Pandemi semakin menggerus pendapatan dan daya beli masyarakat. Ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengevaluasi efektivitas program jaring pengaman sosial.
Oleh
M Paschalia Judith J/NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan daya beli masyarakat, baik produsen maupun konsumen, tecermin dari deflasi Juli 2020 yang sebesar 0,1 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi sebesar 0,79 pesen dan memberikan andil terhadap deflasi sebesar 0,19 persen.
Bahan pangan yang menyumbang deflasi, antara lain bawang merah, daging ayam ras, beras, bawang putih, beras, cabai rawit, dan gula pasir. Deflasi di sektor kelompok makanan dan minuman ini menunjukkan turunnya permintaan bahan pangan.
Penurunan permintaan bahan pangan itu terkorelasi dengan penurunan nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP) dan hortikultura (NTPH) pada Juli 2020. NTPP turun sebesar 0,25 persen menjadi 110,17 dan NTPH turun 0,74 menjadi 99,77 persen secara bulanan. Indeks konsumsi rumah tangga petani juga mengalami deflasi sebesar 0,13 persen.
Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam, Senin (3/8/2020), mengatakan, masyarakat, baik konsumen maupun produsen, terkena pukulan ganda dari sisi pendapatan dan daya beli.
”Tabungan masyarakat kian tergerus pengeluaran untuk konsumsi, terutama yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan pengurangan pendapatan. Akibatnya, bantalan sumber dana rumah tangga masyarakat semakin menipis,” ujarnya.
Tabungan masyarakat kian tergerus pengeluaran untuk konsumsi, terutama yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan pengurangan pendapatan. Akibatnya, bantalan sumber dana rumah tangga masyarakat semakin menipis.
Menurut Latif, rumah tangga petani yang merupakan konsumen sekaligus produsen, mengalami pukulan lebih parah. Permintaan terhadap produk-produk pangan tertentu tengah melemah. Akibatnya, petani sebagai produsen pangan menjual hasil panennya dengan harga rendah. Hal itu tecermin dari NTPP dan NTPH yang turun.
Hal ini patut menjadi alarm untuk mengevaluasi kembali efisiensi dan efektivitas penggelontoran jaring pengaman sosial dari pemerintah. Evaluasi ini menyangkut berbagai aspek, baik mekanisme penyaluran, ketepatan sasaran penerima, maupun jumlahnya.
”Bantuan sosial itu mestinya dapat menjaga dan menyokong daya beli masyarakat. Namun, sejumlah indikator (inflasi) tidak menunjukkan hal itu,” kata dia.
Bantuan sosial itu mestinya dapat menjaga dan menyokong daya beli masyarakat. Namun, sejumlah indikator (inflasi) tidak menunjukkan hal itu.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, laju inflasi intipada Juli 2020 sebesar 0,16 persen. Dari tren tahunan, laju inflasi inti cenderung melambat, terutama sepanjang April-Juli 2020. ”Laju inflasi inti ini masih tergolong lemah. Artinya, perlu upaya lebih dalam meningkatkan daya beli masyarakat,” katanya.
Suhariyanto juga menyatakan, deflasi pada Juli 2020 tidak wajar. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dua bulan setelah masa Ramadhan-Lebaran masih mengalami inflasi. Ketidakwajaran deflasi itu merupakan imbas dari pandemi Covid-19.
Sementara itu, Nielsen menyebutkan, Indeks Keyakinan Konsumen pada triwulan II-2020 turun 25 poin dibandingkan dengan triwulan I-2020 sebelumnya ke posisi 102 poin. Penurunan terjadi pada indikator pembentuk indeks, yaitu persepsi terhadap prospek lapangan kerja (turun dari 70 persen ke 48 persen), keadaan keuangan pribadi (turun dari 78 persen ke 57 persen), serta keinginan untuk berbelanja dalam 12 bulan ke depan (turun dari 60 ke 35 persen).
Sebanyak 78 persen responden menilai, Indonesia tengah dalam kondisi resesi ekonomi. Managing Director Nielsen Connect Indonesia Indrasena Patmawidjaja menyatakan, ini mengindikasikan masih adanya kekhawatiran masyarakat terhadap penyebaran Covid-19 meskipun Indonesia sudah mulai memasuki masa transisi normal baru.
Latif menambahkan, ketidakyakinan masyarakat dalam mengonsumsi akan terus berlanjut. Konsumen cenderung akan menunggu dan melihat karena mesti mengatur pengeluarannya secara ketat akibat pemasukan yang menipis.
Untuk memulihkan keyakinan konsumen pemerintah mesti menuntaskan persoalan kesehatan pada pandemi Covid-19 sebagai akarnya. Apalagi, kurva pandemi Covid-19 cenderung meningkat.
”Kita tidak bisa mendorong perekonomian, tetapi malah abai dengan pengendalian pandemi Covid-19,” ujarnya.
Aura krisis
Dalam rapat terbatas tentang Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, Presiden Joko Widodo kembali mengungkapkan kekecewaannya. Aura krisis disebutnya belum muncul di kementerian/lembaga.
Stimulus penanganan Covid-19 dialokasikan senilai Rp 695,2 triliun. Namun, hingga pekan ini baru Rp 141 triliun atau 20 persen yang terserap. Jumlah ini hanya 1 persen lebih baik ketimbang pekan lalu. Pekan lalu, 27 Juli 2020, realisasi baru 19 persen atau Rp 135 triliun.
Presiden mengatakan, penyerapan ini memang akan berjalan lambat. Sebab, saat ini 40 persen anggaran belum memiliki daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Tanpa DIPA yang menjadi dasar pelaksanaan program dan disahkan Kementerian Keuangan, tak ada anggaran yang bisa digunakan.
”Yang belum ada DIPA-nya masih gede sekali, mungkin 40 persen. DIPA saja belum ada, bagaimana mau realisasi. Artinya, di kementerian/lembaga, aura krisisnya betul-betul belum ada,” tutur Presiden
Sejauh ini, penyerapan anggaran paling besar terdapat pada program perlindungan sosial, yakni 39 persen. Adapun penyerapan untuk stimulus bagi usaha mikro, kecil, dan menengah sebesar 25 persen.
Presiden Joko Widodo pun menyebut kementerian/lembaga masih terjebak pada cara kerja rutin dan tidak memahami prioritas yang harus segera dikerjakan. ”Manajemen krisis agar betul-betul dilaksanakan, lincah, trouble shooting (penyelesaian masalah), smart shortcut (solusi yang cerdas), dan hasil betul-betul efektif dan kita butuh kecepatan,” tutur Presiden.