Kenaikan Indeks Sisakan Problem Substansial
Di tengah Covid-19 yang masih belum bisa diatasi, BPS mencatat Indeks Demokrasi Indonesia 2019 mencapai 74,92, atau meningkat 2,53 poin dibandingkan indeks 2018. Namun, kenaikan indeks masih sisakan masalah demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat Indeks Demokrasi Indonesia atau IDI pada 2019 mencapai 74,92, atau meningkat 2,53 poin dibandingkan dengan indeks tahun 2018, yang angkanya 72,39. Kenaikan indeks ini menjadi angin segar bagi demokrasi di Tanah Air di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum dapat diatasi. Namun, capaian indeks demokrasi itu masih menyisakan sejumlah persoalan substantif yang justru menjadi problem terbesar demokratisasi.
Indeks Demokrasi Indonesia adalah indeks tahunan yang dirilis oleh BPS bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Skor indeks merentang dari 0-100 dengan perolehan skor di bawah 60 dikategorikan buruk, 60-80 dikategorikan sedang, dan di atas 80 dikategorikan baik. Dengan skor IDI 2019 74,92, indeks demokrasi di Indonesia tergolong sedang.
Baca Juga: Indeks Demokrasi Indonesia Stagnan, Komitmen Elite Diuji
Dalam paparan yang disampaikan oleh Kepala BPS Suhariyanto, Senin (3/8/2020), yang disiarkan secara daring di Jakarta, skor IDI 2019 ditopang oleh kenaikan dua dari tiga aspek yang diukur, yakni hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Satu aspek lainnya, yakni kebebasan sipil justru menurun dibandingkan dengan skor IDI 2018. Secara umum, kenaikan skor IDI 2019 itu mendekati target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni skor IDI 75.
Skor 74,92 hanya sedikit di bawah target RPJMN di akhir 2019, yakni 75,00.
Hasil ini menggembirakan karena demokrasi Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan. ”Skor 74,92 hanya sedikit di bawah target RPJMN di akhir 2019, yakni 75,00,” kata Suhariyanto.
Dari catatan BPS, untuk aspek hak-hak politik, skor tahun 2019 ialah 70,71, atau naik 4,92 poin dibandingkan dengan tahun 2018, yang angkanya 65,72. Adapun aspek lembaga demokrasi naik 3,48 poin dibandingkan dengan tahun 2018. Skor aspek lembaga demokrasi tahun 2019 ialah 78,73, sedangkan tahun sebelumnya 75,25.
Suhariyanto mengatakan, penurunan dari aspek kebebasan sipil, antara lain, disumbang oleh memburuknya sejumlah indikator. BPS mencatat masih adanya ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Selain itu, masih ada ancaman atau penggunaan kekerasan dari kelompok agama terkait dengan ajaran agama, tindakan atau pernyataan pejabat yang diskriminatif dalam hal jender, etnisitas, dan kelompok rentan lainnya. Tindakan atau pejabat yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama juga menyumbang pada penurunan skor kebebasan sipil.
”Sekadar gambaran, kalau saya berbicara aspek kebebasan sipil dan variabelnya, yakni kebebasan berkumpul dan berserikat, ada dua indikator, yakni apakah ada ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah baik yang mengambat kebebasan berkumpul dan berserikat. Selain itu, apakah ada ancaman penggunaan kekerasan oleh aparat kepada masyarakat, dan dari masyarakat ke masyarakat yang lain terkait dengan kebebasan berkumpul dan berserikat,” katanya.
Adapun dari aspek hak-hak politik dan lembaga demokrasi, sekalipun keduanya mencatatkan kenaikan skor, ada sejumlah indikator yang menurun angkanya dan perlu untuk mendapatkan perhatian untuk diperbaiki. Pada aspek hak-hak politik, misalnya, terjadi kemunduran pada sejumlah indikator, antara lain meningkatnya hambatan pada hak memilih atau dipilih, menurunnya persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD provinsi, dan menurunnya kualitas daftar pemilih tetap (DPT).
Sementara itu, aspek hak-hak politik mencatatkan perbaikan pada sejumlah indikator, antara lain meningkatnya penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilih, meningkatnya partisipasi pemilih pada Pemilu 2019, menurunnya demonstrasi yang bersifat kekerasan, dan meningkatnya kritik masyarakat terhadap pemerintahan.
Untuk aspek lembaga demokrasi, Suhariyanto menyebutkan ada kemunduran pada indikator netralitas penyelenggara pemilu, rekomendasi DPRD kepada Eksekutif, kecurangan dalam penghitungan suara, dan kegiatan kaderisasi yang dilakukan partai peserta pemilu. Adapun faktor yang menyumbang kenaikan skor aspek lembaga demokrasi ialah meningkatnya peraturan daerah yang merupakan inisiatif DPRD, menurunnya penghentian penyidikan yang kontroversial oleh jaksa atau polisi, meningkatnya alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan, serta menurunnya keputusan hakim yang kontroversial.
”PR” berat
Sejauh ini, catatan IDI yang dirilis oleh BPS itu lebih baik daripada skor demokrasi Indonesia yang dicatat oleh The Economist Intelligent Unit (EIU) tahun 2019. Menurut data EIU, skor Indonesia hanya 6,48, dan menempati ranking 64 dari 167 negara dan wilayah independen. Dalam peringkat EIU, di Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi ketiga di bawah Malaysia (7,16), dan Filipina (6,64), serta lebih tinggi daripada Thailand di posisi keempat dengan skor 6,32. Dengan skor di kisaran 6, Indonesia masih tergolong flawed democracy atau demokrasi yang cacat.
