayam sering ditimpakan pada keterbatasan pakan unggas yang berbahan utama jagung. Jagung memang faktor penting bagi produksi ayam. Proporsi jagung dalam pembuatan pakan ayam sangat dominan, mencapai sekitar 65 persen bahan pakan.
Adapun dilihat dalam konteks pengeluaran keseluruhan perusahaan peternakan ayam, komponen pakan menempati proporsi biaya produksi terbesar (57,87 persen). Selebihnya meliputi biaya obat-obatan, pembelian DOC (day old chicks), upah pekerja, bahan bakar, dan listrik. Namun, produksi jagung sebagai komponen utama pakan ayam pun sesungguhnya tak lepas dari problem yang tak melulu seputar pasokan.
Hal ini bisa dipahami dengan menelaah perjalanan industri pakan, termasuk jagung, di Indonesia. Sejak awal Indonesia terlambat mengantisipasi peningkatan permintaan jagung karena pemerintah lebih mengutamakan pengadaan jagung sebagai bahan pangan penduduk. Di sisi lain, merujuk buku Ekonomi Jagung Indonesia (Budi Tangendjaja dan kawan-kawan, 2005), pemerintah mendorong pertumbuhan industri unggas.
Baca juga : Tata Kelola Peternakan Dikuasai Pemodal Besar, Kedaulatan Pangan Terhambat
Industri unggas kemudian menggeliat pada 1975 dengan dibukanya impor bibit ayam unggul dan juga dibukanya kesempatan investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kebijakan ini menyebabkan munculnya industri pembibitan dan industri pakan skala besar. Industri unggas tumbuh cepat, mencapai 14 persen per tahun, yang menyebabkan permintaan jagung terdorong mencolok. Namun, Indonesia tidak siap dan tidak bersiap diri menghadapi perubahan itu.
Sekitar tahun 1975, pabrik pakan utama yang hadir di Indonesia adalah Charoen Pokphand (Thailand), Cargill (Amerika Serikat), dan Gold Coin (Singapura). Beberapa nama ”pemain lokal” antara lain Hirema, Metro, dan Buana.
Menurut Budi Tangendjaja, peneliti pakan dan nutrisi ternak di puslitbang peternakan, pabrik pakan saat ini dikuasai tiga kelompok lapisan. Pertama, yang dikuasai dua perusahaan besar. Kedua, yang didominasi pabrik-pabrik pakan dengan kapasitas produksi 100.000-1 juta ton. Ketiga, pabrik-pabrik yang kemampuan produksi per tahunnya di bawah 100.000 ton.
Baca juga : Tata Niaga Ayam dan Koperasi Peternak Diperlukan
Perkembangan industri pakan dan industri ayam modern rupanya berjalan beriringan sehingga persaingan usaha pun semakin ketat. Beberapa perusahaan penanaman modal dalam negeri pun beroperasi, termasuk belakangan datang perusahaan dari Korea Selatan, Malaysia, Eropa, dan China.
Problem produksi
Di balik perjalanan persaingan produksi pakan ayam, terdapat persoalan ketimpangan teknologi pada pabrik pakan unggas. Mengolah jagung untuk produksi pakan bukan persoalan sederhana. Selain kadar air yang cenderung masih tinggi (hampir 30 persen), yang berarti harus ada pengeringan sempurna, tanaman ini juga mudah ditumbuhi jamur dan bisa menghasilkan racun yang berpengaruh buruk pada ternak.
Selain itu, kandungan ”sampah” (tongkol, pelepah, jerami, batu) juga memengaruhi kualitas jagung. Begitu pula dengan variasi (jenis jagung) yang masuk ke pabrik. Jika pabrik menerima variasi lokal dan impor, kandungan gizi pun berbeda, padahal pabrik membuat formula ransum sesuai dengan kualitas jagung. Sebagian persyaratan pengolahan pabrik masih belum bisa dipenuhi di dalam negeri. Dalam konteks inilah, para investor asing melihat peluang sehingga bermunculan pabrik pakan ayam dari luar negeri.
Mengolah jagung untuk produksi pakan bukan persoalan sederhana.
Aspek lain yang juga harus diperhatikan adalah lokasi pabrik pakan yang tidak merata. Sesuai data Statistik Perusahaan Peternakan Unggas (2018), perusahaan peternakan budidaya unggas terkonsentrasi di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di sisi lain, dalam periode 2014-2018, laju peningkatan luas panen jagung di Jawa lebih rendah (3,77 persen) dibandingkan dengan luar Jawa (32,79 persen).
Pertanian jagung, seperti halnya produk pertanian lain, juga menghadapi problem kestabilan produksi karena sangat ditentukan oleh iklim. Kondisi ini membuat sejumlah pabrik harus memperhitungkan sarana transportasi, terutama laut, untuk mendatangkan kebutuhan pakan. Karena itu, adalah lumrah jika pabrik juga mengimpor jagung selain menerima produksi lokal.
Integrasi vertikal
Kembali menengok problem produksi serta distribusi jagung dan ayam, lantas apa yang membedakan RI dengan produsen daging ayam besar dunia seperti Brasil? Mengapa mereka bisa lebih berhasil dalam membangun industri ini? Jika dicermati lebih jauh, ada empat aspek keunggulan Brasil. Pertama, lahan pertanian yang luas, bahkan masih terus berekspansi, baik untuk jagung maupun kedelai.
Ini berbeda dengan Indonesia, lahan jagung harus bersaing dengan padi, tebu, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. Kedua, usaha peternakan yang terintegrasi secara vertikal sehingga ada kontrol kualitas dan biaya dalam seluruh mata rantai pasokan, mulai dari input produksi hingga nilai tambah produk unggas yang siap ekspor.
Ketiga, penerapan teknologi maju, baik pada bibit ayam, pengendalian penyakit, nutrisi, maupun pengelolaan kandang modern. Keempat, pemenuhan tuntutan konsumen. Perusahaan tak lagi repot dengan produksi, tetapi bagaimana memenuhi kebutuhan konsumen yang tak cuma domestik, tetapi juga ekspor.
Pada akhirnya, mendahulukan pembenahan produksi jagung di sisi hulu belum tentu efektif menyelesaikan dilema antara ayam dan jagung. Perjanjian perdagangan global menempatkan bias persaingan dagang yang lebih berpotensi menguntungkan produsen daging ayam berskala besar dunia.
Sementara itu, salah satu syarat memenangi kompetisi pasar daging ayam adalah lompatan efisiensi dan efektivitas produksi di sisi hulu. Pada sisi ini, mendahulukan jaminan pasokan jagung sebagai komponen utama pakan juga menjadi hal krusial. (LITBANG KOMPAS)