Kekuatan Terpendam Perempuan Kepala Rumah Tangga
Dukungan keluarga dan lingkungan sekitar menjadi semangat bagi perempuan kepala rumah tangga mewujudkan kesejahteraan keluarga.
Peran perempuan sebagai kepala keluarga atau pencari nafkah yang utama merupakan realitas yang sudah lama berlangsung di masyarakat. Riset yang dilakukan profesor geografi dan pembangunan dari Inggris, Sylvia Chant, mengungkap kekuatan sosial dan psikologi dalam pergulatan para wanita tulang punggung keluarga.
Melalui riset yang dibukukan dengan judul Women-Headed Households: Diversity and Dynamics in the Developing World (1997), terungkap gambaran perjuangan perempuan menjadi sumber penghidupan keluarga. Chant melihat dukungan keluarga dan lingkungan sekitar menjadi semangat bagi perempuan kepala rumah tangga mewujudkan kesejahteraan keluarga.
Sumber penghidupan tersebut dilakukan dengan cara mencari nafkah bagi anak, serta kerabat yang menjadi tanggungannya di dalam rumah. Pada beberapa kasus, bahkan juga untuk menafkahi suaminya.
Kebanyakan para perempuan tersebut mencari nafkah di sektor informal dan wirausaha karena keterbatasan ketrampilan kerja serta ketersediaan lapangan pekerjaan. Riset yang dilakukan pada pertengahan tahun 1990-an ini menyasar para perempuan pencari nafkah di negara berkembang. Sylvia Chant memberikan fokus lokasi penelitian di Meksiko, Kosta Rika, dan Filipina.
Walau penelitian sudah dilakukan hampir 30 tahun lalu, hasil temuannya masih relevan dengan konteks saat ini. Salah satunya adalah jumlah perempuan kepala rumah tangga terus bertambah dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh, di Indonesia jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan mengalami peningkatan. Sejumlah 9,5 juta keluarga pada tahun 2013, kemudian meningkat ke angka 10,31 juta pada 2018. Di dunia, keberadaan perempuan kepala rumah tangga ini ditemukan di seluruh benua.
Data dari United Nations Database of Household Size and Composition menunjukkan, sepanjang 1990-2015 rumah tangga yang dikepalai oleh wanita paling banyak terdapat di Amerika Utara dengan proporsi rata-rata 47 persen. Disusul kemudian di kawasan Eropa (37 persen), Amerika Latin dan Karibia (34 persen), serta Oseania (33 persen). Prevalensi rata-rata rumah tangga yang dikepalai perempuan yang paling sedikit terdapat di Afrika (27 persen) dan Asia (19 persen).
Temuan lainnya dari riset yang dilakukan Chant mengungkap kondisi rumah tangga yang dikepalai perempuan lebih rentan terhadap kemiskinan. Rentannya kemiskinan masih menjadi tantangan bagi perempuan kepala rumah tangga hingga saat ini.
Kondisi ini tergambar dari publikasi PBB The World’s Women 2015: Trends and Statistics. Data tersebut menyebutkan bahwa keluarga yang dikepalai perempuan di negara berkembang lebih rentan miskin dibanding dengan kepala keluarga laki-laki.
Artinya, perekonomian dan kesejahteraan keluarga masih merupakan tantangan yang cukup berat bagi perempuan kepala keluarga. Namun riset yang dilakukan Chant menemukan, kemiskinan bukanlah puncak masalah yang dihadapi perempuan dalam memimpin keluarga. Chant menemukan persoalan yang lebih mendasar, yaitu pada aspek psikologis dan sosial.
Fase perubahan
Untuk mengurai permasalahan yang dihadapi perempuan kepala rumah tangga, Chant melakukan pendekatan dari sisi psikologi, dengan menelusuri bagaimana pengalaman mereka saat mengawali situasi tersebut. Latar belakang yang menjadi perhatian utama adalah proses ketika perempuan mulai menduduki peran sebagai kepala keluarga.
Chant melihat proses tersebut tentu beragam dari satu orang dengan lainnya, tergantung dari latar belakang perempuan tersebut seperti usia, tingkat ekonomi, atau tingkat pendidikan. Namun, ternyata ada pengalaman serupa di antara para perempuan kepala keluarga.
Hasil kajian menemukan kesamaan pengalaman yang dihadapi perempuan di masa awal mengepalai rumah tangga, yaitu merasa berbeban berat. Muncul pengalaman antara lain merasa ragu, dirundung ketidakpastian, dan kekhawatiran yang dipandang akan sulit untuk diatasi.
Peran perempuan sebagai kepala keluarga pada umumnya diawali dengan suatu peristiwa kehilangan. Momen kehilangan terjadi dalam bentuk kematian suami atau terjadi cerai hidup. Reaksi yang ditunjukkan oleh para perempuan bervariasi.
Ada perempuan yang ikhlas dengan kepergian atau ketiadaan pasangannya. Ada pula yang berkabung. Namun, tidak semua perempuan yang berkabung kemudian larut dalam kepedihan. Mereka mampu menerima keadaan dan dapat pulih dalam waktu relatif singkat, yakni sekitar empat bulan.
Ragam reaksi menghadapi kepergian pasangan ditentukan oleh kualitas hubungan dengan suami serta kondisi keluarga ketika masih dijalani bersama pasangannya. Terdapat dua ragam kualitas pernikahan, yakni yang membahagiakan dan menyengsarakan bagi perempuan.
Bukan soal jika pernikahan berlangsung baik-baik saja. Ragam masalah yang menyebabkan pernikahan terasa menyiksa, salah satunya adalah perilaku suami yang kerap menimbulkan konflik.
