Covid-19 dan Aspek Historikal Struktural BUMN
Usaha Presiden Jokowi menciptakan ”duet” Airlangga-Erick dengan Budi Gunadi Sadikin bertindak sebagai asisten telah sekaligus menggambarkan sebuah kondisi baru: BUMN-led Economy. Usaha memberi napas bagi perekonomian.
Berita Kompas (21/7/2020) dengan judul ”Kesehatan-Ekonomi di Satu Kendali” memberi gambaran sebuah langkah politik-ekonomi Presiden Joko Widodo yang tak berpreseden dalam ”sejarah” kebijakan ekonomi Indonesia.
Sebagaimana akan ditinjau, ”duet” Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Perekonomian)-Erick Thohir (Menteri BUMN) yang dibantu Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin merefleksikan pandangan ”tak konvensional” kebijakan ekonomi baru itu. Pandemi Covid-19, yang juga tak berpreseden itu, memang telah memaksa restrukturisasi kewenangan aktor-aktor ekonomi negara.
Pada landasan apa uraian selanjutnya harus dilakukan? Ini bisa dimulai dari pendapat mantan Menteri Keuangan M Chatib Basri yang juga termuat dalam berita Kompas itu. Chatib Basri mengisyaratkan pendekatan ”konvensional” yang selama ini dianut bisa tak efektif, yaitu pemberian ”insentif” fiskal untuk mendongkrak kinerja dunia usaha. Dalam situasi permintaan tak bergairah, aksi ”konvensional” ini berpotensi tak mengenai sasaran.
Berbeda dengan bencana finansial 1997-1998, ”krisis ekonomi Covid-19” secara substansial memperlihatkan jenis masalah lain. Jika yang pertama berlangsung ”terbatas secara geografis”, dalam pengertian hanya melanda negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur, yang kedua merata secara global.
Pandemi Covid-19, yang juga tak berpreseden itu, memang telah memaksa restrukturisasi kewenangan aktor-aktor ekonomi negara.
Jika yang pertama masih memperlihatkan ”secercah cahaya harapan” (karena permintaan negara-negara yang tak kena krisis akan ekspor barang dan jasa tetap tinggi), yang kedua menyodorkan ”teka-teki” gelap, yaitu soal kepastian kapan vaksin virus itu ditemukan.
”Teka-teki” gelap yang belum menemukan jawaban definitifnya inilah yang menahan agresivitas perekonomian. Maka, jangankan Indonesia, perekonomian global, seperti ditulis ekonom A Prasetyantoko di Kompas pada hari yang sama, diprediksi tumbuh minus 4,9 persen pada 2020 ini. Dalam arti, kecuali ”sedikit” ruang fiskal, instrumen-instrumen kebijakan ”konvensional” yang pernah dipakai mengatasi krisis finansial 1997-1998 tidak banyak membantu menahan krisis ekonomi akibat Covid-19.
Pertanyaannya adalah apa implikasi struktural di masa depan dari aksi perombakan hierarki dan struktur kewenangan ”konvensional” Presiden Jokowi dalam bentuk penggabungan wewenang penanganan kesehatan dan ekonomi dan memberi tanggung jawab kepada duet Airlangga-Erick? Dan karena andalannya adalah BUMN di bawah Erick, dapatkah tangan-tangan ekonomi negara ini mewujudkan wajah dan peranannya lebih berbeda di masa depan?
”Great demarcation”
Frasa great demarcation ini ”dipinjam” Thomas Piketty dari buku R Blaufarb, Great Demarcation: The French Revolution and the Invention of Modern Property (2016). Untuk konteks aspek historikal-struktural BUMN, saya menggunakannya dari buku terbaru ”supertebal” Piketty, Capital and Ideology/2020).
Dengan great demarcation, Piketty menemukan konsep penjelasan perubahan radikal gabungan sistem hukum dan ekonomi Perancis pascarevolusi ”berdarah”-nya pada 1789. Efeknya berpengaruh ke seluruh Eropa. Melalui semangat ”reformasi menyeluruh”, walau tetap bersifat eksperimental, The French National Assembly (Dewan Nasional Perancis) produk revolusi menghapus hak kepemilikan kekayaan raja dan kerajaan dan menasionalisasikannya menjadi milik negara modern.
Tindakan ini memengaruhi struktur politik-ekonomi masyarakat Perancis. Karena kepemilikan kekayaan kaum feodal, ”kaki raja dan kerajaan” di tengah masyarakat, juga gereja, ikut terhapus, maka hak-hak istimewa ekonomi kelompok dominan zaman baheula atau ancien regime Perancis berakhir untuk selamanya.
Walau berjarak berabad-abad, peristiwa ini berkaitan dengan konsep dan eksistensi BUMN. Sebab, melalui apa yang disebut Piketty sebagai the invention of property, revolusi itu memperkenalkan sistem kepemilikan kekayaan baru yang disahkan secara hukum.
Berbeda dengan ancien regime, di mana raja memiliki seluruh kekayaan dan mendistribusikannya kepada kaum feodal, dalam masa modern properti kepemilikan itu beralih kepada negara modern dan aktor swasta.
Walau berjarak berabad-abad, peristiwa ini berkaitan dengan konsep dan eksistensi BUMN.
Sampai di sini, kita menemukan relevansi dari frasa great demarcation: penghapusan ”pamungkas” sistem kepemilikan lama dan berganti kepada yang modern yang memberi jejak perubahan besar-besaran sejarah sosial-politik dan ekonomi baru. BUMN, dalam sistem ini, berada dalam kepemilikan negara modern.
Revolusi borjuis dan negara
Akan tetapi, sistem dan kepemilikan dalam ketentuan baru ini berlangsung dinamis dan, pada hemat saya, mewarnai hubungan dua kekuatan utama dunia modern: negara dan aktor modal swasta. Ini terjadi karena baik konsep maupun wujud kekayaan itu berlangsung dinamis dan menentukan siapa unggul antara aktor swasta dan negara. Dalam buku sebelumnya, Capital in the Twenty-First Century (2014), Piketty menggambarkan transformasi konsep dan wujud kekayaan dari bentuk tanah dan government bond abad ke-19 kepada sesuatu yang lebih kompleks yang, untuk mudahnya, dianggap pasar berharga.
Bagaimana dramatisnya transformasi ini dapat digambarkan melalui frasa the struggle between land and fund (pertarungan antara tanah dan uang). Frasa yang dikutip Niall Ferguson dalam bukunya The Cash Nexus: Money and Power in the Modern World 1700-2000 (2001) dari Rural Rides (1831), karya William Cobbett ini, menggambarkan para pemegang utang pemerintah telah memperlihatkan dominasi dalam perekonomian pasca-the great demarcation di atas.
Kebutuhan membiayai peperangan di antara sesama negara Eropa pada masa itu bukan saja membuat negara ”rajin” mengeluarkan surat utang atau bond, melainkan juga memberikan perlindungan politik untuk berkembangnya stock markets (pasar saham).
Transformasi ke arah modern property memungkinkan akumulasi kekayaan kaum swasta dan memunculkan golongan baru dengan kepemilikan aset dalam jumlah tak terbayangkan. Antara 1850 dan1880, tulis Ferguson, ada 39 orang meninggal di Inggris yang mewariskan perkebunan senilai lebih dari sejuta poundsterling. Selain itu, 18 industrialis, 12 bankir, empat pemilik tanah, dua pedagang, dua pemilik dan pembuat kapal. Gabungan kekayaan mereka mencapai 57 juta poundsterling atau dua per lima produk nasional bruto Inggris.
Fakta sejarah Eropa ini menunjukkan telah terciptanya lapisan sosial tertentu dengan akumulasi kekayaan melebihi negara. Merekalah, antara lain, yang disebut the new men dan industrial enterpreneur(s) oleh sejarawan ekonomi Robert L Heilbroner dalam bukunya The Making of Economic Society (1962). Dan dengan berkembangnya teknologi yang mendukung proses industrialisasi, akumulasi kekayaan kaum kapitalis di luar kontrol negara kian besar.
Perkembangan inilah yang memberi dasar bagi bourgeois revolution, yaitu kemampuan struktural kaum pemodal dalam struktur new property itu memengaruhi kebijakan negara mengenakan sistem atau mekanisme pasar. Arus ”tekanan” ini sangat kuat. Ini terbukti pada 1834, ketika pertahanan kekuatan ”nonpasar” terakhir, Speenhamland Law (Undang-Undang Speenhamland) yang dibuat pada 1795 dihapus. Seperti dinyatakan Karl Polanyi dalam The Great Transformation (2001 [1944]).
UU ini adalah ”benteng” penahan rakyat perdesaan Eropa agar tak tercerabut dari keanggotaan parish (daerah otonom di bawah gereja tersendiri) dan tersedot ke dalam revolusi industri. Di atas itu, agar sistem atau mekanisme pasar tak turut menyerobot kaum pekerja. UU itu, kata Polanyi, effectively prevented the establishement of competitive labor market. Pencabutan UU Speenhamland itu, dengan demikian, sangat decisive dalam perkembangan hubungan modal swasta dan negara hingga dewasa ini.
Selain menambah kekuatan dengan dukungan bala tenaga kerja murah, keuntungan berlipat yang dihasilkan dari itu kian memperkokoh pengaruh kaum modal swasta di hadapan negara. Inilah, seperti dinyatakan ekonom penerima hadiah Nobel (2001) Joseph E Stiglitz dalam ”Pengantar” buku Karl Paul Polanyi yang diterbitkan kembali pada 2001, yang menjadi dasar struktural kemenangan ”ideologi pasar” yang hingga kini berlaku.
Versus ”bourgeois revolution”?
Untuk konteks Indonesia, efek the great demarcation Piketty baru berlaku pada 1958, ketika perusahaan-perusahaan asing melalui aksi nasionalisasi akhir 1957 dikukuhkan menjadi milik negara. Dalam arti kata lain, the great demarcation akibat Revolusi Perancis abad ke-18 tersebut melahirkan preseden konseptual bagi lahirnya nomenklatur kepemilikan kekayaan negara.
Akan tetapi, kemunculan kekayaan negara dalam bentuk yang terkonsolidasikan baru terjadi pada 1998 ketika Presiden Soeharto memerintahkan Tanri Abeng mendirikan Kementerian BUMN. Dalam konteks inilah, keputusan Presiden Jokowi menciptakan ”duet” Arilangga-Erick Thohir menangani kasus Covid-19 dan transformasi ekonomi patut dilihat dengan serius. Pertama, ”duet” Airlangga-Erick Thohir tersebut memberikan gambaran bagaimana negara bertindak dalam situasi krisis tak berpreseden tersebut.
Lepas dari narasi resminya, ”duet” yang dibantu Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin ini memperlihatkan ”perombakan” struktur dan hierarki kewenangan ekonomi dari yang konvensional berlaku. Kedua, krisis ekonomi akibat Covid-19 ini telah melumpuhkan perekonomian. Sebanyak 6,2 juta kaum pekerja, kata Ketua Bappenas Suharso Monoarfa dalam percakapan pribadi, telah dirumahkan baru-baru ini.
Ditambah dengan pengangguran yang telah berlangsung sebelumnya, keadaan ini melumpuhkan ekonomi. Sementara itu, dana tertumpuk di dunia perbankan tanpa penyaluran produktif, tindakan merumahkan kaum pekerja tersebut menahan aksi belanja perorangan, rumah tangga, dan korporasi (besar dan kecil).
Dalam konteks inilah, BUMN sebagai kekayaan produktif negara yang telah terkonsolidasikan menjadi tumpuan. Seruan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan kepada direksi BUMN mengintensifkan penggunaan komponen dalam negeri (TKDN), baru-baru ini, harus kita lihat dari perspektif ini. Bahwa dalam ”kelesuan” ekonomi, BUMN harus tampil sebagai ”benteng” negara dalam penyelamatan perekonomian nasional.
Dalam konteks inilah, BUMN sebagai kekayaan produktif negara yang telah terkonsolidasikan menjadi tumpuan.
Maka, usaha Presiden Jokowi menciptakan ”duet” Airlangga-Erick Thohir dengan Budi Gunadi Sadikin bertindak sebagai asisten telah sekaligus menggambarkan sebuah kondisi baru: BUMN-led Economy. Sebuah keadaan di mana, dalam kepungan Covid-19, ”napas” perekonomian nasional menjadi lebih terbantu derap kinerja BUMN.
Akan tetapi, aksi Presiden Jokowi ini secara teoretis membuka momentum baru bagi transformasi peranan BUMN yang jauh lebih berarti. Dalam laporan penelitiannya, The Shifting Geopolitics of Cornavirus and the Demise of Neoliberalism (2020), Mohammed Cherkaoui menyingkap perubahan mantra laissez passer dan laissez faire kepada rester chez sois, mourir chez soi.
Jika kedua yang pertama berarti otonomi individual untuk bergerak dan aksi usaha tanpa intervensi nonpasar, yang kedua berarti ”tinggal di rumah, mati di rumah”. Covid-19, dengan demikian, telah memberi preseden pembatasan gerak ekspansif bourgeois revolution.
Akan tetapi, aksi Presiden Jokowi ini secara teoretis membuka momentum baru bagi transformasi peranan BUMN yang jauh lebih berarti.
Meski otonomi para pemodal swasta tetap terpelihara, kemampuan mobilitas manusia dan barang yang menjadi basis kekuatan bourgeois revolution terbentur pandemi yang hingga kini tetap misterius. Sebaliknya, negara secara struktural terdorong ke depan untuk mereduksi korban rester chez, mourir chez soi di atas.
Kita tahu semua, selain regulasi negara bersifat non-ekonomi, andalan ekonomi utamanya dalam mencegah mourir chez soi itu adalah BUMN, kekayaan produktif negara yang terkonsolidasikan. Dapatkah BUMN mengambil kesempatan langka ini mentransfomasikan diri secara lebih bermakna? Mengisi ”kekosongan” yang terpaksa ditinggal partisipan bourgeois revolution? Di atas itu, mampukah ”duet” Arlangga Hartarto-Erick Thohir, bersama Budi Gunadi Sadikin, membangun sesuatu yang fundamental dari landasan yang diciptakan Presiden Jokowi?
Dua pertanyaan terakhir itu lahir atas asumsi bahwa ”pintu sejarah” hanya terbuka satu kali.
Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia)