Kegagalan Protokol
Dalam dua pekan terakhir, jumlah kasus terinfeksi korona meningkat tajam. Menurut Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, hingga pekan lalu, angka nasional mencapai 108.376 kasus positif.
Dalam dua pekan terakhir, jumlah kasus terinfeksi korona meningkat tajam. Menurut Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, hingga pekan lalu, angka nasional mencapai 108.376 kasus positif.
Grafik penyebaran virus mulai mengkhawatirkan. Hal ini terjadi sejak relaksasi atau pelonggaran kebijakan PSBB diberlakukan di daerah-daerah. Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Barat merupakan lima wilayah dengan kasus terbanyak.
Kebijakan relaksasi dalam rangka pemulihan ekonomi ternyata menimbulkan ekses negatif dengan penyebaran virus yang meluas. Muncul kluster-kluster baru penularan di pasar-pasar tradisional, permukiman, asrama atau tempat pendidikan, pusat keramaian, dan perkantoran. Semua itu menunjukkan bahwa anjuran protokol kesehatan pemerintah tidak diindahkan lagi. Berulang kali diingatkan pakai masker, jaga jarak, hindari kerumunan dan rajin cuci tangan, ternyata tidak mempan. Pemerintah gagal menegakkan protokol kesehatan.
Sanksi terhadap para pelanggar protokol kesehatan, mulai dari menyanyikan lagu-lagu perjuangan, push-up, hingga menyapu jalan, tak membuat jera. Ada kesan, semua sanksi tersebut dianggap main-main. Denda uang pun tak efektif. Masyarakat masih saja membandel. Razia dan sanksi protokol kesehatan ibarat menegakkan benang kusut. Adakah yang salah dengan masyarakat kita?
Masyarakat belum menyadari bahwa semua itu untuk kepentingan mereka, bukan pemerintah. Pengabaian demi pengabaian terus terjadi.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengubah pendekatan dan cara kampanye. Latar belakang sosial dan pendidikan tinggi ternyata tidak menjamin hadirnya kepatuhan. Indonesia saat ini berkejaran waktu antara pemulihan ekonomi dan penyelamatan jiwa. Angka kasus Covid-19 yang telah melampaui 100.000 bakal terus meningkat jika tidak ada ”rem”-nya.
Sanksi kurungan memang belum diterapkan, tetapi ada baiknya dilakukan jika tidak ada perubahan perilaku. Korban Covid-19 bukan hanya diri sendiri, melainkan juga berpotensi menulari anak, istri, keluarga, tetangga, dan masyarakat luas. Setiap orang harus bertanggung jawab.
Budi Sartono Soetiardjo
Cilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat
Surat Sehat Penumpang KA
PT KAI mewajibkan semua calon penumpang kereta api jarak jauh berbadan sehat. Hal ini dibuktikan dengan memiliki surat keterangan sehat dari dokter. Kewajiban ini patut kita apresiasi. Hanya saja, ada masalah di biaya pemeriksaan yang berbeda-beda.
Biaya pemeriksaan di Klinik Mediska, Tegal, Jawa Tengah, dan di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, misalnya, ternyata memiliki perbedaan mencolok.
Pengalaman pemeriksaan kesehatan di Klinik Mediska, Tegal, pada 27 Juli 2020, calon penumpang hanya membayar Rp 40.000. Biaya tersebut untuk tindakan paramedis dan dokter mengukur suhu tubuh, menimbang berat, serta mengukur tinggi badan dan tensi darah.
Sementara di Stasiun Senen, Jakarta—menurut siaran berita televisi, 28 Juli—biaya pemeriksaan untuk mendapat surat keterangan sehat di fasilitas kesehatan di kawasan stasiun Rp 85.000 per orang.
Mohon PT KAI bisa menjelaskan perbedaan biaya lebih mahal hingga 100 persen ini.
Dalam pada itu, untuk menekan dan ikut menanggulangi pandemi Covid-19, PT KAI juga membagikan pelindung muka (face shield) gratis kepada setiap calon penumpang. Pelantang suara di dalam kereta secara berkala juga mengingatkan para penumpang agar tetap memakai masker.
Melalui kerja sama yang baik antara para penumpang dan PT KAI sebagai perusahaan penyelenggara moda transportasi kereta api ini, mudah-mudahan kita dapat berpartisipasi menanggulangi pandemi Covid-19.
A Ristanto
Jatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Berkarakter dari Rumah
Sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 pada 24 Maret 2020—kemudian disusul surat keputusan dinas pendidikan setiap daerah—kegiatan pembelajaran yang semula berlangsung di sekolah atau kampus dialihkan di rumah.
Termasuk di dalamnya keputusan dibatalkannya ujian nasional (UN) 2020. Keputusan untuk mencegah penularan Covid-19 ini demi kesehatan para siswa, guru, dan semua warga sekolah sebagai hal vital. Di sisi lain, adalah hak peserta didik untuk tetap mendapatkan layanan pendidikan.
Kegiatan belajar dari rumah membuat pembiasaan-pembiasaan baik yang setiap hari dilakukan di sekolah bisa luntur jika terabaikan di rumah. Kedisiplinan bangun pagi, doa sebelum beraktivitas, memberi salam, pola belajar yang terjadwal rapi, kedisiplinan, doa mengakhiri aktivitas, dan pembiasaan-pembiasaan lain yang sudah terprogram di sekolah bisa ambyar di rumah. Inilah tantangan berat bagi orangtua selama masa darurat Covid-19.