Perilaku yang dimaksud adalah enggan bekerja padahal mampu, suka mabuk, gemar berjudi, menggunakan narkotika, serta kegiatan lain yang berdampak buruk di lingkungan rumah tangga.
Seiring berjalannya waktu, para perempuan yang kehilangan suami mulai terbiasa hidup tanpa pasangan. Hal yang lebih penting lagi adalah ketika perempuan tersebut mulai mampu untuk mengatasi persoalan, rasa pesimis, dan rentan. Penguasaan diri tersebut menjadi modal selanjutnya untuk menumbuhkan rasa percaya diri serta optimis.
Chant menggarisbawahi momentum titik balik ini. Ketika perempuan kepala rumah tangga sudah mampu mengatasi persoalan dalam diri, muncul kekuatan berbentuk rasa bebas dan merasa diri otonom.
Momentum tersebut dicontohkan dengan mengangkat testimoni salah satu narasumber yang telah kehilangan suami dengan menyampaikan bahwa ”setelah tidak bersuami, saya merasa bebas untuk melakukan apa pun dan pergi ke mana pun saya mau”.
Melewati fase sulit membuat perempuan tersebut merasa relatif lebih bahagia dan merasa bebas walau dengan tanggung jawab baru yang diembannya. Mereka secara psikis mengalami perubahan dari fase terpuruk dan kemudian bangkit. Proses tersebut menjadi gambaran penguatan diri yang muncul sebagai kesadaran bahwa sebagai perempuan telah dapat memegang kendali atas dirinya sendiri.
Dengan didapatnya keleluasaan dalam mengambil keputusan, bukan berarti fase kemandirian perempuan telah berakhir. Namun, keberhasilan tersebut menjadi spirit untuk menghadapi tantangan kesejahteraan yang harus dihadapi para perempuan kepala rumah tangga ini.
Para perempuan mandiri ini melihat ketahanan ekonomi keluarga disadari menjadi persoalan yang akan terjadi dalam jangka waktu panjang. Para perempuan tersebut juga sadar bahwa tanpa adanya pasangan, kondisi ekonomi keluarga dapat terguncang karena berkurangnya topangan sumber pendapatan.
Jalan panjang
Aspek psikologis lain yang didapatkan dari riset Chant adalah dukungan keluarga. Perempuan kepala keluarga dalam segala persoalannya mendapatkan semangat dari anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
Anak menjadi pendukung dalam hal emosional dan menjadi motivasi bagi perempuan untuk dapat memberikan bekal menyongsong masa depan. Peran ganda perempuan dalam hal ini menjadi pendorong, yakni memastikan bahwa si anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan bertangung jawab.
Pada beberapa kasus, anak cepat dapat beradaptasi dengan ketidakhadiran ayah atau laki-laki dalam rumah tangga. Hidup bersama dengan anak memberi kebebasan baru bagi perempuan dan relatif terhindar dari konflik dalam rumah tangga atau kekerasan. Perempuan juga memegang kendali penuh terhadap manajemen keluarga.
Chant menggarisbawahi momentum titik balik ini. Ketika perempuan kepala rumah tangga sudah mampu mengatasi persoalan dalam diri, muncul kekuatan berbentuk rasa bebas dan merasa diri otonom.
Pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci pakaian, menyetrika, membersihkan rumah, dan memasak, bisa dikerjakan bersama anak-anak. Kerja sama dalam ranah tugas domestik seperti ini belum tentu dapat dilakukan dalam keluarga yang berpasangan.
Chant mencontohkan dengan fenomena perbandingan waktu yang dihabiskan per orang dalam mengerjakan tugas rumah tangga. Pada rumah tangga yang dikepalai perempuan, per orang anggota keluarga dalam seminggu menghabiskan 5,3 jam untuk menyelesaikan tugas domestik. Sementara, di keluarga dengan kepala laki-laki, per orang menghabiskan waktu 11,1 jam.
Data tersebut menunjukkan bahwa di keluarga yang dikepalai perempuan pembagian beban tugas lebih merata. Temuan tersebut juga menggambarkan pada keluarga yang dikepalai laki-laki bahwa tugas domestik sebagian besar dikerjakan oleh perempuan atau istri.
Dari sudut pandang perempuan kepala keluarga, hal ini menjadi kondisi yang lebih baik dibandingkan saat masih bersama pasangan. Walau di sisi lain ada tuntutan tanggung jawab ekonomi, suasana bekerja bersama dalam keluarga memiliki nilai sebagai perimbangan.
Refleksi Chant menunjukkan bahwa posisi perempuan sebagai kepala rumah tangga bukan hal yang menakutkan. Fenomena perempuan kepala keluarga tidak hanya dilihat dari aspek peningkatan secara kuantitas di dunia, tetapi secara kualitas kondisi semacam itu justru dapat memberi otonomi dan kebebasan bagi perempuan.
Bahkan, situasi ini dapat menghadirkan kualitas-kualitas lain, seperti bagaimana perempuan yang mengepalai rumah tangga dan anak perempuan mereka dapat pergi bekerja. Ini terjadi karena mereka ”bebas” dari kendali suami atau ayah yang sering melarang perempuan memasuki pasar kerja.
Perempuan bekerja dan menghidupi keluarga menjadi salah satu fenomena sosial yang akan terus dihadapi masyarakat. Mewujudkan kesejahteraan ekonomi dengan menjadi tulang punggung keluarga tidak terelakkan, tetapi justu menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Perempuan memiliki kekuatan terpendam dalam diri untuk menjadi kepala keluarga yang tidak kalah andal dibandingkan laki-laki. Anak dan tanggungan yang harus dinafkahi bukan menjadi beban, justru menjelma menjadi penopang semangat untuk terus berjuang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Potret Tangguh Perempuan Kepala Rumah Tangga