Polisi Selidiki Kematian Petani di Kalteng yang Terbakar di Kebunnya
›
Polisi Selidiki Kematian...
Iklan
Polisi Selidiki Kematian Petani di Kalteng yang Terbakar di Kebunnya
Salimuddin (63), petani asal Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, tewas terbakar di kebunnya sendiri. Ia diduga meninggal saat sedang membersihkan lahannya dengan cara membakar.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Salimuddin (63), petani asal Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, tewas terbakar di kebunnya sendiri, Minggu (2/8/2020). Ia diduga meninggal saat sedang membersihkan lahannya dengan cara membakar. Polisi terus mengumpulkan petunjuk untuk menyelidiki kasus tersebut.
Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Barat Ajun Komisaris Besar Dharma Ginting menjelaskan, hasil penyelidikan awal, korban diduga kehabisan oksigen karena terjebak di kebun yang sedang dia bakar. Salimuddin ditemukan oleh anggota keluarganya, Yeni (30), yang mencarinya karena tak kunjung pulang ke rumah.
”Saat ditemukan, sudah dalam keadaan tak bernyawa dengan luka bakar di sekujur tubuh. Lalu saksi memanggil anggota keluarga lain sampai akhirnya sampai di polres,” ungkap Dharma saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa (4/8/2020).
Dharma menjelaskan, kejadian itu terjadi pada Minggu (2/8) sore. Setelah mendapat informasi tersebut, polisi langsung ke lokasi untuk membawa jenazah ke rumah sakit guna dilakukan visum.
”Hari ini (Selasa) kami kirim tim Inafis untuk mencari petunjuk-petunjuk lain terkait kejadian tersebut. Lokasi atau kebun itu pun sudah diberi garis polisi untuk memudahkan penyelidikan,” kata Dharma.
Menurut Dharma, saat diperiksa, tidak ditemukan luka akibat benda tumpul maupun tajam di bagian tubuh korban. Tim dokter menyimpulkan, penyebab kematian diduga korban sempat kehabisan napas, lalu terbakar saat api meluas.
Korban, lanjut Dharma, diduga sedang membersihkan lahan karena sudah mulai awal musim tanam. Korban hendak menanam padi ladang di lokasi yang memang merupakan lahan gambut yang sudah mulai mengering.
Tim dokter menyimpulkan, penyebab kematian diduga korban sempat kehabisan napas, lalu terbakar saat kobaran api meluas.
Di Kalteng, meski sudah terdapat larangan membakar lahan, tetap masih ada petani yang membuka dan membersihkan kebun dengan cara membakar, seperti dilakukan Salimuddin. Namun, hal itu masih menjadi polemik karena membakar lahan juga disebut sebagai bagian kearifan lokal.
Adapun pemerintah dan DPRD Provinsi Kalteng saat ini telah membuat Peraturan Daerah tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Dalam kebijakan itu, masyarakat hukum adat bisa membakar lahan, tetapi dengan beragam syarat. Salah satunya, mereka bisa membakar di lahan yang bukan tanah gambut.
Anggota DPRD Provinsi Kalteng, Freddy Ering, menambahkan, masyarakat boleh membakar lahan, tetapi mereka harus tergabung dalam masyarakat hukum adat atau komunitas tertentu. Selain itu, mereka juga tetap harus meminta izin kepada pemerintah desa hingga tokoh adat Dayak yang diwakili mantir ataupun damang di wilayah tertentu.
”Perda ini belum dinomori, jadi belum bisa disosialisasikan, tetapi sudah ditandatangani oleh eksekutif maupun legislatif,” kata Freddy.
Pemprov Kalteng, sejak 1 Juli 2020, juga sudah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga 20 September 2020. Selain untuk mengantisipasi potensi kebakaran hutan dan lahan lebih cepat, keputusan itu juga mengacu prediksi Stasiun Meteorologi Kota Palangkaraya terkait puncak musim kemarau yang diperkirakan akhir Juli hingga September.
Prakirawan Stasiun Meteorologi BMKG Kota Palangkaraya, Alfandi, menjelaskan, saat ini wilayah Kalteng sedang mengalami masa peralihan musim dari musim hujan ke kemarau. Meski beberapa wilayah masih dilanda hujan, sebagian daerah sudah mulai kering.
Selain memberikan peringatan banjir, BMKG setempat juga mengingatkan potensi kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah.
”Di beberapa daerah terjadi ketidakstabilan keadaan udara atau atmosfer sehingga masih ada yang hujan dan ada daerah yang sudah masuk musim kemarau,” ucapnya.
Alfandi menjelaskan, ketidakstabilan itu secara tidak langsung memengaruhi kondisi cuaca, termasuk intensitas hujan. Selain memberikan peringatan banjir, BMKG setempat juga mengingatkan potensi kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah.