Melacak Akar Politik Dinasti
Politik dinasti merupakan warisan kekuasaan tradisional yang telah ada di Indonesia sejak berabad-abad silam. Sejak era autokrasi, ikatan genealogis digunakan sebagai dasar regenerasi politik guna melanggengkan kekuasaan
Politik dinasti merupakan warisan kekuasaan tradisional yang telah ada di Indonesia sejak berabad-abad silam. Sejak era autokrasi, ikatan genealogis telah digunakan sebagai dasar regenerasi politik guna melanggengkan kekuasaan. Hingga kini, ruh dari praktik politik dinasti masih berhembus di alam demokrasi.
Familisme dalam warisan kekuasaan merupakan corak khas dalam politik lokal yang telah terjadi selama berabad-abad. Dahulu, sistem ini jamak diterapkan saat Indonesia masih terbagi dalam wilayah-wilayah kerajaan.
Jejak sejarah dinasti politik dalam tatanan pemerintahan terekam dalam Yupa atau prasasti yang dipahat pada tugu batu tentang Kerajaan Kutai di Kalimantan pada abad ke-5 Masehi. Warisan takhta kerajaan pertama diberikan oleh Aswawarman kepada putranya yang bernama Mulawarman. Dalam catatan sejarah, inilah bukti tertulis paling awal tentang dinasti politik di Indonesia pada masa silam.
Pewarisan kekuasaan kepada keluarga pada periode autokrasi memiliki satu tujuan yang tegas, yakni mengamankan kedudukan keluarga di tengah kehidupan sosial dan politik saat itu. Bagi raja yang tidak memiliki anak laki-laki, takhta kerajaan tetap diwarisi kepada keluarga terdekat. Namun, sistem warisan jabatan ini tak jarang mengalami kegagalan karena pengganti yang kurang cakap atau adanya serangan dari kerajaan lain.
Saat Indonesia dikuasai oleh pemerintah kolonial, ruh dinasti politik masih tumbuh subur dalam kekuasaan lokal. Anak dari bupati, wedana, hingga asisten wedana diberi sejumlah hak istimewa, seperti warisan jabatan hingga hak pendidikan. Kebijakan itu diambil guna menarik hati pejabat daerah sehingga setia kepada pemerintahan kolonial. Kondisi ini menyebabkan timbulnya kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat meskipun modernisasi pendidikan dan sistem pemerintahan mulai dilakukan.
Saat Indonesia merdeka, praktik dinasti politik masih dirasakan dalam tatanan pemerintahan hingga pengujung Orde Baru. Salah satunya adalah saat Soeharto menunjuk putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana atau yang akrab disapa Tutut, sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Pembangunan VII menjelang krisis 1998. Tutut sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua DPP Golkar dan Ketua Umum Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia.
Tiga hari setelah dilantik, Tutut sempat memberikan penjelasan tentang jabatan yang ia terima. ”Saya tahu dengan masuknya saya dalam Kabinet Pembangunan VII ini, akan banyak cemooh yang saya terima. Sebenarnya, lima tahun yang lalu Pak Harto telah meminta saya untuk masuk kabinet. Tetapi, waktu itu, saya menolak. Kali ini, saya tidak boleh menolak lagi. Bapak menjelaskan, dalam keadaan yang sulit ini semua pihak harus berkorban untuk bangsa, termasuk keluarga (presiden), juga harus membantu Pak Harto dalam melaksanakan tugasnya,” ujar Tutut seperti diberitakan harian Kompas pada 18 Maret 1998.
Baca juga: Pilkada Dinasti Politik
Reformasi
Memasuki periode reformasi, ruh dari praktik politik kekerabatan kian terasa dan menghasilkan dinasti politik. Pola dinasti politik yang terbentuk adalah pada skala regional, baik kabupaten, kota, maupun provinsi. Praktik ini semakin terlihat jelas seiring penerapan pilkada secara langsung sejak tahun 2005.
Menurut catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, praktik politik dinasti mulai jamak bermunculan dan akhirnya diketahui secara jelas oleh publik. Beberapa di antaranya adalah dinasti Fuad di Bangkalan (Jawa Timur), dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, dinasti Narang di Kalimantan Tengah, dan dinasti Sjahroeddin di Lampung. Selain itu, juga muncul dinasti Chasan Sochib di Banten, baik pada lembaga eksekutif maupun legislatif.
Upaya untuk menciptakan kompetisi yang sehat tentu dibutuhkan agar sirkulasi kekuasaan tidak hanya berputar pada lingkungan elite. Upaya ini pernah dilakukan saat disahkannya UU Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Dalam Pasal 7 huruf r pada beleid itu disebutkan bahwa calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Calon kepala daerah tidak boleh memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan garis keturunan pada satu tingkatan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana. Hubungan dengan petahana yang dimaksud adalah ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu. Pencalonan baru dapat dilakukan setelah petahana melewati jeda satu kali masa jabatan.
