Program transisi energi harus menjadi isu publik atau nasional. Perlu cara atau pendekatan baru agar isu ini mudah dipahami, dimengerti, dan yang penting dilaksanakan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Pekan lalu, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Inggris meluncurkan program bersama yang dinamai program Mentari. Mentari adalah akronim dari Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia. Program Mentari bagian dari strategi mencapai bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 mendatang.
Kenapa menggandeng Inggris? Dalam keterangan resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Inggris dianggap lebih berpengalaman dalam mengembangkan energi terbarukan. Inggris dinilai sukses menurunkan pemakaian sumber energi fosil sejak pandemi Covid-19 melanda. Bahkan, pada Juli lalu, Inggris menggelontorkan dana yang setara dengan Rp 73 triliun untuk program pemulihan ekonomi lewat pengembangan energi terbarukan.
Mengutip data dari Departemen Bisnis, Energi, dan Strategi Industri Pemerintah Inggris pada 2019, sumber energi terbarukan berperan 36,9 persen dalam bauran energi di Inggris. Sumber energi primer pembangkit listrik di Inggris masih didominasi oleh gas yang mencapai 40,9 persen, sedangkan tenaga nuklir berkontribusi 17,4 persen. Berikutnya adalah bahan bakar minyak 2,7 persen dan batubara 2,1 persen.
Dalam Kebijakan Energi Nasional di Indonesia, pada 2025 peran energi terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional. Angka itu itu naik menjadi 31 persen pada 2050. Peningkatan itu seiring dengan pengurangan sumber energi fosil, seperti batubara yang sebesar 30 persen pada 2025 menjadi 25 persen tahun 2050. Begitu pula peran minyak bumi diturunkan dari 25 persen tahun 2025 menjadi 20 persen pada 2050.
Porsi 25 persen pada 2025 setara dengan kapasitas terpasang listrik 45.000 MW. Jenis energi terbarukan yang paling diandalkan adalah pembangkit listrik tenaga hidro sebesar 17.900 MW dan diikuti tenaga panas bumi 7.200 MW. Yang lainnya adalah tenaga bayu, surya, bioenergi, dan bahan bakar nabati. Namun, usaha mencapai ke arah tersebut perlu terobosan mengingat saat ini porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional masih kurang dari 10 persen.
Apa latar belakang idealisme meningkatkan energi terbarukan di Indonesia? Salah satunya adalah wujud komitmen Indonesia yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris 2015. Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau sebesar 41 persen dengan dukungan internasional. Angka 29 persen setara dengan hampir 400 juta ton emisi CO2 pada 2030 nanti.
Penyebab lainnya adalah sumber daya energi fosil di Indonesia yang suatu saat pasti akan habis. Cadangan minyak mentah Indonesia disebut hanya sekitar 3 miliar barel yang diperkirakan habis dalam satu dekade mendatang apabila tak ditemukan cadangan baru berskala besar. Begitu pula cadangan batubara dan gas bumi yang kian terus berkurang lantaran produksi yang masif dari tahun ke tahun.
Di satu sisi, Indonesia dikenal sebagai ”Timur Tengah”-nya energi terbarukan di dunia. Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa potensi tenaga panas bumi di Indonesia mencapai 25.400 MW dengan pemanfaatan sekarang hanya 2.000-an MW. Sementara potensi tenaga hidro mencapai 75.000 MW dengan pemanfaatan kurang dari 6.000 MW. Adapun potensi tenaga bayu mencapai 60.000 MW dan tenaga surya sebesar 207.000 MW. Dua jenis energi terbarukan yang terakhir ini pemanfaatannya masih sangat minimal.
Persoalannya adalah bagaimana isu transisi energi dengan mengurangi penggunaan energi fosil untuk beralih ke energi terbarukan menjadi isu nasional. Bukan sekadar isu di Jakarta atau eksklusif bagi kelompok tertentu saja. Publik, sebagai konsumen utama dari energi, harus disadarkan dan diberi pemahaman pentingnya transisi energi.
Kampanye perubahan iklim akibat pemanasan global harus membumi. Tak cukup diinformasikan bahwa suhu bumi mulai naik seiring dengan naiknya permukaan air laut. Begitu pula informasi tentang berkurangnya tutupan es di kutub utara. Harus dilakukan cara kampanye dengan pendekatan baru agar isu-isu tersebut terasa lebih dekat dengan keseharian masyarakat di Indonesia.
Hanya saja, yang perlu digarisbawahi adalah apabila penggunaan energi terbarukan digencarkan, bagaimana nasib pembangkit listrik yang dioperasikan PLN?
Ingat, dalam bauran sumber energi pembangkit listrik Indonesia, sebesar 64 persen masih mengandalkan batubara. Ada angka ribuan triliun rupiah pada investasi pembangunan pembangkit listrik oleh PLN. Ini juga harus dipikirkan.