Skor EIU tersebut merentang dari 1-10 dengan angka 10 merupakan capaian indeks terbaik, sedangkan semakin mendekati 1 menunjukkan capaian yang memburuk. Angka 6,48 yang diperoleh Indonesia dalam indeks EIU 2019 itu merupakan hasil akhir dari sejumlah variabel yang diukur meliputi proses elektoral dan kemajemukan; keberfungsian pemerintahan; partisipasi politik; budaya politik, dan kebebasan sipil.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, sekalipun IDI 2019 naik daripada indeks tahun sebelumnya, capaian itu belum terlalu menggembirakan karena banyak indikator substantif justru skornya turun. Salah satu yang menonjol ialah turunnya aspek kebebasan sipil. Padahal, aspek itu merupakan salah satu fundamen demokrasi yang sangat penting. Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan sipil.
”Kalau diperhatikan ada indikator-indikator penting yang justru turun, seperti netralitas penyelenggara pemilu, terjadinya kecurangan dalam penghitungan suara, dan buruknya kaderisasi parpol. Jadi, indiktor yang turun justru hal-hal susbtantif dalam demokrasi. Termasuk di dalamnya adalah aspek kebebasan sipil yang sangat prinsipil. Artinya, dengan indeks itu justru menunjukkan kita memiliki masalah yang sangat prinsipil dalam demokrasi, sekalipun secara umum skornya naik,” kata Firman.
Berkaca dengan skor demokrasi Indonesia yang dirilis sejumlah lembaga internasional, termasuk dari EIU dan Freedom House, capaian IDI memang lebih baik. Dari Freedom House, misalnya, Indonesia masih digolongkan sebagai negara dengan status bebas sebagian atau partly free. ”Jadi skor pada IDI ini juga tetap perlu untuk dipandang secara kritis karena masih menyisakan problem substantif dari demokrasi. Ada pekerjaan rumah besar yang harus ditangani untuk memperbaiki demokrasi Indonesia,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut Firman, Pilkada 2020 yang akan diselenggarakan di depan mata juga menjadi pertaruhan penting bagi demokrasi di Tanah Air karena seolah dipaksakan di tengah pandemi. Kekuatan oligarki dinsinyalir makin bercokol dalam pilkada, selain juga munculnya fenomena politik kekerabatan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kualitas demokrasi Indonesia di masa depan.
Tantangan pilkada
Menanggapi skor IDI 2019, Ketua Komisi II DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, kenaikan skor itu merupakan angin segar bagi demokrasi di Indonesia. Sebab, sebelumnya sempat ada kekhawatiran dan sejumlah kajian lembaga, seperti V-Dem dari Swedia, yang meramalkan demokrasi di Indonesia akan terpuruk karena pandemi Covid-19.
Di sisi lain, adanya kenaikan partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 yang menyumbang pada naiknya aspek hak-hak politik, menurut Doli, harus bisa dipertahankan dalam Pilkada 2020. ”Ini tantangan tersendiri dalam Pilkada 2020, yakni agar penyelenggara pemilu bisa memertahankan partisipasi pemilih yang tinggi. Sekalipun tidak setara, karena pada 2019 ada pilpres, setidaknya kita berusaha agar angka itu bisa dipertahankan,” katanya.
Doli juga mengakui ada ”PR” besar yang harus diatasi karena sejumlah indikator inti dan penting dari demokrasi justru melemah. Lemahnya kaderisasi parpol yang dicatat dalam IDI dipandang sebagai lampu kuning bagi kelembagaan partai untuk berbenah. Di masa depan, partai-partai harus menguatkan kaderisasi sehingga bisa menumbuhkan party id atau identitas kepartaian yang kuat di antara simpatisan dan kadernya.
Ini tantangan tersendiri dalam Pilkada 2020, yakni agar penyelenggara pemilu bisa memertahankan partisipasi pemilih yang tinggi. Sekalipun tidak setara, karena pada 2019 ada pilprs, setidaknya kita berusaha agar angka itu bisa dipertahankan.
Terkait indikator lain yang menurun, seperti netralitas penyelenggara dan adanya kecurangan penghitungan suara, menurut Doli, hal itu bersumber pada integritas dan kualitas penyelenggara pemilu. Ke depannya, melalui revisi UU Pemilu, Komisi II DPR menargetkan perbaikan seleksi penyelenggara pemilu serta perbaikan kelembagaan penyelenggara pemilu supaya tidak tumpang-tindih.
Baca Juga: Benahi Pelibatan Politik Publik
Dihubungi terpisah, anggota KPU, I Dewa Kade Raka Sandi, mengatakan, sejumlah hal perlu diperbaiki untuk meningkatkan IDI. Beberapa di antaranya terus berupaya dilakukan KPU, antara lain meningkatkan partisipasi pemilih. Namun, beberapa kekurangan dari penyelenggara pemilu yang dicatat oleh IDI juga menjadi bahan masukan dan evaluasi bagi KPU, utamanya menghadapi Pilkada 2020.
”Diperlukan partisipasi aktif pihak-pihak lain karena ini indeks nasional. Komitmen untuk mewujudkan IDI yang baik menjadi tanggung jawab semua. Hal itu tentu menjadi atensi kami,” ujarnya.