Pandemi Covid-19 membuat wajah dunia pariwisata berubah drastis. Dari segi bahasa, penggunaan kata wisata, wana, dan tirta dalam kehidupan sehari-hari menarik untuk diulas secara khusus.
Oleh
André Möller, Penyusun Kamus Swedia-Indonesia
·3 menit baca
Sejak wabah Covid-19 menimpa dunia awal tahun ini, kepariwisataan berubah drastis. Karena sedang mustahil berwisata dengan aman, cukup kami renungkan beberapa kata ”wisata” saja untuk sementara. KBBI mengartikan ”wisata” sebagai verba dengan makna: ’1. bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya), bertamasya; 2. piknik’.
Selain aneh bahwa ”wisata” adalah verba (semestinya nomina menurut saya, dan Tesamoko setuju), aneh pula bahwa seorang diri tidak mungkin berwisata sebab mesti dilakukan bersama-sama. (Fenomena piknik pernah saya bahas di sini pada Agustus 2017.)
Berdekatan dengan ”wisata”, terdapat ”pariwisata" yang dijelaskan KBBI sebagai ’yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi; pelancongan; turisme’ dan dengan demikian adalah nomina. Karena Tesamoko menganggap ”wisata” juga sebagai nomina, ia menyinonimkannya dengan ”pariwisata”.
Asal-usul kedua kata ini harus dicari dalam bahasa Sansekertanya ”pravasita”, dan kemungkinan besar bahwa kata ”wisata” dalam bahasa Indonesia hanyalah singkatan dari ”pariwisata” (de Casparis: 1997). Dengan demikian, lebih aneh lagi menganggap satunya sebagai verba dan satunya lagi sebagai nomina.
Terdapat sejumlah jenis wisata, misalnya wisata alam (’perjalanan yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan tata lingkungannya sebagai objek tujuan wisata’), wisata kuliner (’wisata yang dilakukan untuk meniknati aneka ragam masakan dari berbagai daerah’), dan wisata rohani (’wisata untuk menambah, memperkaya, memperkuat iman, seperti ziarah ke tempat suci’). Jenis-jenis wisata ini terasa lumrah secara kebahasaan sebab mereka mengikuti kaidah-kaidah tata bahasa yang jelas.
Yang menarik perhatian saya dari awal, dan yang mendorong saya menulis kolom ini, ”wanawisata”. Jenis wisata ini bukan saja ditulis secara serangkai, melainkan juga diakhiri (bukan dimulai seperti yang lainnya) dengan kata ”wisata”. Sejujurnya, sebelumnya saya juga tidak tahu bahwa ”wana” itu artinya ’hutan’. Usulnya lagi-lagi bahasa Sansekerta (dalam bentuk ”vana”).
Dengan demikian, ”wanawista” adalah ’wisata yang tujuan atau sasarannya adalah hutan’. Mengapa tidak disebut ”wisata wana”, saya tak paham. Saya mencoba meyakinkan diri dengan mengatakan bahwa mungkin lebih pas kalau dua kata yang berasal dari bahasa Sansekerta tetap mengikuti susunan kata aslinya. Pendapat ini segera gugur.
”Tirta” juga berasal dari bahasa Sansekerta (”tirtha”), dan maknanya adalah ’air’. Dalam agama Hindu, ”tirta” sering dipahami sebagai air suci atau bahkan sebagai tempat suci secara lebih luas, tapi dalam bahasa Indonesia ia hanya direkam sebagai ’tirtawisata” dalam kamus-kamus akan mengecewakan. Sebaliknya, yang mencari ”wisata tirta” akan merasa beruntung. KBBI menjelaskannya sebagai ’kegiatan wisata yang berhubungan langsung dengan air atau dilakukan di perairan pantai, danau, dan sebagainya’.
Walaupun bentuk ”wanawisata” dan ”wisata tirta” bisa membuat pusing seseorang yang berusaha merenungkannya, saya akan memakainya ketika wabah selesai. Ngapain di Bali? Wisata tirta. Kok ke Kalimantan lagi? Wanuwisata, dong. Setidaknya orang yang pernah membaca kolom ini akan menangkap maksud saya. Semoga segera terwujud.