Beirut, Libanisasi, Sebuah Catatan Wartawan ”Kompas”
Ledakan dahsyat terjadi di Beirut, kota berpenduduk 2,2 juta jiwa, Selasa (4/8/2020) sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Inilah catatan wartawan ”Kompas” yang singgah di Beirut, akhir tahun 2012.
Beirut, lewat tengah malam, di akhir tahun 2012. Kami tiba di ibu kota Lebanon itu ketika penduduk kota tersebut sedang dalam pelukan mimpi. Tak pernah menduga bahwa pada akhirnya kami menginjakkan kaki di negeri yang pernah terkoyak oleh perang saudara selama 15 tahun (1975-1990).
Tidak pernah terbayangkan bahwa kota seluas 20 kilometer persegi yang disebut ”Paris dari Timur”—sekarang jumlah penduduk Metro Beirut sekitar 2,2 juta jiwa—itu dulu menjadi ajang pertempuran. Di kota inilah perang kota pernah terjadi.
Namun, seorang kawan pernah berpesan: ”Jangan biarkan malam Beirut berlalu begitu saja. Kota itu bersolek begitu cantik.” Memang, letak kota yang berada di bibir pantai Laut Tengah dan berpunggung rangkaian Pegunungan Lebanon menjadikan Beirut bagaikan gadis molek yang duduk bersandar di sebuah kursi.
Jika malam tiba, lereng Pegunungan Lebanon berubah menjadi lautan nyala lampu listrik bagaikan sejuta kunang-kunang yang mengambang di atas hamparan persawahan. Sungguh sangat menakjubkan, berkilau-kilau bagaikan hamparan permata.
Kota yang indah itu, pada 1991, memunculkan kata baru dalam bahasa Perancis, Libanisation, atau Lebanonization (Inggris). Kata itu dalam kamus bahasa Perancis, Larousse, diartikan sebagai processus de fragmentation d’un État, resultant de l’affrontement entre diverses communautés—proses fragmentasi (pemecahan menjadi kepingan) suatu negara sebagai hasil konfrontasi komunitas yang bermacam-macam. Pendek kata, Libanisasi adalah proses terpecah belahnya Lebanon.
Istilah ini, Libanisation, menggantikan istilah yang lebih dulu muncul, yakni Balkanisation. Istilah Balkanisation mengacu pada lahirnya negara-negara kecil di Semenanjung Balkan yang semula hampir seluruhnya di bawah kekuasaan Kesultanan Ottoman menjadi sejumlah negara yang lebih kecil antara tahun 1817 dan 1912.
Baca juga: Pascaledakan di Beirut, Tawaran Bantuan dari Sejumlah Negara Mengalir ke Lebanon
Namun, istilah ini menjadi umum digunakan setelah akhir Perang Dunia I untuk menyebut munculnya negara-negara baru setelah runtuhnya Kekaisaran Austro-Hongaria dan Kesultanan Ottoman. Istilah tersebut juga digunakan untuk menyebut konflik etnik yang terjadi di negara multietnik.
Pada awal tahun 1990-an, Balkanisasi terjadi di Yugoslavia yang menghasilkan negara Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Macedonia, Montenegro, Serbia, dan Slovenia. Setelah Uni Soviet runtuh, muncul sejumlah negara baru—banyak di antaranya yang secara etnik campuran serta tidak stabil dan akhirnya pecah konflik di antara mereka. Hélène Carrère d’Encausse dalam The End of the Soviet Empire (1990) membahas Lebanonization of Caucasus, Libanonisasi Kaukasus, saat menjelaskan konflik antara orang-orang Armenia Kristen dan Azeris Muslim Syiah untuk memperebutkan enklave Nogorno-Karabakh Armenia (William Harris: 2006).
Lebanon dan Libanonisasi adalah sebuah sejarah. Selama ini hubungan antarumat beragama di Lebanon tidak menjadi masalah sejauh tidak masuk ke ranah politik; politik yang pada dasarnya adalah panggung untuk memperebutkan kekuasaan sehingga dalam banyak hal menghalalkan segala cara. Orang yang sama agamanya pun bisa saling menabrak, saling memotong, saling menjatuhkan, dan berusaha saling mengalahkan, apalagi berbeda agama. Perang saudara di Lebanon (1975-1990) sebagai contoh.
Sejak tahun 1943, setelah menandatangani Pakta Nasional Informal, mereka menganut sistem politik yang disebut confessionalism, yakni pembagian kekuasaan berdasarkan komunitas agama menurut hasil sensus 1932. Sistem politik itu dipilih untuk mengatasi konflik sektarian sekaligus menggambarkan keanekaragaman mereka. Menurut kesepakatan itu, jabatan presiden diberikan kepada Kristen Maronit (yang waktu itu jumlahnya paling besar), perdana menteri untuk Muslim Sunni, dan ketua parlemen untuk Muslim Syiah.
Baca juga: Ledakan Dahsyat di Beirut, Sedikitnya 78 Orang Meninggal
Salah satu penyebab perang saudara itu adalah berubahnya perimbangan sektarian. Dominasi Kristen Maronit goyah ketika Lebanon kebanjiran pengungsi Palestina (mayoritas Muslim Sunni) akibat konflik Arab-Israel dan mobilisasi komunitas Muslim Syiah Lebanon di wilayah selatan, yang ketika itu secara politik dan ekonomi terpinggirkan.
Perang memang pecah karena milisi Kristen, Phalangist, bentrok dengan faksi-faksi Palestina berkait dengan penyelundupan senjata untuk melawan Israel di wilayah Lebanon. Namun, konflik dengan cepat berubah menyangkut sistem politik dan negara Lebanon. Ratusan ribu orang tewas dan terluka. Masyarakat terpecah belah dan trauma perang yang berkepanjangan. Lebanon pun nyaris ambruk.
Perang diakhiri dengan ditandatanganinya Dokumen Kesepahaman Nasional (1989) yang disebut Kesepakatan Taif. Kesepakatan ini menegaskan kembali ke sistem politik confessionalism.
Namun, kini komposisi penduduk berubah, apalagi dengan membanjirnya pengungsi dari Suriah yang mencapai 2 juta jiwa. Kristen Maronit tidak lagi menjadi kelompok masyarakat mayoritas (sensus 1932, Kristen 51 persen; Muslim 49 persen), kini Muslim 54 persen dan Kristen 40,5 persen. Bahkan, menurut daftar pemilih 2016 (The Economist, 2018), jumlah orang Kristen ”hanya” 37 persen dari total pemilih. Ada keinginan untuk memperbarui kesepakatan politik itu, tetapi mereka khawatir akibat tindakan itu berdasarkan pengalaman sejarah: konflik sektarian. Lebanon sulit lepas dari sandera agama.
Sejarah mencatat, tidak jarang kehadiran agama menimbulkan kekerasan yang terungkap dalam sikap doktriner, otoriter, eksklusif, dan kekerasan fisik. Hal itu terjadi lantaran ada perbedaan antara pemahaman dan penghayatan.
Hannah Arendt, filsuf politik, mengingatkan, ”Kita tergoda mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideologi dan menodai usaha yang telah kita perjuangkan melawan totalitarianisme dengan suatu fanatisme. Padahal, fanatisme adalah musuh besar kebebasan.” Fanatisme selalu menimbulkan masalah: konflik dan kekerasan. Fanatisme merupakan ideologi antidemokrasi.
Mengutip pendapat Imam Besar Al-Azhar Mesir Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, agama dan politik masing-masing memiliki karakter berbeda. Agama semestinya menjadi sumber moral untuk menuntun politik demi memperjuangkan kebaikan umum, kesejahteraan bersama.
Dan, yang perlu diingat, Lebanon bukan sekadar negara, ia adalah sebuah risalah, sebuah dokumen tentang hubungan antarumat manusia yang saling menghormati. ”Lebanon adalah sebuah pesan kebebasan dan sebuah contoh pluralisme bagi Timur dan Barat,” kata Paus Yohanes Paulus II tahun 1980-an.
Sumber: Harian Kompas, Minggu, 6 Mei 2018, halaman 4