Potret Tangguh Perempuan Kepala Keluarga
Meskipun sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat, publik menaruh keprihatinan atas kondisi perempuan kepala keluarga atau pekka. Meskipun mandiri dan berdaya, para pekka ini masih harus melawan kemiskinan.
Perempuan sebagai kepala keluarga masih harus berjuang untuk terlepas dari kemiskinan, ketimpangan, dan kekerasan. Pemerintah diharapkan kian peduli terhadap keberadaan perempuan kepala keluarga atau pekka.
Sosok perempuan kepala keluarga adalah perempuan yang berperan dan bertanggung jawab mencari nafkah, mengelola rumah tangga, menjaga keberlangsungan keluarga, serta mengambil keputusan dalam keluarga.
Beragam peran tersebut harus dilakukan para perempuan karena situasi dan kondisi keluarga. Melihat latar belakangnya, ada perempuan yang tidak menikah atau belum menikah, tetapi memiliki tanggungan anggota keluarga.
Ada pula yang menggantikan peran suami sebagai kepala keluarga karena bercerai, ditinggal suami, suami meninggal, suami poligami, merantau atau tidak tinggal bersama. Sekalipun ada suami, para suami ini tidak menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga sehingga harus digantikan istri.
Kondisi seperti ini terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan proporsi perempuan kepala keluarga tertinggi di Indonesia (21,7 persen) dalam satu dekade ini. Pendataan pekka yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTB pada 2009 menemukan alasan para perempuan ini menjadi kepala keluarga. Mereka umumnya tidak memiliki pekerjaan, tetapi terpaksa bekerja serabutan karena suami malas bekerja atau suami bekerja sebagai TKI dan bertahun-tahun tidak kembali.
Sementara kondisi berbeda ditemukan di Aceh sebagai provinsi dengan persentase perempuan kepala rumah tangga tertinggi kedua (20,11 persen). Di Aceh, para perempuan sudah terbiasa menjadi kepala keluarga karena tekanan situasi konflik bersenjata yang berlangsung hampir 30 tahun. Mereka menggantikan peran suami yang hanya pulang beberapa bulan sekali karena harus berperang.
Dalam kondisi terimpit, konflik, dan bencana, para perempuan berperan menyelamatkan keberlangsungan keluarganya. Termasuk ketika bencana pandemi Covid-19 ini melanda, para perempuan juga berjuang menjadi penyelamat keluarga meskipun banyak di antaranya yang kehilangan sumber penghasilan.
Meningkat
Kondisi-kondisi tersebut meruntuhkan persepsi tradisional masyarakat yang menganggap perempuan hanya tinggal di rumah saja. Masyarakat kian terbiasa melihat para pekka ini berjuang untuk merawat keberlangsungan keluarganya.
Fenomena tersebut juga terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pada 27-29 Juli 2020. Hasil jajak pendapat menemukan, sebanyak 63,5 persen responden memiliki kerabat/tetangga/teman perempuan yang berperan sebagai kepala keluarganya. Bahkan, 4,5 persen responden adalah pekka. Sementara 6,5 persen responden mengakui keluarganya dipimpin oleh perempuan (ibu/nenek/saudara perempuan).
Tidak heran jika sebagian besar publik (67,3 persen) menganggap keberadaan para perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga ini sudah menjadi hal yang wajar. Perempuan garda depan keluarga ini sudah menjadi pemandangan biasa di masyarakat seiring dengan meningkatnya jumlah pekka di Indonesia.
Dalam tiga dekade, tercatat peningkatan jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan. Pada 1985, sebanyak 7,54 persen rumah tangga di Indonesia dikepalai perempuan. Kemudian, pada 1993, jumlahnya meningkat menjadi 9,50 persen.
Hingga 2018 tercatat 15,17 persen kepala rumah tangga perempuan memimpin dan menafkahi keluarganya. Melihat proporsi tersebut, diperkirakan terdapat 10,3 juta perempuan yang menjadi kepala rumah tangga di Indonesia.
Rentan
Meskipun sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat, publik menaruh keprihatinan atas kondisi para pekka ini. Hampir separuh responden mengetahui kondisi para pekka ini hidup sederhana, pas-pasan, bahkan memprihatinkan.
Meskipun mandiri dan berdaya, para pekka ini masih harus melawan kemiskinan. Laporan SMERU pada 2014 menyebutkan, sekitar separuh dari keluarga dengan kesejahteraan rendah dipimpin oleh perempuan.
Jumlah rumah tangga miskin yang dipimpin perempuan naik 1,09 persen, sementara yang dipimpin laki-laki turun 1,09 persen. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan rumah tangga yang dipimpin perempuan juga lebih buruk dibandingkan dengan rumah tangga yang dipimpin laki-laki.
Kondisi ini tidak membaik dalam beberapa tahun terakhir. Dalam periode 2016 sampai 2019, persentase rumah tangga miskin yang dipimpin perempuan mencapai 16,12 persen hingga 16,19 persen. Jika dibandingkan dengan tahun 2012, jumlahnya meningkat 2,8 persen.
Para perempuan ini sulit memenuhi kebutuhan rumah tangga yang sebagian besar dipenuhi dari hasil usaha mandiri. Apalagi, dalam mengembangkan usahanya, mereka belum sepenuhnya mengakses bantuan permodalan dari kredit usaha.
Berdasarkan Laporan Statistik Gender Tematik 2015, rumah tangga yang dikepalai perempuan jauh tertinggal dalam hal akses pada PNPM, kredit usaha rakyat, kredit bank, KUBE/KUB, program koperasi, kredit perorangan, dan kredit usaha lainnya.
Selain kemiskinan, para pekka juga terkendala urusan administrasi kependudukan. Berdasarkan survei SPKBK pekka, hanya 41 persen pekka yang mencatatkan pernikahannya.
Sementara banyak pula para pekka yang bercerai, tetapi tidak mengurus di pengadilan karena terkendala biaya pengadilan dan transportasi atau kurang informasi tentang pengurusan perceraian. Akibat dari tidak tercatatnya urusan administrasi, seperti KTP, kartu keluarga, akta nikah, akta cerai, dan akta kelahiran pada anak, para pekka ini tidak terdata dengan baik.
Hal lain yang menjadi permasalahan para pekka ini adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan survei Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas Pekka, sebanyak 78 persen perempuan kepala keluarga yang telah bercerai pernah mengalami KDRT. Namun, banyak di antaranya tidak berbuat apa-apa atas perlakuan KDRT yang diterima.
Pelaporan atas kasus KDRT masih lemah karena beberapa alasan, seperti banyak yang sudah menganggapnya lumrah sebagai bagian pendidikan dari suami ke istri. Ada pula yang menganggap hal ini merupakan urusan internal rumah tangga dan tabu jika diketahui orang lain. Selain itu, beberapa merasa takut, jika diadukan, suami akan berbuat lebih kejam lagi kepada istri.
Pemberdayaan
Peliknya permasalahan yang dialami sebagian pekka ini mendasari Komnas Perempuan bersama dengan PPSW untuk mengembangkan program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga pada 2000. Selanjutnya, program ini dilanjutkan oleh Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) pada 2004.
Kemudian, pada 2016, Yayasan Pekka bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Inspirit mencanangkan Gerakan Perempuan Kepala Keluarga Inovator Indonesia (Pekka-Perintis).
Yayasan Pekka memiliki program untuk membina perekonomian dan kesejahteraan para pekka. Selain itu, ada pula program terkait pendidikan dan pemberdayaan hukum dan keadilan sosial, termasuk konsultasi serta advokasi permasalahan para pekka.
Sebanyak 78 persen perempuan kepala keluarga yang telah bercerai pernah mengalami KDRT.
Hingga 2017, anggota Serikat Pekka mencapai 31.447 orang, sementara jumlah pekka yang terorganisir mencapai 56.325 orang. Anggota serikat bersama dengan pekka ini tergabung dalam kelompok berbasis komunitas untuk pendampingan para pekka.
Para pekka ini cukup terbantu dengan program yang dilakukan Yayasan Pekka. Namun, mereka ini hanya sebagian kecil (0,86 persen) dari 10,19 juta rumah tangga yang dikepalai perempuan pada 2017. Sementara masih ada 10,10 juta perempuan kepala rumah tangga yang membutuhkan pembinaan dan pendampingan serta bantuan lainnya.
Publik yang prihatin akan kondisi kesejahteraan para pekka juga berharap pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Jajak pendapat Kompas memperlihatkan, lima dari sepuluh responden berharap pemerintah meningkatkan bantuan modal ataupun pelatihan wirausaha kepada para pekka.
Upaya lain yang juga paling banyak diharapkan publik untuk ditingkatkan adalah pembinaan dan pendampingan terkait pendidikan hukum, politik, dan keadilan sosial (19,2 persen). Publik juga berharap adanya peningkatan bantuan tunai (9,9 persen), jaminan kesehatan (8,1 persen), serta perlindungan dalam rumah tangga dan lingkungan kerja (8,4 persen).
Selama ini, pemerintah telah memberikan bantuan jaring pengaman sosial, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan PNPM. Seperti pada masa pandemi ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memberikan BLT Dana Desa kepada 2,4 juta pekka.
Baca juga: Menepis Stigma dengan Berdaya
Namun, pihak kementerian menyadari bahwa selama ini bantuan kepada pekka belum sepenuhnya tersalurkan karena masih banyak pekka belum terdeteksi. Sebagian besar pekka merupakan keluarga miskin yang belum terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Meningkatnya jumlah pekka, apalagi diikuti dengan peningkatan pekka dalam kondisi miskin kiranya dapat menggerakkan berbagai program untuk memperhitungkan pekka ini sebagai penerima manfaat. Perempuan tangguh, mandiri, dan berdaya seperti pekka dapat menjadi katalis meningkatnya kesejahteraan rakyat, tentunya dengan dukungan penuh dari pemerintah, komunitas, dan masyarakat lain. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Hari Ibu dan Perjuangan Perempuan Indonesia