Penyerapan Anggaran Masih Rendah, Presiden: Aura Krisis Belum Ada
›
Penyerapan Anggaran Masih...
Iklan
Penyerapan Anggaran Masih Rendah, Presiden: Aura Krisis Belum Ada
Masih rendahnya penyerapan stimulus penanganan Covid-19 membuat Presiden Joko Widodo kembali kecewa. Ia menilai aura krisis masih belum muncul di kementerian/lembaga.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati berharap stimulus penanganan Covid-19 berdampak positif pada daya beli masyarakat, realisasinya berjalan sangat lambat. Presiden Joko Widodo kembali mengungkapkan kekecewaannya. Aura krisis disebutnya belum muncul di kementerian/lembaga.
Stimulus penanganan Covid-19 dialokasikan senilai Rp 695,2 triliun. Namun, hingga pekan ini baru Rp 141 triliun atau 20 persen yang terserap. Jumlah ini hanya 1 persen lebih baik ketimbang pekan lalu. Dalam rapat terbatas pekan lalu (27/7/2020), Presiden menyebutkan realisasi baru 19 persen atau Rp 135 triliun.
Penyerapan ini memang akan berjalan lambat. Sebab, saat ini 40 persen anggaran belum memiliki daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Tanpa DIPA yang menjadi dasar pelaksanaan program dan disahkan Kementerian Keuangan, tak ada anggaran yang bisa digunakan.
”Yang belum ada DIPA-nya masih gede sekali, mungkin 40 persen. DIPA saja belum ada, bagaimana mau realisasi. Artinya, di kementerian/lembaga, aura krisisnya betul-betul belum ada,” tutur Presiden Joko Widodo dalam pengantar rapat terbatas tentang penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (3/8/2020).
Sejauh ini, penyerapan anggaran paling besar terdapat pada program perlindungan sosial, yakni 39 persen. Adapun penyerapan untuk stimulus bagi usaha mikro, kecil, dan menengah sebesar 25 persen. Namun, angka ini pun sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang disebutkan Presiden dalam rapat terbatas pekan lalu.
Cara kerja rutin
Presiden Joko Widodo pun menyebut kementerian/lembaga masih terjebak pada cara kerja rutin dan tidak memahami prioritas yang harus segera dikerjakan. Karena itu, Presiden meminta Ketua Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk menyelesaikan masalah ini dengan menteri-menteri terkait.
”Manajemen krisis agar betul-betul dilaksanakan, lincah, trouble shooting (penyelesaian masalah), smart shortcut (solusi yang cerdas), dan hasil betul-betul efektif dan kita butuh kecepatan,” tutur Presiden.
Teguran dari Presiden Jokowi supaya kementerian/lembaga bekerja lebih cepat sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan Juni lalu. Dalam sidang kabinet paripurna 18 Juni, misalnya, Presiden juga menyampaikan lambannya penyerapan anggaran. Salah satu yang paling disorot adalah distribusi insentif tenaga kesehatan. Alokasi anggaran penanganan Covid-19 di bidang kesehatan, misalnya, baru 1,53 persen saat itu dari keseluruhan Rp 75 triliun.
Lambannya penyerapan stimulus Covid-19, menurut anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Misbakhun, akibat Kementerian Keuangan terlalu kaku dengan segala persyaratan terkait dokumen dan DIPA. Akibatnya, persyaratan yang dibuat itu tidak bisa diimplementasikan. Untuk kementerian/lembaga pelaksana, persyaratan ini harus terpenuhi sebab risikonya berurusan dengan hukum.
Dicontohkan, persyaratan terkait bank peserta dan pelaksana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional sulit dipenuhi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2020 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional juga memberikan syarat yang sulit dipenuhi bank umum di luar Himpunan Bank Negara (Himbara). Hal serupa terjadi untuk peraturan penjaminan kredit usaha padat karya dan pencairan insentif tenaga kesehatan.
”Ini menunjukkan pembuat aturan kebijakan tidak mengerti esensi permasalahan, tidak mau mendengarkan usulan dari dunia usaha. Aturannya birokratis, kehilangan sense of crisis. Situasi tidak normal dibuat aturan untuk kegiatan normal,” tutur Misbakhun.