Aturan ini menjadi angin segar untuk mencegah lahirnya oligarki dalam pemerintahan daerah. Sebab, hingga tahun 2014 atau sebelum aturan dalam UU ini dilahirkan, terdapat 59 kepala/wakil kepala daerah terpilih yang memiliki ikatan keluarga dengan petahana (Kompas, 9 Juli 2015).
Sayangnya, aturan ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pertimbangannya, MK menilai aturan itu bertentangan dengan Pasal 28 I Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Baca juga: Dinasti Politik, Tarikan antara Elektabilitas dan Kesetaraan
Faktor pendorong
Namun, pembatalan aturan ini hanyalah pemantik yang membuka gerbang praktik politik kekerabatan. Ada beberapa hal utama yang mendorong lahirnya dinasti politik dalam suatu wilayah.
Pertama adalah berlangsungnya sentralisasi politik. Pengendalian politik dilakukan secara searah dari atas ke bawah. Tokoh politik lokal harus mengikuti arahan dari elite politik pusat. Akibatnya, pilkada tidak semata-mata menjadi pertarungan tokoh di daerah, melainkan elite di tingkat pusat (Bayo dan Samadhi, 2018).
Sentralisasi politik juga berkaitan dengan faktor berikutnya, yakni kandidasi politik yang cenderung tertutup. Dalam praktiknya, pencalonan kepala daerah oleh partai memiliki banyak pertimbangan yang tidak digubris di ruang publik. Akibatnya, publik hanya menjadi subyek pasif dalam memilih calon yang telah ditentukan oleh partai.
Persoalan kaderisasi juga menjadi variabel yang mendorong lahirnya praktik politik dinasti. Kegagalan partai menghasilkan kader yang berkualitas berdampak pada dipilihnya jalan pintas dengan meminang calon yang memiliki popularitas. Pada beberapa wilayah, popularitas jamak dimiliki oleh keturunan tokoh politik, baik dalam elite lokal maupun nasional.
Faktor lainnya yang turut melahirkan dinasti politik adalah jaringan kekuasaan yang telah menyebar pada suatu kelompok tertentu. Jaringan kekuasaan ini mencakup segala lingkup, baik sosial maupun ekonomi. Jaringan ini melahirkan kesempatan untuk menciptakan kekuasaan yang langgeng dengan melibatkan orang-orang terdekat.
Baca juga: Dinasti Politik dan Korupsi yang Berulang
Dampak
Praktik politik kekerabatan tentu menjadi benih oligarki pada masa yang akan datang. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menyebabkan stagnasi sekaligus menghambat proses konsolidasi demokrasi.
Dari sisi internal pemerintahan, lahirnya dinasti politik akan menyebabkan kemandekan sirkulasi kekuasaan. Peralihan kekuasaan hanya akan berputar pada lingkungan elite semata.
Selain itu, jenjang kaderisasi politik juga harus dikorbankan dengan adanya praktik politik dinasti. Melalui sistem ini, tokoh yang dipilih hanyalah mereka yang memiliki modal kuasa untuk bertarung. Kondisi ini menggugurkan kandidat berkualitas, tetapi kalah dalam jejaring atau latar belakang keturunan.
Dari sisi eksternal, kontrol kekuasaan juga akan melemah seiring distribusi kekuasaan melalui praktik familisme. Apalagi, praktik ini dilakukan sekaligus pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.
Ruang penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme juga akan terbuka lebar jika praktik ini dibiarkan. Dampak itu telah dirasakan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa kasus korupsi di Tanah Air yang telah terungkap merupakan bagian dari dinasti politik di daerah.
Pada 2017, misalnya, Wali Kota Cimahi periode 2012-2017, Atty Suharti, dan suaminya, Itoc Tochija, tersandung korupsi karena terbukti menerima suap terkait dengan proyek pembangunan tahap kedua Pasar Atas Baru Cimahi senilai Rp 57 miliar. Atty adalah pengganti suaminya yang sebelumnya juga menjabat sebagai wali kota.
Terbaru, pada awal Juli lalu KPK menangkap Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya, Encek Unguria Riarinda Firgasih yang menjabat sebagai Ketua DPRD Kutai Timur, Kalimantan Timur. Keduanya diduga menerima suap yang berkaitan dengan sejumlah proyek.
Fakta ini tentu menunjukkan betapa dekatnya dinasti politik dengan penyalahgunaan wewenang. Pada akhirnya, praktik politik kekerabatan yang melahirkan dinasti politik bukan hanya berada pada ranah hitam dan putih atau benar dan salah. Di baliknya, terselip nilai moral dan etika politik yang sangat menentukan masa depan dan proses konsolidasi demokrasi di tanah air. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?