Orangtua berperan ganda sekaligus sebagai guru yang harus mendampingi dan memfasilitasi putra-putri mereka selama belajar di rumah. Budget keluarga jadi membengkak karena harus menyediakan kuota internet sebagai sarana belajar dari rumah. Tidak kalah penting, mereka harus menanamkan pembiasaan-pembiasan yang sudah terlaksana di sekolah. Tantangan semakin berat apabila kedua orangtua bekerja di luar rumah.
Betapa pun berat tugas atau tanggungan orangtua saat ini, mari kita laksanakan dengan penuh keikhlasan. Betapa pun repotnya mendampingi anak belajar dari rumah, jangan abaikan pembiasaan-pembiasaan baik untuk bekal mereka menghadapi tantangan zaman.
Mari kita berikan yang terbaik untuk anak-anak kita karena merekalah investasi masa depan. Di tangan mereka juga negara dan bangsa tercinta ini akan dibawa.
Semoga keikhlasan dan karakter baik yang Bapak Ibu teladankan dalam mendidik dan mendampingi peserta didik membuat mereka menjadi manusia utuh dan unggul.
Adrianus Sugiarta
Pendidik di SD Pangudi Luhur, Yogyakarta
Devisa Pariwisata dari Pensiunan
Sejawat Dr Gede Panca dari Bali pernah menulis, dunia kini didominasi komunitas usia lanjut. Tahun 2025, jumlah penduduk berusia di atas 60 tahun, mengutip proyeksi PBB, mencapai sepertiga populasi dunia. Tertinggi ada di Jepang, lalu disusul Belanda, Perancis, Jerman, dan Italia.
Untuk Jepang saja, dari 124 juta jiwa populasi, ada 27,8 persen atau 34,5 juta warga senior umur 65 tahun ke atas. Mereka sehat, sejahtera, sehingga banyak berwisata. Ini pasar besar bagi sektor pariwisata kita.
Saya mengamati lebih dari 15 tahun, visa pensiunan di Bali kian tahun kian meningkat. Artinya, semakin banyak orang asing berusia lanjut yang berminat tinggal lama di Bali.
Ada kesan kian banyak orang asing tidak hanya ingin berhari tua di Bali, tetapi juga kepengin mati di Bali. Kita melihat makin banyak kluster vila dibangun pribadi oleh kelompok sekerabat. Ada orang Jerman, Korea, Australia, selain orang Jepang.
Sejawat Dr Gede menulis: pariwisata usia lanjut semakin diminati dan dianggap sebagai sektor sangat penting di seluruh dunia. Global aging bukan hanya tantangan, melainkan juga membawa peluang ekonomi sangat besar. Dr Gede punya gagasan mengintegrasikan pariwisata kaum pensiunan mancanegara dengan aktivitas pertanian di Buleleng, Bali utara.
Saya mengamati kaum senior mancanegara yang ke Bali memilih tinggal lama di Bali utara, bukan di Kuta, Sanur, Nusa Dua, Jimbaran, atau wilayah Bali selatan lainnya. Wisatawan sepuh tidak suka hiruk pikuk seperti di Bali selatan, yang mungkin lebih cocok untuk wisatawan muda.
Bali utara, Kabupaten Buleleng, masih terasa kental Bali, selain tenang dan sepi. Di Bali selatan hanya ada pantai. Sementara di Bali utara, selain pantainya terpanjang di Bali, ada danau, hutan, bukit, dan gunung. Di Bali utara banyak situs bersejarah, megalitikum, dan pusat Bali purba (baliage).
Ini peluang emas kita meraup devisa lebih besar. Selain devisa, dengan lamanya orang asing tinggal di Bali, properti Bali bisa bangkit. Bakal banyak permintaan permukiman hari tua untuk segala bangsa.
Pensiunan yang memutuskan hari tua di Bali akan lebih tertarik kalau cukup bawa koper, tinggal di hunian hari tua dengan segala fasilitas yang dibutuhkan daripada harus mencari lahan dan membangun hunian sendiri. Dengan tinggal di permukiman yang lengkap fasilitasnya untuk kaum senior, akan terbangun komunitas untuk menampung pensiunan segala bangsa. Ini memberi jaminan hilangnya rasa kesepian hidup, bermukim di wilayah yang lebih nyaman, aman, tenteram, dan indah seperti Bali. Properti semacam ini menjadi peluang emas ketika dari sektor lain kita kehilangan peluang.
Handrawan Nadesul
Jalan Metro Alam, Pondok Indah, Jakarta
Inspirasi Korupsi
Berita tentang korupsi kian masif mengisi ruang dan waktu publik. Begitu mudah orang korupsi, cuci uang, dan hidup berfoya-foya di luar negeri.
Pulang ke Indonesia pun dengan penjemputan. Dikawal, didampingi, dituntun dengan selamat sampai Indonesia. Selanjutnya, aparat hukum sosialisasi ke publik karena terdesak tuntutan masyarakat.
Lantas media melambungkan nama koruptor sampai ke langit. Koruptor mendapat perlakuan bak pahlawan, bahkan melebihi pejabat negara.
Koruptor tidak menanggung biaya transportasi, sebaliknya difasilitasi negara. Berapa biaya yang dikeluarkan negara untuk mengurus seorang koruptor? Logika kita jadi tumpul.
Orang kecil jangankan piknik, untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar saja harus membanting tulang memeras keringat. Itu pun hanya untuk menyambung hidup pas-pasan.
Bandingkan dengan nasib koruptor. Bergelimang uang, begitu divonis masuk bui hidupnya ditanggung negara, selama di bui bisa jalan-jalan dengan alasan berobat, dapat remisi, bebas dari bui masih kaya raya dari hasil korupsi.
Menyaksikan fenomena ini saya sungguh khawatir, perilaku koruptor bisa jadi sumber inspirasi lintas generasi. Semoga tidak terjadi.
Yes Sugimo
Jalan Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung