Presiden Diharapkan Evaluasi Pengungkapan Aliran Dana Joko Tjandra
›
Presiden Diharapkan Evaluasi...
Iklan
Presiden Diharapkan Evaluasi Pengungkapan Aliran Dana Joko Tjandra
Tertangkapnya terpidana buron kasus hak tagih Bank Bali, Joko S Tjandra, bukan akhir dari proses penegakan hukum terhadapnya. Masih diperlukan upaya lain mengungkap aliran dana ke pihak lain.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tertangkapnya terpidana buron kasus hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, bukanlah akhir dari penegakan hukum terhadapnya. Masih diperlukan upaya mengungkapkan dugaan aliran dana ke pihak-pihak yang terlibat dan perbaikan menyeluruh terhadap institusi penegak hukum. Jika aparat hukum tidak mau membuka, Presiden Joko Widodo diharapkan dapat menggunakan kewenangannya mengevaluasi dan memberi batas waktu pengungkapan.
Hal itu terungkap di dalam diskusi daring ”Pasca Penangkapan Djoko Tjandra: Apa yang Harus Dilakukan?” yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), Rabu (5/8/2020), di Jakarta.
Panelis dalam diskusi itu adalah pengajar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Choky R Ramadhan; pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani; dan founder Wikrama Utama yang juga pakar asset recovery Paku Utama.
Kasus pelarian sekaligus masuknya Joko Tjandra ke Indonesia untuk mengurus permohonan peninjauan kembali memperlihatkan aparat penegak hukum belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Triliunan rupiah uang negara yang dikucurkan bagi aparat penegak hukum ternyata tidak sejalan dengan kemampuan mereka menangkap Joko Tjandra.
Choky mengatakan, kasus pelarian sekaligus masuknya Joko Tjandra ke Indonesia untuk mengurus permohonan peninjauan kembali memperlihatkan aparat penegak hukum belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Triliunan rupiah uang negara yang dikucurkan bagi aparat penegak hukum ternyata tidak sejalan dengan kemampuan mereka menangkap Joko Tjandra.
Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa ada pihak dari aparat penegak hukum yang justru membantu Joko Tjandra atau berhubungan dengannya. Yang sudah terungkap adalah beberapa perwira tinggi di Kepolisian Negara RI dan oknum jaksa dari Kejaksaan Agung.
”Keterlibatan aparat penegak hukum ini membuat masyarakat kecewa dan tidak percaya dengan proses yang dilakukan oleh institusi penegak hukum,” kata Choky.
Terkait dengan hal itu, lanjut Choky, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat masuk ke kasus tersebut. Pertama adalah jika KPK menemukan adanya aliran uang atau barang kepada penegak hukum atau aparatur sipil negara (ASN). KPK juga berpeluang menangani kasus itu berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait pemalsuan buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Menurut Choky, kasus terkait Joko Tjandra tidak hanya sekadar kasus pemalsuan surat jalan. Sebab, patut diduga adanya aliran dana kepada pihak-pihak yang membantu pelariannya.
”KPK bisa minta bantuan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk melacak apakah ada aliran uang dari Joko Tjandra atau pihak terkait kepada aparat penegak hukum untuk memuluskan pelariannya. Itu yang kami tunggu,” ujar Choky.
Menurut Julius, kasus pelarian Joko Tjandra sekaligus memperlihatkan lemahnya pengawasan internal di institusi penegak hukum, yakni di Kepolisian dan Kejaksaan serta organisasi advokat. Keseluruhan sistem peradilan pidana tidak berjalan karena tidak ada koordinasi antar-aparat penegak hukum.
Demikian pula kasus pidana dengan dugaan pemalsuan surat jalan juga dinilai terlalu biasa. Padahal, pembuatan dokumen palsu itu sebenarnya adalah sebuah kejahatan yang terorganisasi, bukan sekadar pidana biasa.
”Dokumen-dokumen negara yang begitu rahasia dan begitu tinggi tensinya karena di baliknya ada uang ratusan miliar. Maka tentu tidak gratis,” kata Julius.
Evaluasi menyeluruh penegak hukum
Menurut Bivitri, kasus terkait Joko Tjandra memperlihatkan bahwa penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggara negara jelas terlihat. Sementara asas kesamaan di hadapan hukum justru tidak terjadi. Tidak hanya Kepolisian dan Kejaksaan, kasus Joko Tjandra juga melibatkan pihak Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, serta Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Terkait dengan hal itu, lanjut Bivitri, sudah saatnya Presiden Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk melakukan evaluasi serta melakukan pembenahan menyeluruh terhadap aparat penegak hukum di bawahnya, terutama Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam hal itu, Presiden bukan bertindak untuk mencampuri proses penegakan hukum, melainkan memperbaiki aparat penegak hukum di bawahnya.
Menurut saya Presiden harus membuat time frame dan langkah konkret dengan output yang jelas, misalnya evaluasi kejaksaan. Harus ada pengungkapan kebenaran, apa yang sebenarnya terjadi di Kejaksaan, apa yang sebenarnya terjadi di Kepolisian. Kalau tidak, ya, tidak akan ke mana-mana.
”Menurut saya, Presiden harus membuat time frame dan langkah konkret dengan output yang jelas, misalnya evaluasi kejaksaan. Harus ada pengungkapan kebenaran, apa yang sebenarnya terjadi di Kejaksaan, apa yang sebenarnya terjadi di Kepolisian. Kalau tidak, ya, tidak akan ke mana-mana,” ujar Bivitri.
Paku mengatakan, dalam kerangka pemulihan aset, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah cukup memberikan petunjuk bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pemulihan aset. Demikian pula PPATK juga memiliki kewenangan untuk menelusuri rekening yang mencurigakan.
Menurut Paku, yang kemudian diperlukan aparat penegak hukum adalah teknik investigasi forensik dengan bantuan teknologi. Teknik itu diperlukan untuk memverifikasi kebenaran dokumen ataupun data tentang aset yang sudah dihapus, disembunyikan, atau disamarkan oleh pelaku kejahatan.