Indonesia Meriah dengan Lagu Daerah
Ada 700-an bahasa ibu dari berbagai daerah di Nusantara tapi rasanya kita jarang mendengar bahasa ibu itu dalam lagu. Berbeda dengan era 1960-an, Indonesia yang beragam terdengar meriah lewat lagu-lagu berbahasa daerah.
Ketika Republik ini merayakan 75 tahun kemerdekaan, kita teringat akan 700-an bahasa yang menjadi bahasa ibu dari rakyat di berbagai daerah. Akan tetapi, rasanya kita jarang mendengar bahasa ibu itu dalam lagu. Alangkah merdunya jika lagu dalam bahasa ibu terdengar di pentas Ibu Pertiwi.
Indonesia yang beragam terdengar amat meriah lewat lagu-lagu dari berbagai daerah pada era 1960-an. Lagu-lagu berbahasa Batak, Minang, Melayu, Banjar, Jawa, Sunda, Ambon, Makassar, dan Manado terdengar hampir setiap hari di radio. Lagu dengan bahasa dan cengkok khas daerah itu dinikmati orang layaknya lagu pop.
Kita mencatat sejumlah lagu daerah yang pernah populer. Tersebutlah lagu berbahasa Minang, ”Ayam Den Lapeh” dan ”Sansaro Badan”. Lagu Batak ”Sigulempong”, lantas ”Goro-Gorone” dari Ambon, dan ”Anging Mamiri” dari Makassar. Kemudian, ada ”Ampar-ampar Pisang” dengan bahasa Melayu Banjar dan lagu berbahasa Sunda, ”Bubuy Bulan”.
Lagu tersebut sering diperdengarkan Radio Republik Indonesia sebagai satu-satunya radio siaran yang banyak didengar publik pada era 1960-an. Sebagai catatan, radio swasta baru ramai sekitar tahun 1967.
Grup pelantun lagu daerah bermunculan dengan awak dari berbagai daerah, di antaranya Orkes Taboneo dan Orkes Rindang Banua pelantun lagu-lagu Melayu Banjar dengan awak dari Kalimantan. Ada Orkes Gumarang, Bukit Siguntang, dan Kumbang Cari yang memainkan lagu Minang. Kemudian, ada Orkes Sinondang Tapian Na Uli yang membawakan lagu Tapanuli.
Orkes Studio Medan dan Orkes Tropicana pembawa lagu Melayu Deli. Orkes Didy Pattirane pembawa lagu-lagu Ambon. Kemudian, lagu-lagu Sulawesi ada Orkes Massenrempulu dan Orkes Mareja Redja yang memainkan lagu Makassar. Juga kelompok Dasarama yang mengiringi Lenny Beslar membawakan lagu ”Pakarena”.
Lagu-lagu daerah ini bersanding dengan lagu hiburan atau lagu pop. Bagaimana dengan lagu ”Barat” atau lagu-lagu dari bintang-bintang pop, mulai dari Elvis Presley sampai Beatles. Nah, untuk sementara, karena sikap politik Presiden Soekarno, RRI tidak berani memutar lagu-lagu Barat terkhusus lagi yang berjenis rock n’ roll. Mungkin, ini menjadi salah satu faktor melebarnya ruang putar untuk lagu-lagu pop Indonesia dan lagu-lagu daerah.
Pidato Bung Karno
Bung Karno pada 17 Agustus 1959 menyampaikan pidato kenegaraan bertajuk ”Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Kala itu, pada pidatonya yang berapi-api di Istana Merdeka, Jakarta, Bung Karno menyerang musik yang ia sebut sebagai ngak-ngik-ngok. Berikut potongan kutipan pidatonya:
”Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya anti-imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik.... Kenapa di antara engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n’ roll-rock n’ roll-an, dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi....”
Setelah pidato itu, jenis musik yang dianggap ngak-ngik-ngok tidak lagi diperdengarkan oleh RRI. Pengertian ngak-ngik ngok memang tidak dijabarkan. Akan tetapi, kemudian, ada penafsiran yang termasuk dalam kategori tersebut adalah lagu dalam bahasa Inggris. Terlebih lagu rock n’ roll.
Atas dasar pemikiran tersebut, Koes Bersaudara diperiksa Kejaksaan Tinggi Jakarta gara-gara membawakan lagu Beatles, I Saw Her Standing There, pada Juni 1965 dalam penampilan mereka di Jati Petamburan.
Baca juga: Nasionalisme Bukan Musiman
Rock n’ roll memang meriah setelah diputarnya film Rock Around the Clock pada 1957. Film ini dibintangi Bill Haley, penyanyi dan gitaris yang merupakan salah seorang dedengkot rock n’ roll. Rock semakin menjadi-jadi setelah munculnya Elvis Presley dan Beatles yang lahir pada 1962.
Namun, ada siasat jitu yang dilancarkan para penyanyi, yaitu melalui irama slow rock dengan syair menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Misalnya, Oslan Husein yang membawakan ”Bengawan Solo” karya Gesang dalam rock bertempo lambat. Ia menyanyikannya dengan gaya campuran antara Elvis Presley dan The Platters. Ada lagi Mus DS yang memopulerkan lagu berbahasa Sunda, ”Neng Geulis”, dalam irama rock n’ roll.
Pengaruh Latin
Sebelum rock n’ roll merajalela, musik irama Latin sudah banyak dimainkan dan digemari publik. Dan, rupanya musik Latin termasuk yang tidak dilarang. Nah, irama Latin inilah yang ”dipinjam” oleh seniman musik kita sebagai wadah penyampai lagu-lagu berbahasa daerah.
Saat itu, kelompok musik Latin yang berpengaruh adalah Trio Los Panchos yang dibentuk di New York, Amerika Serikat, pada 1944. Mereka terkenal dengan lagu, antara lain, ”Besame Mucho”, ”Quizas, Quizas, Quizas”, dan ”Solamante Una Vez”.
Baca juga: Antara ”Bolo-bolo”, ”Obok-obok”, dan ”Naik Delman”
Pengaruh lain yang cukup penting adalah dari Perez Prado, musisi Kuba dengan musik mambonya. Perez Prado terkenal di Indonesia sejak era 1950-an. Salah satu lagunya yang terkenal adalah ”Mambo No 5”.
Lagu ini pernah dipopulerkan kembali oleh Lou Bega pada 1999. Musik dance yang sangat perkusif ini banyak berpengaruh kepada grup pembawa lagu daerah. Bahkan, teriakan khas ”uuuuk...” ala Perez Prado tersisip di antara lagu-lagu daerah.
Orkes Gumarang pimpinan Asbon Madjid (1925-1980) merupakan salah satu yang terpengaruh musik Latin dalam memainkan lagu Minang. Mereka menggunakan perkusi yang lazim digunakan oleh grup musik Latin, seperti bongo, marakas, timbales, dan marimba.
Mereka membuat sejumlah rekaman di Perum Lokananta, Solo, Jawa Tengah, pada paruh kedua 1950-an. Sebagai catatan, perusahaan rekaman milik pemerintah itu didirikan pada 1955. Lagu mereka yang terkenal, antara lain, adalah ”Ayam Den Lapeh”, ”Oi Kampuang”, ”Badju Kuruang”, ”Laruik Sanjo”, dan ”Sempaya”.
Penyanyi lagu Minang, Elly Kasim, menilai, meski menggunakan musik Latin, nuansa keminangan Orkes Gumarang tetap tampak kental. Musik Latin Gumarang, kata Elly, menyatu dengan lagu dan syairnya. Intonasi, cengkok, cara nyanyi Gumarang dinilai Minang sekali. Orkes Gumarang, oleh Elly Kasim, disebut sebagai pelopor terbentuknya kelompok-kelompok musik pelantun lagu-lagu daerah.
Baca juga: Terdengar Seruling Benny Likumahuwa...
Hal itu diakui Anang Ardiansyah, awak Orkes Rindang Banua, yang memainkan lagu-lagu berbahasa Melayu Banjar. Seperti halnya Gumarang, Rindang Banua juga menggunakan musik Latin untuk menyanyikan lagu melayu Banjar. Salah satu lagu yang terkenal dari Rindang Banua adalah ”Paris Barantai” ciptaan Anang Ardiansyah yang sekaligus menjadi penyanyi utama lagu tersebut.
Orkes ini berawak seniman musik berdarah Banjar, Kalimantan Selatan, yang bersekolah di Jawa. Kelompok lain pembawa lagu-lagu Banjar adalah Orkes Taboneo yang juga beranggotakan perantau Kalimantan Selatan di Jawa. Mereka juga merekam lagu-lagu di Lokananta yang antara lain memuat lagu ”Saputangan Bapuncu Ampat” dan”Ampar-Ampar Pisang”.
