Pajak Layanan Digital Asing Jangan Hanya Dibebankan ke Pengguna
›
Pajak Layanan Digital Asing...
Iklan
Pajak Layanan Digital Asing Jangan Hanya Dibebankan ke Pengguna
Pemerintah bisa mengambil manfaat dari perusahaan penyedia layanan digital untuk memajukan pertumbuhan perekonomian negara.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Mulai 1 Agustus 2020 Pemerintah Indonesia menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen atas harga dasar layanan jasa digital yang ditawarkan perusahaan raksasa berbasis internet (over the top/OTT). Hal ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 dan ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020.
Pemungutan pajak dikenakan kepada pengguna layanan enam perusahaan asing, yaitu Amazon Web Service Inc, Google Asia Pacific Pte Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International BV, dan Spotify AB. Mereka dikenal sebagai penyedia layanan iklan, streaming musik, hingga video berbayar.
Pengenaan pajak tersebut pun cukup memicu polemik. Pengguna media sosial Twitter, Saidiman Ahmad, misalnya, Minggu (2/8/2020), membagikan notifikasi layanan Paket Standard (HD) Netflix seharga Rp 139.000 yang naik menjadi Rp 153.000 per bulan mulai September 2020. Hal itu kemudian ia keluhkan.
”Dalam situasi susah, bisa-bisanya negara mungut upeti dari para penonton. Emang Netflix ambil apa dari bangsa ini sehingga perlu bayar kompensasi?” ujarnya dalam cuitan yang dikomentari dan diunggah ulang hampir 500 pengguna Twitter lain hingga hari ini, Senin (3/8/2020).
Sebaliknya, Fajrina (25), pengguna aplikasi musik digital Spotify, menilai, pengenaan pajak layanan digital baik untuk negara. Karyawan swasta yang telah berlangganan paket keluarga senilai Rp 79.000 per bulan selama setahun terakhir berharap bisa berkontribusi bagi negara.
”Saya enggak masalah kalau dikenai pajak digital karena di luar negeri juga sudah ada yang seperti ini. Saya pikir hasil pungutan pajak ini bisa sangat membantu perekonomian negara,” ujarnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama, yang dihubungi Kompas, mengatakan, pemungutan pajak produk dan jasa dari luar negeri sudah diatur melalui undang-undang sejak 1984. Adapun potensi keuntungan negara dari pemungutan PPN pengguna layanan digital belum dihitung nilainya.
Jika melihat proyeksi dan survei lembaga riset Statista, pengguna Netflix pada 2020 diproyeksikan mencapai 906.800 pengguna dengan pendapatan Netflix berada pada rentang Rp 44,43 miliar - Rp 153,25 miliar per bulan.
Adapun dari segmen layanan musik digital, Statista dalam laporan Juni 2020 menyebut, nilai pasar musik streaming di Indonesia diperkirakan tembus hingga 148 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,1 triliun pada 2020. Proyeksi tersebut menempatkan Indonesia sebagai nilai pasar musik streaming terbesar ke-18 di seluruh dunia.
”Kemarin kami baru mencapai tahap awal komunikasi dengan enam perusahaan layanan digital luar negeri. Dalam minggu ini kami akan menjajaki perusahaan digital luar negeri lainnya,” kata Hestu. Ia menyebut, pemerintah akan segera menyosialisasikan aturan PPN tersebut pada beragam perusahaan layanan digital, seperti gim, perangkat lunak, musik, dan film.
Pajak perusahaan
Berlakunya pemungutan pajak dari layanan digital perusahaan raksasa berbasis internet diharapkan tidak hanya membebani pengguna, tetapi juga perusahaan terkait. Pemerintah dinilai terlambat mengelola potensi pendapatan pajak dari perusahaan layanan digital yang kini menjamur.
Hestu mengakui, perusahaan digital asing yang kini menjadi pemungut pajak tersebut belum dibebani pajak. Hal ini karena mereka belum berbadan usaha tetap (BUT) di Indonesia. Namun, Indonesia tengah mengupayakan cara tersebut.
”Kami sedang menunggu regulasinya dari OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi). Mudah-mudahan akhir tahun ini selesai, jadi Indonesia bisa memajakinya,” katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Information Communication Technology Institute Heru Sutadi berpendapat, kebijakan perpajakan harus komprehensif dengan menerapkan Pajak Penghasilan (PPh) kepada perusahaan asing tersebut. Sayangnya, Indonesia selalu terlambat melihat potensi pajak tersebut dan bergantung pada kebijakan luar.
”Kita terlambat mengatur. Itu semua harusnya diatur ketika layanan perusahaan digital belum tumbuh besar dan akhirnya dihadapkan dengan rakyatnya,” katanya kepada Kompas.
Selain menanti regulasi multilateral, Indonesia juga mulai mengambil langkah unilateral dengan mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau Omnibus Law Perpajakan (Kompas, 19/2/2020).
RUU itu memuat rencana PPh atas kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik oleh perusahaan asing. Aturan pemajakan nantinya akan dibedakan dalam tiga kondisi, yaitu perusahaan asing yang telah BUT di Indonesia, perusahaan yang tidak dapat jadi BUT karena ada perjanjian pajak berganda, serta perusahaan yang belum jadi BUT.
Pedagang, penyedia jasa, dan atau pelaku perdagangan melalui sistem elektronik luar negeri yang sudah jadi BUT tetap dikenai PPh sesuai dengan Undang-Undang PPh yang berlaku. Adapun PPh bagi pelaku usaha asing yang tidak dapat jadi BUT atau belum jadi BUT didasarkan pada kehadiran ekonomi signifikan.
Ketentuan itu mempertimbangkan omzet usaha, penjualan di Indonesia, dan jumlah pengguna aktif media digital. Kedua subyek pajak luar negeri itu akan dikenai jenis pajak baru, yaitu pajak transaksi elektronik.
Mereka dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memenuhi kewajiban pajak. Adapun besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak transaksi elektronik itu akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Dengan upaya-upaya tersebut, Heru menilai, pemerintah bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari perusahaan penyedia layanan digital untuk memajukan pertumbuhan perekonomian negara.
”Sekarang ini trennya sharing economy atau ekonomi berbagi, ada sharing nilai antara negara dan perusahaan di mana mereka memberi layanan, baik untuk membuka lapangan kerja, perpajakan, dan lainnya. Jadi, enggak semua keuntungan diambil mereka sendiri,” pungkasnya.