Pengabaian Kebebasan Sipil Bisa Ciptakan Iklim Otoritarian
›
Pengabaian Kebebasan Sipil...
Iklan
Pengabaian Kebebasan Sipil Bisa Ciptakan Iklim Otoritarian
Pengekangan kebebasan sipil dinilai negatif bagi demokrasi. Sebab, watak politik otoritarian, antara lain, ditandai dengan makin solidnya lembaga politik kekuasaan dan makin terkekangnya kebebasan sipil.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Demokrasi Indonesia 2019 memberi sinyal peringatan mengenai skor kebebasan sipil yang menurun. Kondisi ini membawa kekhawatiran pada kecenderungan pengabaian pada kebebasan sipil yang mendukung terciptanya kembali iklim otoritarian.
Dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2019 yang dirilis Badan Pusat Statistik, Senin (3/8/2020), skor agregat IDI naik 2,53 poin dibandingkan tahun 2018. Dari tiga aspek yang diukur IDI, dua aspek membaik, yakni aspek hak-hak politik dan lembaga demokrasi. Skor aspek hak-hak politik tahun 2019 ialah 70,71, naik 4,92 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun aspek lembaga demokrasi naik 3,48 poin menjadi 78,73 (Kompas, 4/8/2020).
Adapun aspek kebebasan sipil IDI 2019 ialah 77,20 atau turun 1,26 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan itu, antara lain, disebabkan oleh masih tingginya ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Selain itu, masih ada ancaman atau penggunaan kekerasan dari kelompok agama terkait ajaran agama, serta tindakan atau pernyataan pejabat yang diskriminatif dalam hal jender, etnisitas, dan kelompok rentan lainnya.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani, yang dihubungi, Selasa (4/8/2020), mengatakan, turunnya aspek kebebasan sipil tidak menguntungkan bagi demokrasi. Fenomena itu sebenarnya sudah terlihat dalam 10 tahun terakhir. Tren kebebasan politik (political freedom) yang meliputi juga hak-hak politik dan lembaga demokrasi menguat, sedangkan hak-hak sipil (civil liberties) melemah.
”Kondisi ini menunjukkan ada pengekangan kebebasan sipil secara sistematis yang paralel dengan menguatnya kinerja organisasi dan infrastruktur politik. Ini sejalan dengan watak politik otoritarian, di mana lembaga-lembaga politik kekuasaan makin solid. Di sisi lain, pengekangan pada kebebasan sipil meningkat,” papar Ismail.
Hal ini bagian dari fenomena makin menyempitnya ruang gerak kebebasan sipil dalam demokrasi Indonesia. Faktor ini pula yang ikut mendukung demokrasi Indonesia saat ini masih merupakan demokrasi prosedural, bukan demokrasi deliberatif yang antara lain baik dalam penguatan aspek hak-hak sipil kewargaan (civic rights). Dalam demokrasi deliberatif, masyarakat sepenuhnya terlibat sebagai aktor yang dinamis dalam demokrasi.
Substansi demokrasi, menurut Ismail, belum tecermin dalam demokrasi prosedural di Indonesia, yakni ketika hanya terjadi penguatan pada lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, serta lembaga-lembaga kekuasaan di eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Akibatnya, yang menjadi perhatian ialah prosedur demokrasi, tahapan pemilihan, dan infrastruktur politik formal, sementara perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan sipil justru melemah dan terabaikan. Inti demokrasi berupa pelibatan aktif semua aktor kurang mendapat perhatian.
”Hasilnya, karena yang dipikirkan soal kelembagaan formal dan prosedur, hasil dari praktik demokrasi, antara lain digambarkan pada hasil pemilu, belum mencerminkan kehendak rakyat sebenarnya. Demokrasi pada dasarnya belum menjadi sesuatu yang dipraktikkan substantif ketika kebebasan sipil itu diabaikan,” katanya.
Dalam aspek kebebasan sipil yang terabaikan itu, ada unsur kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat; serta kebebasan berkeyakinan, beragama, dan menjalankan ibadah yang tercederai. Hal ini terpotret pula dari laporan tahunan Wahid Foundation yang menemukan masih adanya praktik pelanggaran dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun sesama masyarakat.
Dalam laporan tahunan 2019, yang memotret fenomena pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pada tahun 2018, Wahid Foundation menyebutkan ada 276 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Indonesia. Rinciannya, 130 pelanggaran itu dilakukan oleh aktor negara dan 146 pelanggaran dilakukan aktor non-negara.
Dalam laporan itu disebutkan bentuk pelanggaran yang ditemukan mulai dari intimidasi dan ancaman, pemidanaan, pembatasan dan penutupan atau penyegelan rumah ibadah, hingga pemaksaan dan pelarangan simbol atau atribut keagamaan. Selain itu, ada perusakan rumah ibadah, pelarangan ibadah, serangan fisik dan perusakan properti, hingga pemaksaan keyakinan, serta ujaran kebencian.
Manajer Program Wahid Foundation Alamsyah M Djafar mengatakan, kebebasan sipil di Tanah Air memang menghadapi tantangan berat beberapa tahun belakangan. Dalam aspek kebebasan beragama dan berkeyakinan, hal ini tidak bisa pula dilepaskan dari konteks politik lokal maupun nasional.
”Pertanyaannya, bagaimana seharusnya pembatasan itu dilakukan. Meningkatnya kasus-kasus intoleransi oleh kelompok-kelompok yang selama ini dinilai radikal, intoleran, dan melakukan ujaran kebencian memang harus ditangani oleh pemerintah. Kalau tidak, akan berdampak panjang,” ujarnya.
Perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan juga merupakan bagian dari HAM. Oleh karena itu, menurut Alamsyah, dalam melihat indikator kebebasan harus holistik. Acap kali, katanya, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan itu bertalian dengan pelanggaran HAM lainnya, seperti hak ekonomi atas pemenuhan sumber daya alam, hak lingkungan hidup yang sehat, dan hak hidup warga adat.
Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Togar Naipospos menyoroti makin terbatasnya ruang gerak masyarakat sipil dalam demokrasi di Tanah Air. Para pembela HAM, yang antara lain mendalami sejumlah isu, seperti lingkungan hidup, agraria, dan perburuhan, tidak jarang mendapatkan tindakan represif dan kriminalisasi dari aparat di daerah-daerah.
Tidak hanya itu, mereka juga menerima ancaman dari sesama masyarakat dan korporasi. Sejumlah kasus menunjukkan, kebebasan masyarakat untuk berpendapat secara tidak langsung juga dibatasi karena adanya tindakan represif tersebut. Selain tindakan represif, tidak jarang kritik yang dilontarkan oleh masyarakat dibalas dengan perundungan di media sosial dan berujung pada pembukaan data pribadi yang menjadi teror tersendiri bagi pengkritik.
”Perlindungan data pribadi harus menjadi perhatian pemerintah. Kebebasan sipil masyarakat untuk berekspresi dan berpendapat harus dijaga sehingga kebocoran data itu tidak menjadi ancaman baru bagi warga,” ujarnya.