Dalam wawancara dengan harian Kompas pada Juni 2012, Anang mengatakan bahwa Bung Karno pada akhir 1950-an memberi ruang yang luas bagi lagu-lagu daerah. ”Karena saya orang Banjar, bahasanya bahasa Banjar, cengkoknya, ya, seperti itu, cengkok Banjar. Tetapi, sebenarnya musiknya Latin. Itu karena pada zaman saya dulu band-band itu banyak memainkan musik Latin. Kami belajarnya dari Gumarang, orang Padang itu,” tutur Anang.
Lagu daerah dengan rasa Latin juga dimainkan Orkes Tropicana pimpinan Tengku Nazly yang merekam lagu-lagu di Lokananta pada 1959. Tropicana memainkan beat chacha, rumba, dan mambo, tetapi dengan nuansa lagu-lagu bercengkok Melayu. Misalnya, seperti pada lagu ”Seringgit Dua Kupang”, ”Tudung Saji”, dan ”Sri Mersing”. Belakangan, pada era 2000 awal, ”Sri Mersing” dipopulerkan kembali oleh penyanyi Malaysia, Siti Nurhaliza.
Baca juga: Cinta, Air Mata, dan Jurus Ambyar
Ada pula lagu-lagu dari wilayah kultural di bagian barat Sumatera Selatan, yaitu di perbatasan Palembang dan Bengkulu dengan ibu kotanya Lahat. Dari wilayah kultural inilah lahir lagu ”Kebile-Bile” dan ”Mutigh Tighau”. Tema lagu terasa sangat lokal. ”Mutigh Tighau”, misalnya, bicara tentang sukacita memetik jamur untuk dimasak dan disantap bersama jagung dan nasi.
Memang tidak semua pembawa lagu daerah menggunakan musik Latin, seperti Orkes Sinondang Tapian Na Uli pimpinan Gordon Tobing dari tanah Tapanuli. Pada 1958, mereka membuat rekaman lagu di Lokananta yang antara lain memuat lagu ”Rege Rege”, ”Sigulempong”, ”O Pio”, dan ”Butet”. Ada pula lagu-lagu Tapanuli, seperti dari Nahum Band pimpinan Nahum Situmorang.
Dari khazanah lagu Maluku, ada orkes Didy Pattirane yang mengiringi Bob Tutupoly membawakan lagu, seperti ”Mande-Mande” dan ”Sarinande”, yang direkam pada 1959. Ada pula lagu Sulawesi dari Orkes Massenrempulu pimpinan Muchtar Ro-e yang antara lain mengiringi penyanyi Lenny Beslar membawakan ”Dulla Kajalen-jalen”, juga Orkes Mareja Redja pimpinan Mariana Latuheru, yang antara lain membawakan ”Anging Mammiri” yang dinyanyikan Meity Joseph.
Revivalisme
Pada awal era 2000-an, ada semacam revivalisme lagu-lagu berbahasa daerah. Pelakunya adalah musisi yang mempunyai latar budaya daerah. Di antaranya adalah Ivan Nestorman, musisi kelahiran Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang menggunakan bahasa Manggarai. Salah satu lagu Ivan yang terkenal adalah ”Mogi”.
Kemudian, Mohammad Nizar atau Zarro yang bernyanyi dalam bahasa Kaili, bahasa ibu etnis Kaili yang merupakan kelompok terbesar masyarakat Sulawesi Tengah. Mereka bernyanyi dalam bahasa ibu agar kebudayaan lokal dikenal masyarakat luas sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Baca juga: Mendengar Jerit dari Belakang Panggung
Lagu berbahasa daerah memang mempunyai potensi untuk meramaikan negeri ini. Fenomena Didi Kempot dengan lagu berbahasa Jawa yang diterima orang di berbagai daerah itu menjadi salah satu pegangan. Era 1990-an pernah muncul ”Dansa Reggae” dari Nora Tilaar dengan ragam bahasa Manado.
Ada pula ”Poco-poco” dalam bahasa Ternate. Telinga orang Indonesia terbukti terbuka untuk menerima lagu dari berbagai bahasa. Lagu-lagu dari bahasa ibu yang tumbuh di pangkuan Ibu Pertiwi nyatanya pernah mereka nyanyikan dengan penuh sukacita.